“Mereka lama banget ya belanjanya?” Tanya Dian kepadaku.
“Mungkin kantin lagi rame.” Aku jawab seadanya sembari menghabiskan bekal nasi ayam kecapku yang hanya tersisa dua sendok makan lagi.
“Nah itu mereka.”
“Kok engga bawa apa-apa? Kalian ga jadi belanja?”
“Nasinya habis. Padahal udah pergi ke 3 kantin yang beda-beda. Semuanya sama aja ternyata, habis.”
“Jadinya kalian engga makan dong?”
“Aku sih udah makan, yang belum ini si Gracia. Kan dia yang kotak bekalnya ketinggalan.”
“Udah kurus, jadi makin kurus deh kamu Ia karena engga makan.”
Gracia yang malang. Dia harus menahan lapar karena kelalaiannya sendiri. Namun yang namanya Gracia, dia selalu penuh kejutan.
Siang itu setelah aku menghabiskan bekal makan siangku, Dian yang memiliki indra penciuman yang begitu sensitif berkata.
“Kalian nyium bau sesuatu ga?”
Sebenarnya tanpa indra penciuman yang sesensitif Dian pun bisa mencium aroma itu. Aroma kotoran anjing yang begitu menyengat. Tadi saat aku makan siang, aroma ini belum ada. Namun, saat Gracia dan Tata datang, barulah aroma ini menyapa seluruh hidung orang-orang yang ada di kelas itu.
“Ini siapa sih yang menginjak tai?”