Mohon tunggu...
NaBe
NaBe Mohon Tunggu... Asisten Pribadi - Sedang doyan berfikir aneh

Berkhayal indah memang enak dan jadi pemenang

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Jangan Lockdown tapi Gotong Royong

1 April 2020   07:00 Diperbarui: 1 April 2020   07:34 186
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
fotografer yunandri agus

Lockdown! Satu kata terdengar mengerikan. Terbayang akan kesulitan hidup yang semakin parah.

Walau kebijakan lockdown lahir karena ada kasus penyebaran virus mematikan bernama covid-19 atau corona, namun berita tentang jumlah korban yang wafat mampu membuat nyali banyak manusia menciut.

Bagaimana manusia tidak merasa gemetar dengan virus corona ini. Dalam waktu sekitar satu minggu jumlah kematian pengidap virus ini bisa mencapai seratus orang.

Jumlah kematian yang bisa terjadi karena ledakan bom atom namun mampu di buat oleh penyebaran virus yang berasal dari binatang malam, kelelawar.

Proses kematian yang cepat bermula dari batuk lalu pilek kemudian terasa demam tinggi di atas 38 derajat celcius.

Banyak korban merasa sesak napas selanjutnya di anggap penyakit paru biasa namun setelah di lakukan pemeriksaan secara teliti ternyata si pasien terkena penyakit impor yang berasal dari hubungan dekat dengan pengidap sebelumnya.

Penyebaran penyakit melalui hubungan dekat akhirnya melahirkan aturan tentang jarak antar manusia saat berpapasan.

Dulu ketika antar manusia berbincang bahkan saat duduk di lokasi umum, jarak paling jauh hanya satu meter. Namun saat ini jarak terdekat adalah satu setengah meter. Wow!

Selanjutnya terbit aturan baru yang kejam namun manusiawi.

Terdengar melanggar hak azasi manusia tapi bertujuan untuk menyelamatkan hajat hidup orang banyak yaitu, isolasi wilayah atau lockdown.

Dalam situasi isolasi wilayah ada aturan tegas yang melarang individu melakukan aktivitas normal seperti sekolah, bekerja, belanja dan berkumpul.

Peraturan kejam namun bermanfaat itu bertujuan melarang terjadinya keramaian manusia pada suatu tempat agar jumlah penderita virus corona tidak bertambah.

Sebab jika di biarkan terjadi kerumunan manusia maka di kuatirkan bisa bertambahnya jumlah penderita bahkan bisa menambah pula jumlah kematian dari virus impor negara maju.

Virus yang lahir dari wilayah perkotaan ini mampu membuat nalar manusia kota menjadi panik hingga banyak masker dan obat cuci tangan lenyap dari toko dan warung obat.

Warga perkotaan yang mempunyai tingkat pendidikan lebih tinggi dari orang desa yang sederhana ternyata bisa bertingkah serakah mementingkan diri sendiri sehingga banyak manusia perkotaan yang lain termasuk dokter dan perawat mengalami krisis masker dan obat cuci tangan.

Nah dari krisis masker dan obat cuci tangan di tambah jumlah korban yang gugur berjuang dari para dokter dan perawat termasuk masih banyak warga kota yang tidak disiplin untuk berdiam diri di dalam rumah, maka para pemimpin dunia melakukan tindakan lockdown yang berlangsung tiga puluh hari lebih. Wow lagi!

Lockdown yang di lihat dari tv dan ceritanya bisa di baca dari koran juga media internet berkisah bahwa lockdown tidak hanya cukup mengurung manusia di dalam rumah mirip seperti suasana di penjara namun keputusan politik itu harus menghentikan gerak ekonomi di wilayah lockdown.

Banyak pabrik dan perkantoran yang di gembok alias tidak ada pekerja yang beraktivitas wajar.

Kemudian dalam waktu sesingkat-singkatnya lahir kebijakan perusahaan untuk para pekerja kerah biru dan kerah putih yaitu pemutusan hubungan kerja.

Akibat PHK maka jumlah pengangguran meningkat dan waspada pula angka kejahatan pun bisa bertambah.

Bisa jadi juga mesin anjungan tunai mandiri menjadi kosong karena pada masa resesi ekonomi banyak beredar uang tunai di tangan warga kota dan desa akibat rasa kuatir yang besar.

Jarak kesejahteraan antara penduduk kaya dan penduduk miskin semakin melebar. Maka lahirlah sifat cemburu dari gerombolan tertindas.

Jika rasa cemburu tumbuh membesar di antara warga dengan golongan status sosial yang berbeda jauh maka bersiaplah terjadi revolusi politik yang memakan korban jiwa.

Saya pribadi tidak setuju dengan kebijakan politik seperti isolasi wilayah yang membuat situasi terasa sepi dan seram.

Percuma ada aturan lockdown namun jumlah penderita dan korban jiwa bertambah banyak.

Apa untung bagi warga miskin jika hidup mereka semakin miskin hingga warga miskin berbuat nekat kepada warga kaya.

Jangan sampai niat baik pemerintah justru menjadi serangan balik dari rakyat yang kalah nasib baik untuk melakukan aksi balas dendam dari tekanan hidup.

Mohon maaf  kepada pemerintah Republik Indonesia yang di pimpin oleh Bapak Jokowi-Maruf, saya punya ide jika konsep lockdown di rubah menjadi kebijakan politik gotong royong.

Sikap gotong royong sesuai dengan budaya bangsa Indonesia.

Tindakan gotong royong bisa membantu menyelesaikan masalah sosial akibat buruk dari penyebaran covid-19.

Contohnya pemerintah memberikan bantuan sembako dan obat gratis kepada warga negara Indonesia agar jumlah pasien bisa di tekan. Karena esok akan lahir penyakit baru yaitu depresi masal dari akibat tekanan hidup yang semakin kejam.

Pemerintah harus bisa memberikan jaminan moril dan materil kepada penduduk Indonesia agar situasi politik tidak menjadi keruh dari tangan-tangan orang cerdas namun berahlak buruk.

Gotong royong lebih sempurna dibanding lockdown.

fotografer yunandri agus
fotografer yunandri agus

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun