“Sudah sampai di rumahmu. Sekarang saya pulang ya”
“Hanya itu saja? Kamu tidak ingin mengatakan hal yang lain? Tentang puisi itu mungkin?”
Aku tidak tahu keberanian untuk bertanya itu muncul dari mana. Yang jelas, aku harus bertanya segera tentang hal tersebut. Aku sudah tidak cukup antusias lagi jika hal ini tidak dijelaskan segera oleh dia langsung. Namun apa daya. Dia adalah dia. Lelaki pemalu dengan pembawaan tenang, kalem dan tidak banyak bicara.
Tapi kali ini dia tampak kikuk dan wajahnya bersemu merah. Tidak biasanya dia bersikap seperti itu. Responsnya terhadap pertanyaanku tidak sesuai ekspektasi. Ia tidak menjawab. Malah memilih untuk diam saja dan berjalan ke arah jalan pulang tempat tinggalnya. Aku bertanya-tanya dimana nyali sebagai seorang lelaki yang dia punya. Aku hanya menatap dia yang pergi. Ternyata dia masih pengecut. Mengungkapkan hal yang seharusnya sangat mudah untuk dia lakukan dan responsku terhadap hal itu pasti sangat baik. Aku bahkan sangat siap untuk “mengiyakan” pernyataan yang jika ia ajukan sekarang juga.
Saat aku hendak membuka pintu gerbang rumah, tiba-tiba dia berlari kecil menuju ke arahku dan berkata.
“Maaf tidak ada puisi untuk hari ini. Dan maaf jika aku terlalu pengecut untuk mengungkapkan hal ini sekarang. Ungkapan yang kau harapkan diucapkan langsung olehku saat ini, diwakilkan oleh kaset demo yang aku letakkan di dalam tasmu tadi. Semoga kamu suka.”
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H