Halo pembaca setia Kompasiana, semoga bertambah sukses dan banyak uang.
   Dalam beberapa hari ini. Media berita online di ramaikan oleh cerita tentang juru parkir yang semau gue menetapkan tarif parkir dan ada berita tentang preman yang bayar harga makanan sesuka hati tidak peduli harga sebenarnya di warung Tegal.
   Dua orang tersebut memang bersikap melanggar hukum positif negara karena perbuatannya termasuk meresahkan orang lain .
   Sikap para preman dan jukir palak mampu menciptakan kondisi ketakutan karena mereka tidak segan melakukan tindak kekerasan terhadap korbannya.
   Sehingga para korban menurut saja dari pada tidak selamat.
   Tapi kita jangan lupa pula dengan sosok yang juga bagian dari penyakit masyarakat.
   Namanya mirip suatu tokoh di film legenda anak-anak tahun 80-an.
   Kelompok tersebut di namakan pak ogah. Tugas individu tersebut meminta uang kepada pengguna jalan umum secara halus atau sedikit galak.
   Ketiga unsur tersebut lahir dari kondisi lingkungan di dalam rumah dan pergaulan sehari-hari yang penuh tekanan.
   Mereka berasal lebih banyak dari kaum yang sangat rendah tingkat pendidikan wajib karena akibat kemiskinan secara uang dan wawasan.
   Kalaupun ada yang berasal dari keluarga terpandang biasanya mereka tercipta karena hubungan di dalam rumah yang tidak harmonis sehingga mudah hanyut dengan pengaruh negatif di tongkrongan.
   Masalah seperti ini sudah ada sekitar 40 tahun yang lalu.
   Setiap tahun pemerintah daerah selalu di repotkan dengan kisah - kisah memusingkan dari tiga unsur tersebut.   Â
   Setiap saat ada penciptaan kebijakan publik agar ada jalan keluar supaya masalah ini segera selesai, namun ternyata cerita ini bagaikan uang tabungan receh yang berbunga setiap bulan dan bernilai besar.
   Pertanyaannya adalah apakah pemerintah daerah tetap gagal menghilangkan penyakit masyarakat ini?
   Ketika saya berfikir kembali saya jawaban yang tepat adalah ya memang benar.
   Apa buktinya?  Jawaban yang mudah adalah setiap bulan selalu lahir laporan cerita pelanggaran hukum oleh ketiga kelompok di atas.
  Lalu apakah kita harus kibarkan bendera putih untuk kisah ini.
   Menurut logika saya adalah memang sangat sulit untuk membuat pakaian putih lama kembali putih bersih seperti pakaian baru , karena pakaian tersebut sudah terbentuk lusuh seperti itu akibat dari proses sikap pengguna pakaian.
   Kalau saja pengguna pakaian itu sadar tentang cara perawatan pakaian putih sejak dahulu, tentunya proses perubahan warna pada pakaian bisa terjadi sangat lambat.
   Inilah kasus warisan turun temurun yang terjadi pada pemerintah daerah karena usaha untuk mencegah beranaknya sikap premanisme di lakukan tidak serius
   Namun bagaimana bisa di banyak daerah cerita tentang preman, jukir palak dan pak ogah bisa berkurang lebih atau menghilang karena ternyata di suatu tempat ada kelompok semua gue dengan kasta borjuis juga bersikap mirip ketiga unsur tersebut.
   Benar satunya cara agar bisa terjadi perubahan sosial yang kuat adalah seringnya lahir berita tentang keresahan masyarakat dari media tak resmi tapi mampu menciptakan satu tujuan bersama untuk membuat rasa ketakutan bagi para birokrat.
   Sehingga dengan adanya berita seram yang membuat kaum elit di pemerintahan ketakutan, akan lahir pula suatu kebijaksanaan yang punya tujuan untuk membuat nyaman warga termasuk juga rasa nyaman bagi para birokrat.
   Jadi kesimpulannya adalah perubahan sosial akan tercipta perlu karena jika kerugian bisa di rasakan sangat pedih bagi kaum elit khususnya di posisi pemerintahan.
   Jika rasa resah hanya ada di hati rakyat biasa percayalah perubahan sosial tak akan ada.
   Setuju ya?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H