***
"Bu, seminggu lagi Dina akan menikah. Dina ingin Bapak yang menjadi walinya, bukankah lebih afdol jika Bapak yang menjadi wali nanti saat akad?"
Ibu hanya terdiam. Aku mengerti betapa Ibu masih menyimpan sakit hati kepada Bapak. Bapak yang ringan tangan, tukang mabuk dan main perempuan, belum lagi seringnya memaki Ibu dengan kasar. Masih dalam ingatan malam itu, Ibu melarikan diri karena Bapak mabuk dan marah kepada Ibu karena agak lama membuatkan kopi yang dimintanya. Lebih parahnya karena dibawah efek mabuk, Bapak membawa pisau ingin menikam Ibu.
Aku hanya berpikir, apa pun itu, Bapak tetap lah Bapak. Tak kan ada aku jika tak ada Bapak. Biarlah kesalahan masa lalu di maafkan walau masih menyisakan sesal. Namun mungkin berat untuk Ibu yang mengalami kekerasan lansung dari Bapak dan aku memakluminya.
"Carilah, jika itu maumu. Ini ada alamat Uwak Kamal. Tanya dia, mungkin dia tahu di mana Bapakmu sekarang," jawab Ibu berat.
Kucium tangan Ibu. Betapa tegar perempuan setengah baya di hadapanku ini. Setelah hidupnya yang berat, membesarkan kami berdua sendirian, karena sejak itu Bapak tak pernah bertanggung jawab. Dia masih sanggup berlapang dada.
***
Setelah berhasil menemukan alamat Uwak Kamal, kuutarakan maksud dan tujuanku.
"Bapak mu sudah setahun meninggal," ucap Uwak Kamal dengan penuh penyesalan.
Aku hanya terdiam, tak tahu harus berkata apa. Bahkan kabar kematiannya Bapak pun tak ingin kami anaknya tahu. Bapak terbuat dari apakah hatimu? Pertanyaan yang terus berulang ada di kepalaku tentang laki-laki yang kupanggil Bapak.
Citayem 27 September 2022