Beberapa waktu yang lalu muncul usulan dari para politisi pintar dan baik hati untuk memulangkan anak-anak dari orang tua berdarah Indonesia yang bergabung dengan kelompok ISIS.
      Namun usulan tersebut terhambat oleh perdebatan tentang hak azasi manusia.
      Adalah pemikiran tentang hak azasi manusia bahwa setiap individu berhak mendapatkan perlindungan dari negara.
      Lalu yang menjadi inti masalah adalah siapa pihak yang tidak peduli dengan hak azasi manusia. Setiap pihak yang mendukung dan anti pemulangan anak-anak dari  orang tua yang terlibat ISIS di negara Suriah memberikan data kuat kenapa harus ada sikap toleransi.
      Bagi pihak yang mendukung sikap pemulangan anak-anak dari orang tua Warga Indonesia pendukung ISIS di Suriah memberikan alasan bahwa, anak-anak itu masih bersih dari pemikiran terorisme.
      Sedangkan pihak yang anti pemulangan beralasan bahwa, anak-anak tersebut sudah terpengaruh pemikiran terorisme yang bisa menjadi ancaman baru sehingga menambah beban pemerintah saat ini.
      Cerita itu membuat otak kanan dan kiri saya berdebat pula.
      Saya masih ingat ketika masih di sekolah dasar tentang nasehat dari orang tua sendiri untuk jangan bermain dengan anak nakal dan anak bodoh.
      Karena dengan saya bermain anak nakal dan anak bodoh maka saya pasti jadi anak nakal dan anak bodoh.
      Orang tua ingin saya jadi anak pintar dan santun sehingga mampu membanggakan harga diri mereka.
      Akhirnya saya ikut saja apa yang mereka katakan karena berbakti kepada orang tua bisa masuk surga.