Manusia pada umumnya sering terjebak dalam pola mengejar sesuatu secara berlebihan, seperti kekayaan, kehormatan, atau kesehatan, sekaligus menolak sesuatu yang tidak diinginkan, seperti kemiskinan atau penderitaan. Contohnya, banyak orang bekerja keras setiap hari untuk mendapatkan kekayaan, meminum berbagai suplemen, mematuhi diet ketat, dan menjaga kesehatan dengan penuh ambisi. Mereka juga sering berusaha tampil mewah dengan mengenakan pakaian bermerek, mengendarai mobil sport, dan mengejar kehormatan serta harga diri. Â
Ki Ageng Suryomentaram menjelaskan bahwa kebahagiaan tidak bergantung pada tercapainya keinginan. Ia mengajarkan bahwa kesenangan dan kesulitan adalah bagian dari kehidupan manusia yang sering kali dipengaruhi oleh keinginan. Ia menegaskan bahwa keinginan yang tidak tercapai tidak akan selalu menyebabkan penderitaan, dan keinginan yang tercapai tidak akan membawa kebahagiaan abadi. Pemahaman yang salah bahwa tercapainya keinginan selalu menyebabkan kebahagiaan dan kegagalannya selalu menyebabkan penderitaan, menurutnya, adalah hal yang harus diluruskan. Â
Nilai Karakter dalam Ilmu Bahagia Â
Ki Ageng juga menyoroti pentingnya nilai-nilai karakter dalam menjalani kehidupan. Nilai karakter adalah prinsip-prinsip yang dianggap baik dan membantu seseorang memiliki kehidupan yang bermartabat. Jika nilai-nilai ini ditanggapi secara positif, seseorang akan menjalani kehidupan dengan karakter baik. Sebaliknya, jika nilai-nilai tersebut ditanggapi secara negatif, seseorang akan merasa tidak berharga dan akhirnya tidak bahagia. Â
1. Sifat "Karep" yang Mulur-MungkretÂ
Salah satu pokok ajaran Ki Ageng adalah tentang sifat karep (hasrat) yang mulur-mungkret. Ia menjelaskan bahwa sifat ini adalah bagian dari setiap manusia. Karep atau keinginan memiliki sifat yang terus bertambah (mulur) ketika tercapai, tetapi bisa menyusut (mungkret) ketika tidak terpenuhi. Â Ketika seseorang mencapai keinginannya, ia merasa bahagia. Namun, kebahagiaan tersebut hanya sementara karena keinginan baru akan terus muncul. Sebaliknya, ketika keinginan tidak terpenuhi, seseorang akan merasa gagal dan tidak puas. Sifat mulur akan terus berlanjut hingga suatu saat keinginan tidak tercapai, menyebabkan seseorang merasa mungkret atau gagal. Bahkan ketika beberapa keinginan telah tercapai, orang tersebut mungkin masih merasa mungkret karena keinginan lain belum terpenuhi. Ki Ageng Suryomentaram mengajarkan bahwa memahami sifat karep ini adalah kunci untuk menjalani kehidupan yang lebih damai. Kesadaran bahwa keinginan yang terpenuhi tidak menjamin kebahagiaan abadi dan keinginan yang tidak terpenuhi tidak selalu menyebabkan penderitaan, dapat membantu seseorang hidup dengan lebih bijaksana. Â
2. Rasa Sama (Raos Sami)
Ki Ageng Suryomentaram mengajarkan bahwa semua manusia memiliki rasa yang sama. Setiap orang memiliki keinginan, sehingga mereka berusaha keras untuk memenuhi keinginan tersebut agar merasa bahagia. Di sisi lain, mereka juga berusaha mencegah kegagalan yang dapat menyebabkan kesusahan. Karena itu, semua manusia pada dasarnya sama, yaitu memiliki keinginan. Namun, sifat keinginan yang mulur-mungkret (meluas dan menyusut) sering kali menjadi penyebab kebahagiaan (bungah) dan kesusahan (susah). Â
3. Rasa Tentram Â
Rasa tentram dapat dicapai ketika seseorang memahami bahwa rasa semua orang di dunia ini pada dasarnya sama. Dengan pemahaman ini, seseorang terbebas dari penderitaan yang disebabkan oleh iri hati dan kesombongan. Orang yang telah mencapai rasa tentram akan memasuki "surga ketenteraman," di mana ia dapat menjalani kehidupan dengan sikap sederhana yaitu bertindak sesuai kebutuhan, seperlunya, secukupnya, dan sebagaimana mestinya. Â Ki Ageng menegaskan bahwa hidup yang benar mencakup penerimaan terhadap kenyataan bahwa rasa senang dan susah akan datang silih berganti. Jika seseorang masih dikuasai oleh rasa iri dan sombong, maka ia tidak akan mampu menjalani hidup dengan benar. Â
4. Rasa Abadi (Raos Langgeng)
Rasa abadi menurut Ki Ageng adalah karep atau hasrat, yang menjadi dasar kehidupan. Jika seseorang memahami bahwa karep itu abadi, maka ia dapat terbebas dari penderitaan yang disebut getun dan sumelang. Getun adalah rasa kecewa atau penyesalan terhadap sesuatu yang telah terjadi, sedangkan sumelang adalah rasa khawatir terhadap sesuatu yang belum terjadi. Â Sering kali, manusia terjebak dalam keadaan "magang cilaka," yaitu merasa celaka atas sesuatu yang bahkan belum dilakukan. Ki Ageng mengajarkan bahwa pokok ketakutan dalam getun dan sumelang adalah kesusahan. Padahal, kesusahan apa pun yang dihadapi manusia pasti dapat dilalui. Dengan pemahaman ini, seseorang tidak perlu mencari sesuatu atau menghindarinya secara mati-matian, karena di dunia ini tidak ada yang benar-benar pantas dicari atau dihindari. Â
4. Rasa Tabah
Rasa tabah menurut Ki Ageng adalah keberanian untuk menghadapi segala hal, baik menjadi kaya maupun miskin, senang maupun susah. Penerimaan terhadap kenyataan bahwa hidup adalah perpaduan antara rasa senang dan susah memungkinkan seseorang menghayati kehidupan dengan lebih mendalam. Â Ki Ageng menjelaskan bahwa rasa susah dan senang sebenarnya tidak menyentuh "aku" yang sejati. "Aku" yang sejati adalah diri yang tidak merasakan susah maupun senang, karena rasa tersebut hanyalah pengalaman yang bersifat sementara. Ketika seseorang mampu melacak "aku"-nya yang sejati, ia akan mengenali bahwa dirinya hanyalah pengamat dari rasa senang atau susah yang dialami. Â
5. Mengawasi Hasrat (Nyawang Karep)
Ki Ageng mengajarkan pentingnya menyadari jarak antara "aku" yang mengalami rasa senang atau susah dengan "aku" yang sejati. Gambarannya adalah seperti melihat diri sendiri dari luar, di mana seseorang menjadi pengamat dari pengalaman yang dialaminya. Proses ini disebut "aku si pengawas". Â Melalui pengawasan terhadap hasrat, seseorang dapat mengendalikan keinginan dan menerima kehidupan dengan bijaksana. Pemahaman ini membantu manusia menjalani hidup tanpa terjebak dalam penderitaan yang disebabkan oleh ambisi dan kegagalan. Â
Pemikiran "Ukuran Keempat" Ki Ageng Suryomentaram
Ki Ageng Suryomentaram mengemukakan pemikiran mengenai "Ukuran Keempat," yang mengatakan bahwa manusia memiliki tiga alat intrinsik untuk mempelajari dan mengetahui segala sesuatu. Â
1. Panca Indra Â