Keduanya bertemu tanpa kesengajaan. Ada gurat kemurungan bahkan ketidakpedulian yang tergambar dari wajah kakak iparnya tatkala mereka berpapasan. Kecemasan yang sejak awal sudah melintas-lintas di ruang matanya ketika perempuan itu memutuskan menerima pinangan kakaknya. Betapa ingin ia menceritakan perihal ulah kakaknya yang seringkali berlawanan dengan nuraninya, namun tak ada yang mampu terucapkan selain menggenggam jemari perempuan itu sambil berpesan,
      "Hati-hati."
 "Betapa sakit diperlakukan tidak adil,"isaknya kepada adik iparnya. Ia pun mengajaknya memasuki kafe. Si Tuan Putri terpaku mendengarkan keluhannya dalam diam. Sebagai sesama wanita, tentu saja ia pun berpihak kepada kakak iparnya itu.
"Memang ia menduakanmu?" interogasinya walaupun tak yakin kakak lelakinya bakal setia jika kaya.
Si kakak ipar menggeleng,
"Aku tidak tahu. Tapi, jika percobaan bisnisnya berhasil, yakinkah Kamu ia bakal setia? Ia tentu akan menduakanku. Aku tentu juga akan marah dan meninggalkannya seperti ibumu meninggalkan ayahmu." Isaknya masih terdengar sendu.
Hmm...sakitnya diperlakukan tidak adil. Memang bukan sekadar slogan tak penting. Siapa sih yang mau diperlakukan seperti itu? Hanya saja, sang pengeluh pun harus tahu bahwa pelaku ketidakadilan belum tentu menyadari bahwa ulahnya karena kepentingan tertentu.
"Itu artinya egois dan tidak empatik. Coba jika darah dagingnya kelak juga diperlakukan tidak adil. Tentu batinnya akan tercabik-cabik, akan tergores-gores bagai terkena pecahan kaca. Akan mengucurkan air mata darah dari sobekan daging cincang yang juga berdarah-darah." si kakak ipar masih terisak sambil mengucapkan kalimat-kalimat bermetafora.
Darah daging yang mana? Hampir saja pertanyaan itu terlontar, tapi segera ditariknya ketika menyadari satu diantara kebiasaan buruk kakaknya, yaitu gonta-ganti wanita. Wanita- wanita yang diporakporandakan hati dan tubuhnya setelah termakan janji-janji palsu yang meluncur lancar melalui bibir tipisnya.
Janji-janji yang sedemikian mudah mengepul dan melenyap bagaikan asap rokoknya yang tidak pernah terlepas dari mulutnya. Rokok yang selalu menempel di mulutnya. Yang menimbulkan gurauan teman-temannya, bahwa siapa pun yang memerlukan tempat gantungan tas untuk sementara barang satu menit dua menit, maka bolehlah digantungkan ke batang rokok si kakak yang melekat di mulutnya.
Hmmm...tentu sakit jika mengalami ketidakadilan. Hampir saja ucapan itu terlontar dari bibirnya, tapi suara kakak iparnya kembali memecah kesunyian,