Mohon tunggu...
Nandita Fitri Ananda
Nandita Fitri Ananda Mohon Tunggu... Mahasiswa - MAHASISWA UNIVERSITAS MERCU BUANA

NIM: 43223010134 | PROGRAM STUDI S1 AKUNTANSI | FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS | UNIVERSITAS MERCU BUANA | DOSEN: PROF. Dr. Apollo, M. Si.,Ak.

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas

Edward Coke: Actus Reus, Mens Rea pada Kasus Korupsi di Indonesia

3 Desember 2024   20:54 Diperbarui: 4 Desember 2024   10:09 99
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pendahuluan 

Salah satu pengacara paling terkenal di Inggris adalah Edward Coke. Ia dikenal sebagai tokoh penting dalam yurisprudensi yang menjelaskan konsep "hukum yang lebih tinggi" serta memberikan dampak besar melalui tulisan dan keputusan pengadilannya. Putusan-putusan penting Coke didasari oleh filsafat Kristen, yang menghidupkan kembali Magna Carta sebagai piagam hak dan kebebasan setiap individu, setelah sebelumnya mengalami ketidakjelasan selama pemerintahan Tudor.

Penafsiran hukum yang dilakukan oleh Coke memberikan pengaruh besar, tidak hanya di Inggris tetapi juga di seluruh wilayah Kekaisaran Inggris, termasuk Australia. Dalam sejarah hukum umum, Edward Coke dianggap sebagai salah satu tokoh yang paling layak dihormati atas perjuangannya dalam menegakkan supremasi hukum, melindungi hak-hak individu, serta menjaga independensi peradilan.

Edward Coke (1552--1634) sering dianggap sebagai ahli hukum dan penafsir hukum umum Inggris yang paling terkenal. Ia dikenal karena keberaniannya dalam membela supremasi hukum melawan klaim hak prerogatif kerajaan keluarga Stuart. Salah satu karyanya yang paling terkenal, Institutes of the Laws of England, pertama kali diterbitkan pada tahun 1628.

Karya Institutes ini dianggap sebagai pernyataan prinsip konstitusional Inggris pada abad ke-17. Dengan dedikasinya terhadap supremasi hukum, perlindungan hak dan kebebasan individu, serta independensi peradilan, Edward Coke dikenang sebagai sosok yang memberikan kontribusi besar dalam membangun fondasi hukum modern.

Gambar Pribadi
Gambar Pribadi

Gambar Pribadi
Gambar Pribadi

Modul PPT Dosen: Prof. Dr, Apollo, M.Si.Ak
Modul PPT Dosen: Prof. Dr, Apollo, M.Si.Ak

Modul PPT Dosen: Prof. Dr, Apollo, M.Si.Ak
Modul PPT Dosen: Prof. Dr, Apollo, M.Si.Ak

Modul PPT Dosen: Prof. Dr, Apollo, M.Si.Ak
Modul PPT Dosen: Prof. Dr, Apollo, M.Si.Ak

What

APA ITU EDWARD COKE : ACTUS REUS DAN MENS REA ?

Setiap kejahatan didasarkan pada kondisi mental tertentu yang dikenal sebagai elemen mental mens rea. Seseorang tidak dapat dihukum atas suatu kejahatan kecuali ia telah mencapai kondisi mental ini. Pandangan ini menunjukkan bahwa mens rea berfungsi sebagai perlindungan penting terhadap hukuman yang tidak adil. Edward Coke pernah menyatakan, "Suatu tindakan tidak membuat seseorang bersalah kecuali pikirannya juga bersalah," yang menunjukkan bahwa pada abad ke-12, konsep mens rea belum diterapkan dalam hukum pidana. Pada masa itu, baik disengaja maupun tidak, seseorang yang melakukan pelanggaran biasanya tetap dihukum. Faktor-faktor yang menyebabkan kerugian menjadi hal penting dalam menentukan apakah seseorang dapat dimintai pertanggungjawaban pidana, terlepas dari kesalahan apa yang dilakukan oleh pelaku. Hal ini ditegaskan oleh Hakim AS Henry Wigmore, yang menyatakan bahwa "Pelaku suatu perbuatan bertanggung jawab baik ia bertindak dengan sengaja atau tidak sengaja."

Istilah Latin actus reus non facit reum nisi mens sit rea, yang berarti "tidak ada kejahatan tanpa pikiran yang bersalah," diperkenalkan pada abad ke-17. Pepatah ini menegaskan bahwa mens rea adalah elemen penting dalam menentukan apakah suatu tindakan dapat dianggap sebagai tindak pidana. Pernyataan ini menunjukkan bahwa kejahatan hanya dapat didefinisikan sebagai suatu tindakan yang dilakukan dengan maksud untuk melakukan kejahatan.

Dalam sistem peradilan pidana modern, terdapat perbedaan yang jelas antara pelaku kejahatan yang dengan sengaja merencanakan tindakan jahat, seperti pembunuhan berencana, dan pelaku yang bertindak tanpa niat jahat atau karena kelalaian. Konsep mens rea memainkan peran penting dalam membedakan antara kesalahan yang disengaja dan yang tidak disengaja, sehingga memastikan bahwa hukuman yang diberikan sesuai dengan tingkat kesalahan pelaku.

Edward Coke adalah seorang ahli hukum Inggris yang hidup pada abad ke-16 dan 17 yang terkenal karena kontribusinya dalam mengembangkan supremasi hukum dan prinsip-prinsip hukum umum. Salah satu warisan terbesarnya adalah pemahaman mendalam tentang hubungan antara actus reus (tindakan melawan hukum) dan mens rea (niat jahat), yang menjadi dasar dalam menentukan apakah seseorang dapat dihukum atas suatu kejahatan. Actus reus merujuk pada tindakan fisik yang melanggar hukum, seperti pencurian, penipuan, atau pemberian suap, yang dilakukan oleh individu atau perusahaan yang menyebabkan kerugian atau melanggar undang-undang. Sementara itu, mens rea mengacu pada niat jahat atau kesengajaan pelaku saat melakukan kejahatan, seperti pembunuhan berencana yang melibatkan niat untuk menghilangkan nyawa orang lain. Edward Coke menegaskan bahwa "tidak ada kejahatan tanpa pikiran yang bersalah" (actus reus non facit reum nisi mens sit rea), yang berarti bahwa seseorang hanya dapat dinyatakan bersalah jika tindakan melawan hukumnya (actus reus) dilakukan dengan niat jahat atau kesengajaan (mens rea). Prinsip ini memastikan bahwa hukuman hanya diberikan ketika ada bukti kesalahan yang disengaja, bukan karena kelalaian semata. Dengan demikian, prinsip actus reus dan mens rea yang dirumuskan oleh Edward Coke berperan penting dalam sistem peradilan pidana modern untuk membedakan tindakan yang disengaja dan yang tidak, serta untuk menjatuhkan hukuman yang adil sesuai tingkat kesalahan pelaku.

Why

MENGAPA PENERAPAN ACTUS REUS DAN MENS REA PENTING ?

Dalam sistem hukum pidana, penerapan actus reus (tindakan melawan hukum) dan mens rea (niat jahat) sangat penting karena berfungsi sebagai dasar untuk menentukan apakah suatu perbuatan dapat dikategorikan sebagai tindak pidana. Actus reus memastikan bahwa hanya tindakan nyata yang melanggar hukum yang dapat dihukum, sedangkan mens rea memastikan bahwa pelaku memiliki niat atau kesengajaan saat melakukan pelanggaran, sehingga mencegah hukuman yang tidak adil atas tindakan tanpa niat atau karena kelalaian. Elemen mens rea juga membantu membedakan tingkat kesalahan, di mana tindakan dengan niat jahat dihukum lebih berat dibandingkan tindakan akibat kelalaian. Dalam kasus korporasi, actus reus menunjukkan bahwa perusahaan atau individu telah melakukan tindakan melawan hukum, seperti manipulasi tender atau suap, sementara mens rea menunjukkan adanya kesengajaan atau kesadaran penuh, bukan sekadar kesalahan administratif. Selain itu, elemen actus reus mencegah seseorang dihukum hanya karena niat tanpa tindakan nyata, sementara mens rea mencegah pelaku yang sengaja melanggar hukum menghindari hukuman dengan alasan ketidaktahuan. Penerapan kedua komponen ini juga memberikan efek jera dan pendidikan hukum, dengan mengirimkan pesan bahwa pelanggaran hukum dan tindakan jahat akan dikenai sanksi, sehingga mendorong individu dan perusahaan untuk berhati-hati serta mematuhi hukum. Dengan demikian, actus reus dan mens rea menjadi elemen penting dalam menjaga keadilan, mencegah penyalahgunaan hukum, dan menciptakan efek jera bagi pelaku tindak pidana.

Contoh kasus di Indonesia yang melakukan Tindakan kejahatan Korporasi yang memiliki kekuatan hukum tetap yang dilakukan penindakan hukum oleh KPK

Pada 24 Juli 2017, PT Nusa Konstruksi Enjiniring (NKE) ditetapkan sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Perusahaan ini didakwa melakukan tindak pidana korupsi dalam proyek pembangunan Rumah Sakit Pendidikan Khusus Penyakit Infeksi dan Pariwisata Universitas Udayana Tahun Anggaran 2009--2010. Penetapan tersebut merupakan pengembangan dari kasus yang melibatkan Dudung Purwadi, mantan Direktur Utama PT DGI, dan Made Meregawa, pejabat pembuat komitmen. PT NKE diduga melawan hukum dengan memenangkan proyek tersebut secara tidak sah dan memperkaya diri sendiri sebesar Rp 24,778 miliar. Perbuatan ini juga menyebabkan kerugian negara sebesar Rp 25,953 miliar.

Selain itu, PT NKE didakwa memperkaya Muhammad Nazaruddin serta perusahaan yang dikendalikannya, yaitu PT Anak Negeri, PT Anugerah Nusantara, dan Grup Permai, sebesar Rp 10,290 miliar. Jaksa KPK menuntut PT NKE membayar denda sebesar Rp 1 miliar dan uang pengganti sebesar Rp 188.732.756.416. Hak perusahaan untuk mengikuti lelang proyek pemerintah juga dicabut selama dua tahun.

Namun, vonis hakim lebih ringan daripada tuntutan jaksa. Majelis hakim mempertimbangkan beberapa faktor, seperti keuntungan Rp 240 miliar dari delapan proyek yang dikurangi dengan Rp 51,3 miliar yang telah disetor ke kas negara oleh Dudung Purwadi. Selain itu, commitment fee sebesar Rp 67 miliar yang dibayarkan kepada Nazaruddin dan rekannya juga menjadi pengurang, sehingga total uang pengganti menjadi Rp 121 miliar. Dari jumlah tersebut, Rp 35 miliar telah dititipkan terdakwa ke KPK.

PT NKE mengakui kesalahan, menunjukkan penyesalan, dan berkomitmen menjaga manajemen perusahaan agar bebas dari korupsi. KPK menyambut baik pencabutan hak mengikuti lelang sebagai bagian dari vonis, karena mencerminkan perbedaan hukuman antara korporasi dan individu. Juru bicara KPK, Febri Diansyah, menyatakan bahwa pencabutan hak ini adalah poin penting dalam vonis tersebut.

Usai sidang, Djoko, perwakilan PT NKE, menyatakan menerima keputusan pengadilan dengan baik dan berkomitmen melaksanakan putusan, termasuk membayar denda dan uang pengganti secepatnya. KPK menghormati keputusan hakim, meskipun terdapat perbedaan antara tuntutan jaksa dan putusan akhir.

How

BAGAIMANA PRINSIP EDWARD COKE : ACTUS REUS DAN MENS REA PADA KASUS KORUPSI DI INDONESIA ?

Pemikiran Edward Coke, seorang ahli hukum Inggris dari abad ke-16 dan 17, telah membantu mengembangkan konsep actus reus (tindakan melawan hukum) dan mens rea (niat jahat) yang menjadi komponen penting dalam hukum pidana di seluruh dunia, termasuk di Indonesia. Dalam penanganan kasus korupsi, penegak hukum seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memulai dengan mengidentifikasi actus reus, yaitu tindakan melanggar hukum yang dilakukan pelaku, seperti penipuan tender, suap, atau penggelapan dana publik. Bukti fisik, seperti dokumen palsu, rekaman komunikasi, atau aliran dana mencurigakan, digunakan untuk membuktikan adanya pelanggaran. Setelah itu, KPK menyelidiki mens rea pelaku untuk memastikan adanya kesengajaan atau niat buruk di balik tindakan tersebut, misalnya apakah pelaku secara sadar memberikan suap untuk memenangkan proyek atau bertindak demi keuntungan pribadi atau korporasi.

