Hatinya Bapak
Nanik Lani
Masih teringat dalam ingatanku ketika Ibu berlari dengan pakaian seadanya dan wajah menyiratkan ketakutan sambil menangis tanpa air mata.
Aku yang saat itu masih berumur enam tahun hanya bisa diam dan meringkuk ketakutan bersama dengan Kak Dinda di pojok ruang tamu. Kami menangis sesenggukan tanpa suara.
Bapak, ya Bapak yang membuat Ibu berlari ketakutan di tengah malam yang hujan. Sejak saat itu kami tak pernah lagi bertemu Ibu. Ibu bagai ditelan bumi. Setiap kali kutanyakan kemana perginya Ibu, Bapak selalu marah dan berkata, "Ibu mu minggat!" jawab Bapak dengan suara keras dan marah sambil membuang ludah ke samping.
Jika sudah demikian aku pun langsung pergi dari hadapan Bapak, karena jika masih tetap ngeyel pasti akan terkena tamparan tanganya yang kekar seperti Kak Dinda kemarin.
Sebulan kemudian Kak Dinda pun menghilang. Kudengar dari bisik-bisik tetangga, Kak Dinda dijemput Ibu di ujung pengkolan rumah kami. Ibu memang sengaja diam-diam menjemput Kak Dinda. Lalu bagaimana dengan aku. Tidak kah Ibu khawatir dengan anak bungsunya? Seribu pertanyaan seakan berputar di kepala ku ketika itu. Saat itu aku membenci Ibu juga Bapak.
Teriakan dan makian hampir kudengar setiap hari dari mulut Bapak ketika mabuk. Mengatakan yang buruk tentang Ibu. Menyumpah dengan sumpah yang terbusuk dan terakhir akan mengatakan bahwa aku bukan anaknya. Bahwa aku adalah anak orang lain selingkuhan Ibu.
Tak lama, Bapak menikah lagi dan aku pun harus memanggil perempuan itu Ibu. Dalam otak kecilku saat itu, aku senang saja dengan kehadiran perempuan muda itu, setidaknya aku masih mempunyai teman ketika Bapak bekerja dan berkurang sedikit makiannya.
Namun, semua tak berjalan lama, Bapak dan perempuan muda itu mulai bertengkar. Sama seperti dulu ketika dengan Ibu.
Kejadian pada malam itu pun terjadi lagi, perempuan muda itu pergi, tapi kali ini dia lebih pintar dari Ibu. Dia masih sempat membawa beberapa perhiasan.
Sejak kejadian itu, Bapak makin menggila. Tak pulang berhari-hari dan aku, pastinya terlantar. Andai tetangga tak ada yang berbaik hati pastinya sudah lama mati kelaparan. Hingga suatu siang Ibu datang dan berhasil membawaku pergi bersamanya.
Sejak saat itu, kami tak pernah bertemu Bapak. Ibu melarang kami anak-anaknya bertanya lagi tentang lelaki kasar dan pemabuk itu.