Mohon tunggu...
Kinanthi
Kinanthi Mohon Tunggu... Guru - foto

Seseorang yang meluangkan waktu untuk menulis sekadar menuangkan hobi dengan harapan semoga bermanfaat.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Dalam Selubung Kabut (4)

7 Juli 2020   05:55 Diperbarui: 7 Juli 2020   05:47 73
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Bayangkan, betapa sakitnya. Percobaan bisnis yang dikembangkan dari modalku, jika berhasil, kelak akan digunakannya untuk membelit, memagut, dan meremukkan tulang tulangku, memamah remahan daging dan tulang belulangku. Benar-benar ular berbisa dia," gerutunya menatap kosong ke kejauhan, seolah tengah kesurupan atau mungkin tengah membayangkan proses reinkarnasi ular untuk menjadi manusia? Suatu peristiwa yang kadangkala menggelitik rasa ingin tahunya, walaupun telah disadari bahwa manusia diberi tahu tentang misteri ruh hanya sedikit.

Ia kembali menghela napas, menonton TV, mengunyah makanan kecil yang terhidang di depannya. Ia bersyukur postur tubuhnya tidak tergolong mudah gemuk. Pola makannya memang dianggapnya tidak teratur. Hari ini bisa jadi ia makan tanpa aturan, tapi dua hari kemudian ia mendadak malas makan, hingga perutnya serasa melilit, baru ia memasukkan sesuap dua suap roti yang dikunyahnya tanpa selera. Karena itukah tubuhnya sulit gemuk?

Entahlah, ia tak bisa menjawabnya. Yang pasti, berlawanan dengan pola makan ibunya yang teratur, selalu makan tiga kali sehari pada jam yang sama pula. Tubuh ibunya semakin tua tampak semakin mekar berkembang ke samping. Cadangan energinya berlebihankah? Tidak sebanding dengan tenaga yang dikeluarkannyakah? Bukannya ibunya hobi keluar masuk mall? Akan tetapi, setelah kelelahan dan kehausan, di dalam mall tentu banyak makanan yang menarik dan cantik pula dari segi harga.

Begitulah, ia mengenang luka akibat dendam yang pertama. Akankah dilampiaskannya? Kepada siapa? Kepada suaminyakah? Bukankah lelaki itu sangat mencintainya? Perilakunya pun berlawanan dengan kakak lelakinya dalam memperlakukan isterinya? Maka, ditepisnya dendam kepada ibunya tersebut tanpa keinginan untuk melampiaskan amarah kepada siapapun, kecuali hanya mencatat beban yang memberati isi kepalanya. Beban yang membuatnya merasa bermalasan mengerjakan hobinya? Entahlah, ia pun tidak segera sanggup menjawabnya. Yang dirasakannya hanyalah, tubuhnya terasa lunglai sepulang kerja. Kondisi yang membuatnya enggan mengerjakan apapun begitu tiba di rumah sepulang kerja.

Ia layak bersyukur karena suaminya tidak pernah membiarkanya kelelahan mengerjakan pekerjaan rumah tangga. Jika ia terlihat tergolek tanpa daya di depan TV sepulang kerja, suaminya dengan tenaga yang masih tersisa sepulang kerja sore itu, masih menyempatkan diri untuk sekadar menyapu lantai rumah, menyirami tanaman, bahkan tidak jarang memasak makan malam. Ia selalu membantunya mempersiapkan makan malam, kendati seringkali hanya membuat nasi masak di magic com karena lauk telah dibelinya dalam perjalanan pulang.

Lagi-lagi ia menghela napas sambil mencoba menepis aneka dendam yang bertaburan dan bertebaran memenuhi kepalanya. Dalam perjalanan hidupnya yang masih seumur jagung karena masih berusia belum memasuki 30-an, ia kerap dibuat terkejut dan tertegun. Seringkali, duka lara yang ditimpakan orang kepadanya, tanpa ia mencatatnya sebagai dendam untuk dibalasnya pun, pembalasan Tuhan terhadap perilaku buruk orang tersebut seringkali akan tertimpa juga kepadanya.

Pembalasan yang seolah ingin menampar balik kepada pelakunya. Seringkali ia terkejut kemudian menggeleng penuh kengerian, bencana yang melandanya itu bukan akibat amarahku. Sungguh! Aku tidak marah saat ia berbuat zalim kepadaku. Itu mungkin akibat sumpah serapah orang lain yang juga pernah dizaliminya pula, yang sakitnya setara atau mungkin melebihi sakitku? Keluhnya tak tega, ketika mendapati seseorang yang terkesan membencinya setengah mati, tiba-tiba memperoleh bencana, padahal ia tidak berdoa yang jelek untuknya, bahkan keinginan membalas dendam pun tidak ada.  Memorinya pun tidak menyimpan amarah untuknya, walaupun tak sanggup  menepis rasa sakit hati akibat perilakunya.

Bagaimana bisa? Mungkin akibat amarah orang lain. Akumulasi kejengkelan orang-orang yang disakitinya. Kamu tidak perlu merasa bersalah, toh aku juga sering dibikin kesal oleh omongannya, hibur seorang temannya. Akan tetapi, tak urung ia bersedih juga, apalagi tatkala mendengar ungkapan seorang temannya yang lain lagi. Manusia kan ciptaan Tuhan. Semua makhluk kurasa diberi filter dari kezaliman. Walaupun kamu memaafkan perilaku zalim terhadapmu, belum tentu si filter bisa memaafkan, karena kamu dalam kawalannya.

"Atau...Kamu mengatakan memaafkan hanya di bibir, tapi dalam hati masih dendam, sehingga filter dalam tubuhmu masih berjalan normal untuk membalaskan sakit hatimu," lanjut seorang temannya yang lain.

"Atau ...ia tidak sungguh-sungguh minta maaf kepadamu saat menzalimimu? Ia bisa saja berbohong kepadamu, tapi ia tidak bisa berbohong kepada Tuhan tentang alasan sesungguhnya yang tersimpan dalam relung sanubarinya yang terdalam, mengapa ia membencimu? Kebencian yang tidak beralasan akan berbalik menyerang...

"Tapi mengapa anaknya yang terkena bencana?"

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun