Alat pertama yang digunakan manusia untuk mengetahui sesuatu adalah melalui panca indra, yang terdiri dari lima indera: penciuman, pengecapan, perabaan, pendengaran, dan penglihatan. Melalui panca indra inilah manusia dapat merasakan dunia di sekitarnya, mulai dari bau, rasa, sentuhan, suara, hingga bentuk dan warna benda.
2. Rasa Hati Â
Alat kedua adalah rasa hati, yang memungkinkan seseorang untuk merasakan perasaan ada, senang, dan susah. Rasa hati ini menjadi alat untuk mengidentifikasi dan merasakan berbagai emosi yang dialami, memberi warna pada setiap pengalaman hidup.
3. Pengertian dan PemahamanÂ
Alat ketiga adalah pengertian dan pemahaman, yang membantu manusia untuk mengidentifikasi dan memahami hal-hal yang berasal dari panca indra dan perasaan. Dengan alat ini, seseorang dapat memberikan makna pada pengalaman yang dirasakannya, sehingga bisa memahami dunia lebih dalam. Menurut Ki Ageng, ketiga alat ini adalah perangkat utama yang digunakan manusia untuk mengetahui sesuatu dengan tepat. Tanpa ketiga perangkat ini, manusia tidak akan bisa memahaminya dengan benar.
Ki Ageng juga menjelaskan bahwa sejak bayi, manusia sudah mulai berfungsi sebagai pencatat atau perekam segala hal yang terjadi di sekitar mereka. Seluruh pengalaman yang kita alami, baik yang dilihat, didengar, dicium, dirasakan, semuanya tercatat dalam "ruang rasa" kita. Sebagai bayi, kita merekam segala hal yang kita alami, dan rekaman tersebut lengkap dan menyeluruh.
Setelah manusia meninggal, aktivitas pencatatan ini berhenti. Meskipun demikian, rekaman yang sudah disimpan dalam ruang rasa tetap ada. Ki Ageng memberi contoh bahwa meskipun matanya tertutup, ia bisa dengan jelas mengingat dan melihat kembali rumahnya di Yogyakarta, hanya dengan mengandalkan rekaman dalam ruang rasa. Â
Ki Ageng mengungkapkan bahwa ruang rasa ini lebih luas daripada alam semesta itu sendiri, karena segala sesuatu yang kita alami dan rasakan akan tersimpan dalam ruang ini. Ruang rasa ini adalah dimensi keempat, tempat manusia yang telah mencapai kebahagiaan sejati berada. Orang yang hidup dalam dimensi keempat memiliki kemampuan untuk memahami diri mereka sendiri dan orang lain dengan lebih mendalam. Mereka tidak hanya melihat dunia dengan panca indra, tetapi juga dengan rasa hati dan pemahaman yang lebih luas.
Dalam dimensi keempat ini, seseorang dapat menjawab pertanyaan dari pengawas (atau kesadaran yang lebih tinggi) dengan bijaksana, karena mereka sudah mampu mencapai keseimbangan dan kebahagiaan sejati.
Pemikiran tentang "Pengetahuan Jiwa Kramadangsa" Ki Ageng Suryomentaram
Istilah "Kramadangsa" digunakan oleh Ki Ageng Suryomentaram untuk menyebut diri sendiri atau identitas. Ketika seseorang dipanggil, Kramadangsa akan menoleh. Misalnya, jika seseorang yang bernama Suta dipanggil "Hai Suta", ia akan menoleh, dan pada dasarnya itulah Kramadangsa-nya. Ki Ageng Suryomentaram menjelaskan bahwa setiap orang memiliki karep (keinginan) yang pada dasarnya sama, yaitu keinginan untuk bersenang-senang dan merasa puas. Namun, ciri pribadi setiap orang berbeda, tergantung pada catatan kehidupannya yang unik. Ciri-ciri ini dikenal dalam kawruh jiwa sebagai Kramadangsa.Â
Kramadangsa dianggap sebagai spesies ukuran ketiga dalam pemikiran Ki Ageng Suryomentaram. Dalam ukuran kedua, tugas Kramadangsa adalah berpikir dan menjalankan catatan kehidupan yang sudah tercatat melalui panca indra dan perasaan. Kramadangsa hidup secara egois dan cenderung tidak mempertimbangkan kebutuhan orang lain. Sejak lahir, manusia sudah mulai mencatat apa yang ada di sekitarnya dan apa yang dirasakan melalui panca indra, mata batin, dan pikiran. Untuk menyampaikan atau merekam catatan-catatan kehidupan ini, diperlukan semacam "pelaksanaan tugas" yang disebut sebagai Kramadangsa dalam Kawruh Jiwa. Dengan kata lain, Kramadangsa menjadi pelaksana dari apa yang telah tercatat dalam kehidupan seseorang, dan menjadi penggerak atau pengendali atas perjalanan hidup tersebut.
Ki Ageng Suryomentaram dikenal sebagai seorang tokoh fenomenal dalam budaya Jawa, yang mengajarkan nilai-nilai pendidikan karakter yang mendalam. Sebagai seorang bangsawan Jawa, ia memilih untuk meninggalkan statusnya dan hidup lebih sederhana, jauh dari politik kolonialisme dan feodalisme yang ada pada masanya. Baginya, pengabdian hidup dan penyerahan diri untuk kepentingan rakyat adalah tujuan hidup yang lebih penting daripada ambisi untuk menjadi penguasa atau orang kaya.