Pada tahap penyidikan, prinsip actus reus dan mens rea digunakan secara bersamaan untuk menetapkan tersangka. Dalam kasus korupsi, seseorang dapat dijadikan tersangka jika terbukti melakukan tindakan melawan hukum dengan kesadaran penuh dan sengaja. Dalam persidangan, jaksa penuntut umum menggunakan bukti actus reus untuk menunjukkan tindakan melanggar hukum yang dilakukan dan mens rea untuk membuktikan bahwa pelaku bertindak dengan niat atau kesengajaan. Prinsip Edward Coke, yaitu "Actus non facit reum nisi mens sit rea" (tidak ada kejahatan tanpa niat jahat), menjadi landasan penting untuk memastikan keadilan hukum.

Penerapan prinsip ini juga memastikan bahwa seseorang tidak dihukum hanya karena tindakan fisik tanpa adanya niat buruk, sehingga menghindari hukuman yang tidak adil, seperti pada kasus kelalaian administratif. Selain itu, penerapan actus reus dan mens rea memberikan efek jera bagi pelaku korupsi dengan memastikan bahwa setiap aspek tindakan mereka akan diperiksa secara menyeluruh. Dengan demikian, prinsip ini tidak hanya menciptakan penegakan hukum yang lebih adil, tetapi juga memperkuat pencegahan korupsi dan integritas sistem hukum di Indonesia.

Kesimpulan 

Pemikiran Edward Coke tentang actus reus (tindakan melawan hukum) dan mens rea (niat jahat) telah berkontribusi pada perkembangan sistem hukum pidana kontemporer. Prinsip ini membantu sistem peradilan, baik di Inggris maupun Indonesia, khususnya dalam menangani kasus korupsi. Actus reus menunjukkan adanya tindakan nyata yang melanggar hukum, sedangkan mens rea menekankan pentingnya niat atau kesengajaan dalam menentukan tanggung jawab pidana. Dengan menggabungkan kedua elemen ini, sistem hukum memastikan bahwa hukuman hanya dapat dijatuhkan jika tindakan melanggar hukum dilakukan dengan kesengajaan.

Dalam konteks kasus korupsi di Indonesia, penerapan actus reus dan mens rea membantu penegak hukum, seperti KPK, membuktikan pelanggaran secara menyeluruh. Konsep ini membuat penegakan hukum lebih adil dengan membedakan antara tindakan melanggar hukum dan niat jahat di baliknya. Selain itu, penerapan prinsip ini mencegah penyalahgunaan hukum, seperti menghukum seseorang atas tindakan administratif yang tidak disengaja atau atas niat buruk tanpa tindakan nyata.

Penerapan prinsip Edward Coke juga memastikan keadilan hukum dan memberikan efek jera bagi pelaku korupsi. Dengan menegaskan bahwa setiap pelanggaran yang disengaja akan dihukum, sistem hukum Indonesia memperkuat integritas dan mendorong pencegahan tindak pidana korupsi. Prinsip "Actus non facit reum nisi mens sit rea" menjadi landasan penting dalam menciptakan penegakan hukum yang adil, di mana hukuman disesuaikan dengan tingkat kesalahan dan tanggung jawab pelaku. Prinsip ini menegaskan pentingnya keseimbangan antara niat dan tindakan dalam hukum, sehingga keadilan tidak hanya menjadi hukuman semata, tetapi juga sebuah upaya menciptakan masyarakat yang taat hukum dan bebas dari korupsi.

DAFTAR PUSTAKA

Al-Rawahi, A. A. (2022). How is the concept of 'Mens Rea' under Article 30 of the Rome Statute interpreted in International Criminal Law? AALCO Journal of International Law , 96.

Dylan Aprialdo Rachman, I. D. (2019, Januari 04). Perjalanan Kasus PT NKE, Korporasi Pertama yang Divonis Korupsi. Retrieved from kompas.com: https://nasional.kompas.com/read/2019/01/04/06115311/perjalanan-kasus-pt-nke-korporasi-pertama-yang-divonis-korupsi?page=all#page2

ZIMMERMANN, A. (2017). SIR EDWARD COKE AND THE SOVEREIGNTY OF THE LAW . THE JURISPRUDENTIAL APPROACH OF SIR EDWARD COKE, 127-146.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun