Mohon tunggu...
Nandiya Hartawan
Nandiya Hartawan Mohon Tunggu... Mahasiswa - Baru lulus SMA

Suka membaca novel, menonton film, dan hal-hal menyenangkan lainnya.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Ternyata Dia Masih Pengecut

16 Juni 2024   06:15 Diperbarui: 16 Juni 2024   06:24 58
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tidak sampai lima belas menit, kami tiba di sekolah dan syukurnya tidak terlambat. Masih ada waktu beberapa menit lagi menunggu bel masuk dan dimulainya jam pelajaran pertama. Aku menaiki tangga menuju ruang kelasku bersama Dura. Sepanjang itu kami mengobrol perihal hujan akhir-akhir ini yang mulai menjengkelkan. Hingga tiba di kelas, aku merasa ada yang kurang. Pagi ini aku belum melihat dia. Meskipun belum sampai satu jam aku berada di sekolah ini, tapi janggal rasanya jika aku belum melihat dia di pagi hari. Matakku mencari-cari keberadaannya tetapi tidak kulihat batang hidungnya. Pria yang memberiku sepucuk puisi di atas kertas dan menyelipkannya di payung yang biasa aku bawa selama musim hujan ini. Apa hari ini dia tidak sekolah? Entahlah, keberadaannya akan selalu aku nanti. Puisi yang ia tuliskan padaku sangat manis dan rangkaian kata yang ia gunakan indah sekali. Pukul 07. 30, bel masuk berdering kencang di tengah hujan yang cukup lebat. Pelajaran pertama dimulai dengan aku yang membawa perasaan bingung mencari keberadaannya.

Pulang sekolah pukul 15. 30 hujan tidak terlalu deras. Aku memutuskan untuk pulang jalan kaki saja menggunakan payung yang kubawa. Aku memeriksa payungku. Siapa tahu ada sesuatu seperti kemarin-kemarin. Kali ini kosong tidak ada apa-apa. Aku bilang ke Samudra kalau aku ingin pulang berjalan kaki saja. Dan ia mengiyakan hal tersebut tanpa khawatir.

“Nala.”

Suara itu, yang kucari-cari sejak tadi dan sekarang tiba-tiba memanggilku dengan nada bicara yang sangat aku suka. Meneduhkan.

“Kamu pulang sendiri? Tidak dengan Dura seperti pagi tadi?”

“Tidak, hujan tidak sederas tadi pagi. Lagi pula aku membawa payung.”

“Oh begitu.”

Kami berjalan beriringan. Dia juga membawa payung seperti  biasanya. Perawakan tinggi dengan paras yang tak akan bosan untuk aku pandangi itu, hari ini berjalan beriringan denganku. Aku cukup enggan untuk bertanya mengapa dia tidak menyelipkan puisi hari ini di payung yang kupunya.  Jangan-jangan bukan dia orangnya. Tetapi Dura tidak akan berbohong untuk hal seperti itu. Baik, aku harus berani untuk bertanya.

“Tumben tidak membawa sepeda.”

“Sepeda tidak cukup bersahabat untuk dikendarai di kala musim hujan begini.”

Lagi dan lagi pertanyaan yang ingin aku ajukan tidak sesuai dengan skenario di kepalaku. Kami berdua berjalan penuh diam dan sesekali melirik satu sama lain. Hingga tiba di depan pintu gerbang rumahku, pernyataan yang kuharap diajukan oleh dia tidak juga terucap. Aku tahu maksud puisi-puisi itu. Sinyal itu ada pada dirinya dan sinyal itu pasti untukku.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun