Manusia itu ciptaan Tuhan yang paling unik dan cerdas. Sebutan untuk manusia bermacam-macam. Disebut makhluk sosial, makhluk individu, homo sapien, dan masih banyak lagi sebutan yang lain.
Di tengah-tengah kehidupan masyarakat, semua orang tanpa kecuali, pasti ingin diakui keberadaannya. Entah di lingkungan paling kecil yaitu keluarga, lingkungan sekitar, lingkungan sekolah, tempat kerja, bahkan di pergaulan internasional.
Di lingkungan keluarga misalnya, sang anak akan merasa senang dan bangga bila kedua orangtuanya memberi penghargaan atas capaian kerja kerasnya dalam belajar sehingga berbuah prestasi gemilang. Bagi anak yang prestasinya standart atau di bawahnya, nalurinya pasti akan mencari cara yang lain.
Artinya, berbagai cara akan kita lakukan untuk menunjukkan siapa diri kita. Setuju tidak?
Ada kata-kata bijak yang berbunyi begini. Berapapun penghasilan kita, tidak akan mampu memenuhi gaya hidup kita tetapi akan bisa memenuhi kebutuhan standart kita.
Meskipun semua orang bisa membaca tulisan itu, namun hampir rata-rata gagal menerapkannya. Atau gagal mengaplikasikannya dalam kehidupan kita sehari-hari. Mengapa demikian?
Karena sebagai makhluk sosial, makhluk individu, dan sebagai makhluk homo sapiens, kebutuhannya sangat banyak. Setiap individu pasti mempunyai karakter yang unik dan berbeda dengan individu lainnya.
Saat pandemi Covid yang diwarnai dengan beramai-ramai gowes saja, kebutuhan akan sepeda juga berbeda-beda. Ada yang hanya sanggup membeli murah, ada pula yang membeli sepeda harganya ratusan juta rupiah. Padahal fungsinya sama, tetap dikayuh, tetap menghasilkan keringat. Yang mempunyai uang banyak, harus tampil beda dong. Masa' sama dengan kebanyakan orang rata-rata? Mungkin begitu pikiran orang-orang berduit.
Dari segi pendidikan, siapa yang sekolahnya paling tinggi, paling jauh di luar negri sana, paling berderet-deret gelarnya, merekalah yang diakui. Pengakuan dari pihak luar (luar dirinya sendiri) itulah, yang membuat mereka lebih percaya diri.
Banyak juga di antara kita (pura-pura) merendah, padahal ingin terlihat tinggi. Seperti misalnya kalimat begini : Aku memang hanya orang ndeso pelosok, tapi setidaknya, aku pernah berkeliling di Negara-negara Eropa!
Yang membaca tulisan tersebut plus disertai foto berbagai gaya, pasti akan berdecak kagum. Atase mung wong ndeso isoh keliling Eropa, itu pikiran orang-orang yang positive thinking. Yang negative thinking beda lagi, halah pamer!
Salahkah yang pamer dan yang dipameri tersebut? Tidak salah semuanya alias betul. Pamer itu sebagai bentuk kita berkomunikasi dengan orang lain, karena kita sebagai makhluk sosial.Â
Sebetulnya bukan pamer, mereka hanya menunjukkan ''keberhasilannya'' agar diakui. Sementara yang merespon dengan negative thinking, karena mereka tidak atau belum mampu menyamai prestasi si Eropa misalnya. Â Â Â
Sebetulnya bila diurai, kesenjangan sosial atau kecemburuan sosial itu dalam masalah ''berkomunikasi''.
Seolah-olah, rakyat boleh mencaci-maki pemimpinnya. Pemimpin boleh mendikte rakyatnya, boleh mendikte penyelenggara Pemilu, boleh tidak patuh dengan protokol kesehatan pencegahan Covid (makanya sering melakukan acara-acara yang mengundang kerumunan massa), boleh begini, boleh begitu. Ini seolah-olah lho ya? Tidak nyata, hahahaha.
Dan bila diurai lagi, manusia itu penuh pelabelan-pelabelan. Siapa yang melabeli? Jawab saja sendiri (NKRi). Â Â Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H