Mohon tunggu...
Nandito Putra
Nandito Putra Mohon Tunggu... Jurnalis - Mahasiswa Hukum Tata Negara Fakultas Syari'ah UIN Imam Bonjol Padang.

Penulis merupakan anggota aktif di Lembaga Pers Mahasiswa Suara Kampus dan anggota Kajian Literasi Mahasiswa Konstitusi Fakultas Syari'ah UIN Imam Bonjol Padang.

Selanjutnya

Tutup

Analisis Pilihan

Etika Politik untuk Kemajuan Demokrasi

17 Desember 2019   23:42 Diperbarui: 17 Desember 2019   23:53 245
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pada 2020 mendatang beberapa daerah di tanah air akan menyelenggarakan pemilihan kepala daerah serentak. Pada kali ini, yang akan menyelengarakan pemilihan kepala daerah tercatat sebanyak 270 daerah yang terdiri dari 9 provinsi, 224 kabupaten dan 37 kota. Namun ada hal menarik dalam pilkada 2020 nanti yang terasa begitu berbeda kontras dengan pilkada ataupun perhelatan demokrasi sebelum-sebelumnya. 

Pasalnya pada pilkada 2020 mendatang, ada kandidat di beberapa daerah yang berasal dari keluarga penguasa negeri ini. Anak menantu presiden dan wakil presiden terpiliih Jokow-Ma'ruf Amin dikabarkan siap bertarung memeperebutkan kursi kepala daerah.

Seperti yang telah kita saksikan akhir-akhir ini, anak sulung presiden Jokowi, Gibran Rakabuming Raka mencoba mengikuti jejak sang ayah sebagai wali kota Solo. Selanjutnya tak mau ketinggalan, menanantu presiden Boby Nasution tidak ingin kalah dari sang kakak ipar, kali ini Boby mencoba untuk bertarung di Pilkada kota asalnya, Medan. 

Namun tak lengkap rasanya jika anak wakil presiden Ma'ruf Amin tidak ikut turun gelanggang pada Pilkada mendatang. Kali ini, putri sang kiayi yaitu Siti Nur Azizah ikut mewarnai persaingan pilkada kota Tanggerang Selatan. 

Ketiga-tiga nya mendaftar sebagai bakal calon untuk partai PDIP. Sebelum melanjutkan tulisan ini, penulis menilai bahwa etika berpolitik di negeri ini tidak begitu dihiraukan lagi, padahal penting untuk membangun kehidupan demokrasi yang sehat dan bersih.

Sebenarnya tidak ada yang salah dari apa yang dilakukan oleh anak-menantu presiden dan wakil presiden tersebut. Sebab di dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Pasal 43 ayat (1), dinyatakan bahwa "Setiap warga negara berhak untuk dipilih dan memilih dalam pemilihan umum berdasarkan persamaan hak melalui pemungutan suara yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan". 

Tetapi terkait dengan ikut sertanya anak-menantu penguasa negeri ini pada pilkada mendatang banyak menimbulkan asumsi-asumsi negative bagi perjalan demokrasi Indonesia pasca reformasi, yaitu percobaan menerapkan kembali dinasti politik dan kekuasaan. Terlebih lagi bangsa ini pernah mengalami jejak kelam tentang politik dinasti pada era orde baru. Kita tentu tidak ingin hal serupa juga disematkan pada rezim saat ini.

Jika kita amati dan telusuri lebih jauh, pasti banyak kita temukan praktik membangun dinasti politik di berbagai daerah pada pilkada mendatang. Kondisi semcam ini cukup mengkhawatirkan dan tidak sehat bagi jalannya suasana perpolitikan. Alih-alih berkompetisi secara adil dan sesuai dengan apa yang telah diatur dalam Undang-Undang, namun stigma negative tidak akan dapat dihindari. 

