Saya masih ingat saat bersekolah dari tingkat SD, SMP dan SMA ketika di Jakarta.
Saat itu pernah ada acara makan nasi tumpeng putih atau warna kuning. Dengan alas dari daun pisang segar juga alat pemisah beras dari kulitnya bernama  tampah.
Dengan hiasan makanan yang menghasut selera seperti telor rebus atau telor mata sapi, ada ayam bakar atau ayam goreng termasuk pula sayuran dan buah mentah seperti tomat dan timun juga  ah banyak deh, pokok teman pembaca bisa terhasut untuk makan nasi tumpeng.
Namun kepala saya menjadi panas saat membaca artikel sabtu 30 november 2020 dari detik food-detik.com yang menuliskan judul berita Heboh Ceramah Tumpeng itu Hindu, Kaesang: Kalau Bentuk Hello kitty?
Berita yang di tulis oleh Yenny Mustika Sari mengambil suatu ceramah agama oleh ustadz Abdul Aziz. Â Pada saat itu beliau memberi vonis bahwa ,"barang siapa yang sudah membikin tumpeng berarti dia sudah beragama Hindu."
Penjelasan ustadz Abdul Aziz tentang gambar tumpeng berbentuk segitiga adalah wujud manifestasi trimurti dewa Hindu yaitu Shiwa, Wishnu dan Brahmana.
Sampai akhirnya ahli surga tersebut  mengajak umat Islam untuk meninggalkan tradisi tumpeng segitiga.
Sikap ahli surga melahirkan komentar satir tentang akan banyak umat Islam menjadi penganut agama Hindu, bahkan putera presiden Republik Indonesia Bapak Jokowi yaitu Kaesang memberi komentar di twiter ," kalo tumpengnya helo kiti gimana?"
Bahkan dengan ada acara nasi tumpeng rasa sayang kepada NKRI semakin bertambah.
Jadi bodoh banget jika ada pemikiran jika ada pembuatan nasi tumpeng ada suatu sikap pemurtadan.
Inilah realita sosial politik saat ini di mana ada individu dan kelompok yang selalu mencari celah agar orang di sana salah orang di sini benar. Persepsi cocoklogi di pakai untuk membuat perpecahan di antara warga Indonesia dan umat Islam sendiri.
Banyak contoh kasus yang membuat geram orang Indonesia yang beragama Islam akibat komentar bodoh dari ahli dakwah seperti lagu balonku dan lagu naik-naik gunung yang di tuduh menistakan agama Islam, padahal pencipta lagu tersebut beragama Islam.
Termasuk simbol segitiga yang ada si suatu mesjid di Jawa Barat karena di cocoklogi mirip simbol illuminati. Suatu simbol segitiga dengan gambar mata satu di dalamnya.
Paham cocoklogi memang memaksa pihak lain menerima kebenaran kecil menjadi eksekusi positif yang absolut. Tidak dapat di ganggu gugat. Syukurlah di negara Indonesia masih banyak orang pintar yang beradab sehingga usaha pembelokan logika bisa di pijat urut sampai lurus kembali.
Pakem cocoklogi mirip dengan cara komunikasi propaganda. Banyak bohongnya di banding yang benar. Kita semua harus waspada dengan sikap orang-orang penganut faham cocoklogi agar tetap waras.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H