"Terus turun menjadi seratus juta rupiah terus turun lagi jadi lima puluh juta rupiah..."
"Lalu kamu berikan gitu?" Brojol cemas.
Brojol terlihat emosi.
"Santai Bro. Lo tenang dulu. Ayo minum lagi. Lo masih doyang sate kambing? Biar gue yang bayar," saya bujuk biar Brojol tidak berbuat aneh.
Brojol sepakat untuk tenang dan tidak memotong perkataan saya. Sambil melihat Brojol yang lahap memakan sate kambing, saya bercerita tentang pertemuan dengan Brondong.
"Wah lo masih punya nasib bagus. Syukur deh. Teman-teman banyak yang kena tipu sama Brondong. Penampilan dan ucapannya meyakinkan bahwa dia orang baik. Ternyata tidak. Dia nggak pernah bayar hutang yang jatuh tempo."
Saya serius mendengar tragedi ini.
"Akhirnya kita sepakat lapor polisi biar Brondong tahu diri. Jangan jadi pengkhianat, jangan jadi orang munafik, jangan mau menang sendiri, jangan jadi manusia curang. Apalagi yang di tipu teman baik. Kita akan cari terus sampai ketemu, walau Brondong sembunyi di Amerika, kita kejar! Kita seret ke sini. Di jamin dia nggak bisa tidur tenang."
Brojol emosi lagi. Dia remas bungkus rokok yang kosong sampai remuk. Saya berusaha tenang, walau sempat punya pikiran untuk membakar hidup-hidup si Brondong.
Setelah di berikan es campur gratis emosi Brojol menjadi dingin.
Kesepakatan tentang kasus ini sudah di buat yaitu jangan percaya dengan Brondong dan segera lapor tangkap.