Mohon tunggu...
Kinanthi
Kinanthi Mohon Tunggu... Guru - foto

Seseorang yang meluangkan waktu untuk menulis sekadar menuangkan hobi dengan harapan semoga bermanfaat.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Dalam Selubung Kabut (15)

22 Juli 2020   07:41 Diperbarui: 22 Juli 2020   07:57 102
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

Senja itu kami duduk di teras. Matanya masih tampak sembab tapi tidak lagi ada amarah.

"Andaikan papa nggak memberiku rumah dan mobil, bagaimana?"

"Realistis saja. Aku nggak akan menikah muda."

"Wah...pelit," godanya.

"Bukan pelit. Tapi aku memang nggak ingin isteri bekerja tapi hidup terpisah denganku. Jika wanita memaksa untuk bekerja demi perbaikan ekonomi, mana bisa aku melarang sedangkan aku pun belum sanggup mandiri? Kebetulan papamu teman baik papa. Sejak dulu sudah berniat berbesan. Yakh...masa menolak rezeki. Toh anaknya juga tidak layak ditolak," jawabku sambil mencubit pipinya, "Tuhan tahu aku lebih baik menikah muda. Maka aku dipertemukan dengan anak pak Wira,"lanjutku masih mencubit pipinya.

"Mengapa sih Kamu sok patriarkis. Bukankah mendidik anak itu kewajiban suami. Mengapa melarang isteri bekerja berjauhan jika niatnya membantu mencari uang?"

"Jika sang imam mengalihkan tanggung jawab mendidik anak kepada isteri, dengan dalih berbagi tugas, salahkah?," jawabku tertawa, "Lagipula kalau punya anak, siapa yang menemani mereka? Jangan katakan neneknya yang mengasuh. Kualat kita nanti. Aku tetap ingin ibunya yang mengasuh tanpa mengeluh. Toh kebutuhannya sudah terpenuhi." aku diam sesaat mencoba melihat reaksinya, tapi ia diam tidak lagi memprotesku.

"Andaikan aku belum sanggup memenuhi, mana berani aku menikah muda? Toh, masalah ekonomi selalu menjadi sumber terbesar pertengkaran dalam rumah tangga. Jangan sok abai akan hal ini jika tak ingin menyesal nanti. Aku menikah muda kan karena terpaksa. Karena pak Wira membelikan rumah dan mobil untuk anak kesayangannya, masa ditolak sih?"

"Mengapa menatapku seperti itu? Katanya lapar?" Tania menegur suaminya yang tidak makan selahap dirinya seolah ada yang dipikirkannya.

"Aku heran saja, akhir-akhir ini Kamu bersemangat banget jika kuliah,"jawab Boy berterus terang. Terasa ringan beban di hatinya setelah itu.

"Aku harus bagaimana? Bukankah aku harus bersyukur? Setelah sejak kecil merasa ditinggal bapaknya tanpa dibekali uang yang cukup, merasa hidup serba kekurangan, mendadak mengalami perubahan nasib yang nggak pernah terpikirkan."

Boy bisa bernapas lega sesaat mendengar jawaban Tania. Ia pun makan dengan lahap mengikuti isterinya. Walaupun demikian, gurat ketidaknyamanan kembali terasakan melintas-lintas, seolah membisikkan agar ia harus waspada.

Tania melirik suaminya sekilas. Ia kembali teringat ulah ibu-ibu yang bergerombol siang tadi. Batinnya mengisyaratkan, mereka membicarakannya. Bukan rahasia lagi, bahwa ia sedang dekat dengan Ade. Akan tetapi, sejauh manakah kedekatan itu? Hanya mereka berdua yang tahu.

Bahwa Ade sudah menunjukkan sinyal menghindar manakala Tania sudah bersuami dan tinggal berdua di sebuah kawasan perumahan, hanya Tania yang tahu. Ade, lelaki berperasaan halus bak wanita, tak ingin melukai hati Tania yang sedang dilanda konflik. Walaupun konflik mana yang membuatnya ingin mendekati Ade? Ingin tampak hebat karena hanya kepadanya Ade mau mengajak ngobrol lama?

Kebanggaan yang tak ingin segera dihapus karena ia baru menemukan rasa percaya diri? Rasa percaya diri yang menepi selama bertahun-tahun dalam masa pertumbuhannya sebagai remaja, kemudian diperparah oleh rayuan Rico yang ternyata buaya?

Begitu Boy memburunya dengan lagak "budak cinta", bukan syukur yang dirasakannya melainkan semacam euforia, mabuk kemenangan dan kesenangan bahwa ternyata ia "laku mahal". Bukan serendah seperti perlakuan Rico yang seenaknya menduakannya bahkan lebih.

Betulkah demikian? Sesungguhnya ia juga tidak yakin. Ia menghargai cinta berlimpah yang dipersembahkan Boy. Akan tetapi, ia baru menyadari bahwa cantik tidak selalu malas, buktinya ia bisa lolos tes PNS. Kegembiraan yang dipatahkan suaminya karena tak ingin berpisah dengannya. Salahkah?

Andaikan hal itu juga bukan kesalahan, lalu di mana letak masalah yang bisa memaklumi ulahnya? Penasaran? Betul. Di situlah ia melabuhkan pertanyaan-pertanyaan atas ulahnya yang seolah balik memburu Ade. Ia penasaran. Mengapa? Lagi-lagi efek euforia. Setelah kembali menemukan rasa percaya dirinya akibat kemalangan yang menimpanya, setelah menyadari bahwa wanita tidak harus menolak tampil cantik agar terkesan pintar, ia pun penasaran ingin menaklukkan sesuatu.

Semula, dengan berkuliah lagi, ia ingin menunjukkan bahwa ia sanggup meraih nilai bagus. Keinginan yang muncul pada awal semester dua. Semangat yang semakin membara dengan teguran-teguran Ade yang seolah khusus dipersembahkan untuknya. Dengan keberadaan Ade, ia merasa memperoleh perhatian ganda, dari suaminya dan Ade.

Suaminya yang seringkali tenggelam dengan kesibukannya, dirasakannya kurang romantis, berlainan dengan Ade yang suka bertanya sudah selesai mengerjalan PR, belum? Perhatian yang membuatnya bersemangat mengubah total penampilannya. Tampilan yang semula tomboy, pada semester berikutnya telah berubah menjadi feminin.

Tubuhnya yang tidak sampai 160 cm mungkin hanya 156 cm, yang biasanya dialasi sneakers, kini selalu ditopang high heels sekitar 7 cm. Ripped jeans sudah berubah menjadi legging dan hem gombrong sudah diganti dengan tunic. 

Jika ada yang tetap, hanya rambutnya yang tidak pernah berubah. Selalu disisir ke belakang dan disanggul. Perbedaannya, dulu bulu-bulu lembut di kening yang dibiarkan tak beraturan, kini tampak dirapikan sehingga membentuk poni yang luruh satu dua helai manakala ia menunduk. 

Keindahan yang menggemaskan ditopang wajah membulat dengan pipi chubby tapi hidungnya runcing seperti pernah dioperasi, padahal asli. Pemandangan yang masih diperkaya dengan matanya yang bulat dengan bibir sensual saat berbicara, merupakan kondisi alami tanpa dibuat-buat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun