Hari raya Idul Fitri banyak di nanti kaum muslim di mana pun, termasuk kaum muslim di negara Indonesia.
Hari raya Idul Fitri bukan hanya cerita berakhirnya hari-hari menahan lapar dan banyak bersabar, tapi juga kisah pesta kecil di suatu rumah yang penuh rasa ketulusan untuk saling memaafkan.
Hari suci itu mengumpulkan banyak orang untuk bertemu setelah setahun berpisah karena jarak jauh dan kesibukan bekerja mengumpulkan uang demi bertahan hidup.
Semua berkumpul dengan busana indah dan hati nurani yang bening. Sikap yang tak acuh berubah saat hari suci menjadi tingkah yang santun.
Semua merasa saling mendekat untuk melunturkan logika egois yang menyandera bathin. Bersalaman dan berpelukan adalah aksi wajar pada hari nan kudus. Bertanya kabar, rencana masa depan, curahan hati yang gelisah, mencari jalan keluar bersama, menyamakan persepsi dan menyatukan tujuan adalah hal yang terjadi saat hari lebaran.
Namun saat ini Mei 2020, cerita di atas menjadi dongeng di kepala karena negara Indonesia terkena pandemi covid19.
Pemerintah pusat di ikuti  pemerintah daerah membuat peraturan tegas untuk melarang warganya membuat kerumunan lebih dari lima orang dan tiada berizin bagi warga tertentu untuk mudik.
Alasan yang di berikan cukup masuk akal dan mampu memberikan rasa tidak tega berbuat jahat kepada orang lain. Selamatkan keluarga anda dari virus covid19. Jangan mudik, jangan sebarkan virus corona kepada orang tua anda yang sepuh. Bersabarlah, tahun ini jangan mudik dulu semoga tahun depan udara bersih dan anda bisa mudik lagi.
Begitulah bunyi iklan layanan masyarakat yang membujuk warga di perantauan agar mampu menahan diri untuk pulang kampung supaya tidak ada penambahan jumlah korban virus covid19.
Virus terkutuk itu belum ada obat yang mampu mengalahkan keganasannya sehingga jumlah orang yang wafat terlihat bertambah banyak.
 Tapi rasa rindu yang tertahan lama tidak mampu membendung para perantauan untuk berjumpa kembali dengan orang tercinta. Kenangan manis saat masih di kampung menciptakan kekuatan niat untuk segera mendarat di sana.
Para pemimpin daerah berfikir untuk menjadi insan sukses dalam memimpin wilayahnya dan mereka tidak ingin mendapat sebagai pemimpin daerah yang gagal menyelamatkan warganya dari pandemi virus covid19.
Maka lahir pula aturan yang mengajak kerjasama dengan pihak keamanan negara seperti tentara dan polisi untuk menjaga tingkah warga di sekitar lingkungan.
Di sana pihak keamanan negara menegur santun dan memberikan petunjuk supaya warga bersikap benar tapi bila keadaan memaksa maka petugas memberikan perintah untuk putar balik ke daerah asal atau jika masih keras kepala, pada pemudik bisa di penjarakan.
Agar para warga tidak patah semangat dan terus optimis lahir pula suatu ide agar tetap bisa bersilahturahmi tanpa tindakan mudik. Para pemimpin daerah mendadak bagai seorang ahli komputer. Mereka gencar memberikan arahan agar warga mengunakan teknologi internet untuk bertatap muka dengan kerabat yang berada jauh di sana.
Ide tersebut terdengar hebat dan pantas di lakukan. Menurut saya menggunakan internet telepon pintar mampu membuat penghematan untuk ongkos mudik ke daerah yang jauh. Saya pun berhasil berhalal bihalal dengan kerabat yang berjarak jauh. Saya punya kesimpulan bahwa jarak yang jauh bukan halangan untuk berkomunikasi di hari yang fitri pasca bulan Ramadhan.
Namun dan tapi setelah bertatap muka dengan jalur daring ada rasa yang tak biasa. Rasa di hati bercampur aduk situasi yang aneh, rasa sepi tapi ramai namun sedih.
Kenapa begitu? Begini kisahnya. Dalam kondisi darurat penyebaran virus covid19, pemerintah pusat dan daerah melarang warga untuk berada di kerumunan karena bisa tertular virus terkutuk itu.
Kerumunan bisa terjadi di pasar tradisional atau di terminal transportasi udara, laut dan darat. Di sana bisa terjadi penularan virus terkutuk itu. Supaya kondisi tetap aman maka saya tidak ke tempat itu. Akhirnya saya melakukan komunikasi daring kepada kerabat yang jauh di sana.
Ada rasa bahagia saat berhasil online dengan mereka. Suasana rumah yang sepi berubah cepat terasa bagaikan berada di rumah di kampung.
Ada tawa, ada kalimat bahagia dan ada rasa senang melihat kerabat. Jarak jauh terasa dekat. Ha hahaha, hi hihihi. Bahagia di hati, bathin pun terasa lapang.
Ada awalan ada akhiran. Dan pertemuan di dunia maya berakhir. Rasa bahagia yang lahir namun kembali ke rasa awal yaitu sepi. Suasana hening dan hampa. Bagaikan astronot yang terjebak di pesawat luar angkasa yang rusak. Roket pendorong tidak dapat di gunakan karena terkena batu meteor dan radio komunikasi tidak berfungsi baik akibat sinyal yang lemah. Tidak ada teman yang mampu menghibur hati merana. Aku sendiri.
Sepi, hening dan hampa. Suasana tercipta terasa cepat berlalu dan berubah menciptakan kondisi seperti lampu pijar yang meredup. Inilah rasa hari lebaran Idul Fitri mei 2020. Semoga pada tahun depan rasa enak hari raya Idul Fitri kembali terlihat lama tanpa takut biaya pulsa tinggi. Amin.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H