Pekerjaan paling enak adalah menilai atau mengamati alias pengamat. Pengamat yang tidak dibayar maksud saya alias bukan profesional. Terlepas dari itu, apakah para pengamat yang ngakunya profesional tersebut benar-benar profesional?Â
Tergantung siapa yang menilai. Bagi yang suka, akan menyebutnya bagus, sangat profesional dengan analisanya yang cerdas! Bagi yang nggak suka? Mbelgedhes, kurang lebih begitulah tanggapannya. Namanya juga nggak suka kok, hehehe...!
Sekarang saya mau Tanya, apa sih keuntungannya menilai orang lain? Menilai dan mengakui kelebihan orang lain sih nggak masalah. Lha ini menilai kekurangan orang lain. Bagaimana sih? Kapan habisnya? Hehehehe...
Rasan-rasan atau menilai orang lain itu, katanya mengasyikkan. Eh, siapa bilang asyik? Sama sekali nggak asyik kok, kayak ada pahit-pahitnya gitu di hati. Percayalah, sama sekali nggak asyik.
Saya dulu suka banget membicarakan kekurangan teman. Beginilah, begitulah. Tapi lama-lama sebagai makhluk sosial yang katanya homo sapien, lama-lama kok risih sendiri. Mosok sih saya nggak punya kerjaan lain selain ngrasani orang? Kapan nih ngrasani diri sendiri?
Apalagi saat Guru saya ngendiko, jangan membenci orang yang sedang berbuat tidak baik. Siapa tahu suatu hari nanti, dia yang kita benci, justru berubah menjadi orang baik. Dan saya yang sedang membenci, justru menjadi tidak baik.
Dari nasehat Guru tersebut, saya menangkap : jangan mengisi hati dengan kebencian. Titik.
Tapi saya nawar (namanya juga ngeyel), kalau jengkel-jengkel sedikit, boleh kan, Guru?
Berpegang teguh pada nasehat Guru saya tersebut, saya sekarang cuek bebek. Saya tak lagi hirau dengan kekurangan orang lain.
Misal begini, di tengah pandemi seperti saat ini, banyak muncul orang-orang baik yang suka memberi. Entah itu teman saya sendiri tanpa embel-embel politik ataupun pejabat, ataupun politikus. Entah itu komunitas yang membawa bendera tertentu, atau apapunlah.
Di saat hiruk pikuk banyak pemberi yang dijadikan ajang selfi, sayapun no koment. Sehingga memicu teman saya untuk bertanya kepadaku.
''Kamu kok diam saja dengan fenomena seperti ini?''.
''Fenomena apa?''.
''Banyak pemberi yang justru menjadi ajang selfi''.
Saya tertawa sambil menepuk pundaknya.
''Biarin saja, itu bukan urusan saya. Yang penting bantuannya bermanfaat untuk orang-orang yang membutuhkan. Soal mereka mau selfie atau tidak, itu urusan mereka. Saya hanya berhak menilai kebaikan mereka, bukan kekurangan mereka,'' jawabku santai.
''Nggak bisa dong, mereka pasti nggak tulus dalam memberi. Kalau tulus, pasti gak selfie kayak gitu,'' teman saya ngotot mengajak saya untuk meragukan ketulusan hati para dermawan tersebut.
''Tulus atau enggak, itu juga bukan urusan saya. Mosok sih kita berdebat kayak gini? Nggak penting banget kan? Coba lihat mereka-mereka yang sumringah membawa beras dan sembako pulang ke rumah''.
Kami berjalan beriringan di sepanjang trotoar dengan pikiran kami masing-masing. Saya biarkan kawan saya sibuk dengan penilaian-penilaian.
''Betul juga kamu prens, mengapa kita sibuk menilai orang lain ya? Siapa menilai siapa, hahahaha...,'' teman saya tiba-tiba mengakui argumen saya.
''Kita? Kamu saja keleeesss!''.
Kami tertawa bersama, meninju congkaknya dunia! Eh maksud saya, meninju angin. (catatan ringan NKRi)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H