Kita mencemaskan adanya keterlibatan secara tidak langsung oleh presiden yang memangku kekuasaan dalam memenangkan keluarganya dalam pemilihan umum. Pun tidak dapat dihindari jika nanti kemenangan yang diperoleh bukanlah karena prbuatan diri sendiri, melainkan karean menumpang nama besar sang ayah sebagai presiden dan wakil presiden.

Undang-Undang memang memberikan hak konstitusional kepada rakyat untuk dipilih dan memilih, di lain sisi peraturan mengenai tidak diperbolehkannya membangun dinasti kekuasaan juga tidak diatur dalam Undang-Undang. 

Pemerintah harus merancang regulasi tentang boleh tidaknya kerabat dekat maju sebagai pejabat eksekutif maupun legislative. Dirasa perlu akan adanya regulasi tersebut untuk membangun etika berpolitik yang sehat dan mencegah budaya politik dinasti.

Jika kita melihat pandangan Ibn Khaldun (1332-1406), politik dinasti dinamakan ashabiyah. Ibn Khaldun menilai politik ashabiyah sebagai gejala yang bersifat alamiah. Sebab, umumnya penguasa selalu ingin merekrut orang yang memiliki hubungan darah sebagai bawahannya. Politik ashabiyah menurut bapak sejarah itu dapat menimbulkan kehancuran bagi negara. 

Dalam konteks hari ini, politik semacam itu merupakan persoalan serius. Karena dijalankan dalam suasana demokrasi yang sedang tumbuh dan berkembang. Politk dinasti lambat laun pasti akan mengganggu proses chek and balances dalam menyelanggarakan pemerintahan. Fungsi saling mengontrol tentu tidak akan berjalan maksimal jika jabatan publik dikuasasi oleh bagian dari keluarga atau kerabat. 

Padahal jika kita renungkan, untuk menyuburkan nilai-nilai demokrasi, fungsi kontrol sangatlah penting. Jika kontrol terhadap pemerintah lemah, budaya korupsi dan kolusi tidak akan dapat dicegah.

Penulis juga melihat ada indikasi bahwa pencalonan anak-menantu presdien dan wakil presiden adalah untuk mencari sensasi semata. Atau hal itu merupakan sebuah bentuk untuk memeberikan kehangatan bagi suasana perpolitikan jelang akhir tahun ini. Bukan tanpa alasan, sebab seperti yang sama-sama kita ketahui, mereka sama sekali tidak memiliki kapasitas yang meyakinkan sebagai pemimpi daerah. 

Terlebih lagi masih minimnya pengalaman dalam memimpin. Kita tentunya mengharapkan hadirnya pemimpin yang benar-benar matang dalam segala hal. Agar tidak terkesan jor-jor an dalam berdemokrasi dan hanya sebatas mencari sensasi.

Kita tentu mengharapkan siapa pun itu mereka yang merupakan bagian dari keluarga penguasa, sedapat mungkin untuk tidak berada dalam lingkaran kekuasaan. Karena hal itu akan berdampak baik bagi suasana berdemokrasi dan politik nasional. Alangkah baiknya anak-menantu presiden dan wakil presiden terus mengabdi kepada rakyat dan terus belajar untuk membangun integritas. 

Tidak mencari momen sebagai anak-menantu presiden! Etika dalam menggunakan hak politik dalam hal ini sangat perlu diperhatikan untuk menghindari anggapan bahwa pemerintah menyokong kembali timbulnya budaya politik dinasti. Semoga negeri ini semakin matang dan dewasa dalam menghadapi hal semacam ini. 

Peranan rakyat dan pers selalu diharapkan menjadi garda terdepan untuk mengawasi tindak-tanduk penguasa, agar segala bentuk perbuatan yang tidak sesuai dengan hati nurani rakyat tidak dilakukan. Mari kita cerdas dalam menanggapi budaya politik dinasti, dan selalu objektif serta kiritis terhadap jalannya penyelenggaraan negara ini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun