what
APA ITU KORUPSI ?
Korupsi berasal dari kata Latin "corruptio" yang berarti tindakan merusak atau menghancurkan. Korupsi diartikan sebagai kebusukan, keburukan, ketidakjujuran, dan penyimpangan dari kesucian. Istilah korupsi diadopsi dari bahasa Belanda "corruptie." Prof. Dr. Todung Mulya Lubis mendefinisikan korupsi sebagai pelanggaran hukum oleh seseorang atau kelompok yang menggunakan kekuasaannya untuk keuntungan pribadi. World Bank pada tahun 2000 mendefinisikan korupsi sebagai penyalahgunaan kekuasaan publik untuk keuntungan pribadi. Definisi hukum korupsi tercantum dalam UU No. 31 Tahun 1999 dan UU No. 20 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi, yang mencakup tiga puluh jenis tindak pidana korupsi.
Jenis-jenis korupsi meliputi:
(1) kerugian negara
(2) penyuapan,
(3) penggelapan
(4) pemerasan
(5) kecurangan
(6) manipulasi, dan
(7) kompensasi
Kasus korupsi di Indonesia sudah ada sejak era kolonial Belanda, dengan praktik pungutan liar dan suap oleh penguasa lokal serta pegawai Belanda. Korupsi turun-temurun ini menjadi warisan buruk yang sulit dihapus dari masyarakat Indonesia.
Korupsi adalah perilaku menyimpang yang dilakukan oleh pegawai negeri atau pejabat publik untuk mendapatkan keuntungan pribadi yang melanggar aturan sosial dan hukum (Quah, dalam Masyarakat Transparansi, Caiden, 1982).
Korupsi di Indonesia memiliki beberapa ciri sebagai berikut (Otonomi Media, 2005):
1. Korupsi biasanya melibatkan lebih dari satu orang dalam pelaksanaannya.
2. Tindakan korupsi terjadi di lingkungan pegawai negeri atau anggota partai politik, tetapi juga dapat ditemukan di perusahaan swasta.
3. Bentuk korupsi bisa berupa uang kopi, sogokan, atau dana pelicin, baik dalam bentuk uang tunai, barang, maupun layanan yang diberikan secara rahasia.
4. Korupsi melibatkan elemen tanggung jawab dan keuntungan timbal balik, yang tidak selalu dalam bentuk uang tunai.
5. Setiap tindakan korupsi mengandung kecurangan, terutama di institusi publik atau masyarakat umum.
6. Korupsi melanggar tanggung jawab dan kewajiban organisasi atau komunitas terkait.
7. Korupsi di sektor swasta dapat melibatkan penerimaan uang atau hadiah untuk mengungkap rahasia perusahaan atau mengambil komisi yang seharusnya menjadi milik perusahaan.
why
MENGAPA KORUPSI SERING TERJADI ?
Korupsi adalah fenomena kompleks dengan dua faktor penyebab, yaitu faktor internal dan faktor eksternal (dikutip dari KPK). Faktor internal berasal dari diri sendiri, sedangkan faktor eksternal berasal dari luar diri. Terkadang, faktor internal juga bisa memicu faktor eksternal.
Faktor Internal, yaitu:
1. Sifat serakah adalah faktor utama seseorang yang serakah ingin memiliki lebih banyak, meskipun sudah memiliki kekayaan atau jabatan tinggi.
2. Gaya hidup konsumtif, yaitu mendorong seseorang untuk korupsi ketika pengeluaran tidak sesuai dengan pendapatan.
3. Moral dan pendidikan yang lemah membuat seseorang mudah tergoda melakukan korupsi demi keuntungan pribadi.Faktor eksternal korupsi mencakup beberapa aspek, yaitu aspek sosial, aspek politik, aspek ekonomi, aspek organisasi dan aspek hukum
1. Aspek Sosial
- Menurut teori Robert Merton, korupsi terjadi karena tekanan sosial yang melanggar norma-norma.
- Lingkungan keluarga dan masyarakat berperan besar dalam mendorong korupsi, bahkan keluarga bisa menjadi pemicu tindakan korupsi oleh anggota keluarga, terutama kepala rumah tangga.
- Budaya koruptif di masyarakat juga memperkuat dorongan untuk melakukan korupsi.2. Aspek Politik
- Money politics (politik uang) adalah faktor utama korupsi dalam politik. Pejabat yang terpilih melalui politik uang cenderung melakukan korupsi demi keuntungan pribadi.
- Balas jasa politik yaitu mendorong korupsi, karena kader partai politik dipaksa memberikan upeti kepada partai, sehingga memicu tindakan seperti suap dan gratifikasi.3. Aspek Ekonomi
- Korupsi terjadikarena gaya hidup konsumtif dan keserakahan.
- Pengeluaran lebih besar daripada pendapatan mendorong individu melakukan korupsi.
- Keserakahan pejabat**, meski sudah berkecukupan, tetap menjadi alasan mereka melakukan korupsi.4. Aspek Organisasi
- Budaya organisasi sangat mempengaruhi perilaku korupsi.
- Kurangnya teladan pimpinan dan sistem akuntabilitas yang lemah menciptakan lingkungan kondusif untuk korupsi.
- Manajemen organisasi sering menutupi kasus korupsi, sehingga pengawasan melemah.5. Aspek Hukum
- Hukum yang lemah dan aturan yang tidak jelas memicu praktik korupsi.
- Substansi hukum yang diskriminatif dan sanksi yang tidak tegas memberikan celah bagi pelaku untuk melakukan korupsi.
- Pendidikan tanpa moral membuat pelaku korupsi mampu memanfaatkan kelemahan hukum.
How
BAGAIMANA ANALISIS JENIS TINDAK PIDANA KORUPSI SYAFRUDDIN ARSYAD TUMENGGUNG BERDASARKAN TEORI SEBAB-SEBAB TINDAK PIDANA KORUPSI ?
Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) dibentuk oleh pemerintah pada saat terjadi krisis ekonomi yang melanda Indonesia. Krisis tersebut menyebabkan nilai tukar rupiah merosot drastis, ekspor dan impor menurun, serta aktivitas perbankan berhenti beroperasi. Selain itu, sektor riil mengalami kerusakan parah, dan tingkat pengangguran meningkat tajam.
Pada tanggal 3 September 1997, Presiden memerintahkan Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Indonesia untuk memberikan bantuan likuiditas kepada bank-bank nasional yang menghadapi masalah dan kekurangan dana. Program bantuan ini bertujuan untuk menstabilkan sektor perbankan dan mencegah keruntuhan ekonomi yang lebih besar.
Namun, dalam pelaksanaannya, terjadi kasus tindak pidana korupsi terkait penyaluran dana BLBI. Salah satu tersangka utama dalam kasus ini adalah Syafruddin Arsyad Tumenggung, yang pada saat itu menjabat sebagai Ketua Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN). Syafruddin diduga terlibat dalam penyalahgunaan wewenang, termasuk dalam keputusan yang menguntungkan pihak-pihak tertentu, seperti PT Fortius Investment Asia.
Teori Sebab-Sebab Tindak Pidana Korupsi
Sebelum menganalisis kasus korupsi, kita perlu memahami beberapa teori yang menjelaskan penyebab tindak pidana korupsi. Beberapa teori yang akan dibahas di bawah ini memberikan penjelasan tentang faktor-faktor yang memicu terjadinya korupsi.
a. Teori Korupsi Jack Bologne: "GONE"
Jack Bologne mengemukakan teori korupsi yang dikenal sebagai "GONE," yang terdiri dari Greed (Keserakahan), Opportunity (Kesempatan), Need (Kebutuhan), dan Exposure (Pengungkapan). Menurut teori ini, komponen-komponen yang menyebabkan korupsi adalah sebagai berikut:
1. Keserakahan (Greed)
Setiap orang dapat memiliki sifat serakah. Keserakahan ini sering kali mendorong pelaku korupsi untuk mengambil keuntungan pribadi dengan mengabaikan moral dan hukum.
2. Kesempatan (Opportunity)
Kesempatan muncul ketika terdapat kelemahan dalam sistem organisasi, institusi, atau masyarakat yang memungkinkan seseorang untuk melakukan kecurangan tanpa mudah terdeteksi.
3. Kebutuhan (Need)
Kebutuhan individu untuk memenuhi standar hidup yang layak dapat menjadi faktor pendorong terjadinya korupsi. Kondisi finansial yang sulit sering memotivasi seseorang untuk melakukan tindakan yang melanggar hukum.
4. Pengungkapan (Exposure)
Pengungkapan merujuk pada konsekuensi atau hukuman yang akan dihadapi oleh pelaku jika kecurangan mereka terbongkar. Jika risiko hukuman rendah, maka peluang untuk korupsi akan meningkat.
b. Teori Korupsi Robert Klitgaard: CDMA
Robert Klitgaard menyatakan bahwa korupsi terjadi sebagai hasil dari kekuasaan dan monopoli yang tidak disertai dengan akuntabilitas. Menurut teorinya, korupsi dapat dijelaskan dengan rumus berikut:
Korupsi = Monopoli Kekuasaan + Diskresi - Akuntabilitas
Dalam teori ini, Klitgaard menunjukkan bahwa ketika seorang individu memiliki monopoli kekuasaan dan kebebasan dalam membuat keputusan tanpa pengawasan yang memadai, maka peluang terjadinya korupsi akan semakin besar.
c. Teori Trisula Korupsi Donald R. Cressey
Donald R. Cressey mengemukakan teori yang dikenal sebagai Teori Trisula Korupsi, yang terdiri dari tiga komponen utama: Kesempatan, Motivasi, dan Rasionalisasi. Ketiga komponen ini saling mempengaruhi dan berperan dalam terjadinya kecurangan.
1. Kesempatan
Peluang atau kesempatan untuk melakukan korupsi muncul ketika terdapat kelemahan dalam sistem pengawasan.
2. Motivasi
Motivasi merupakan dorongan yang berasal dari kebutuhan atau tekanan finansial yang dirasakan oleh pelaku.
3. Rasionalisasi
Pelaku menggunakan alasan atau pembenaran untuk tindakan korupsi yang dilakukan, seperti “semua orang melakukannya” atau “tindakan ini demi kebaikan perusahaan.”
d. Teori Keinginan dan Peluang untuk Korupsi
Teori ini menyatakan bahwa korupsi terjadi ketika terdapat dua faktor utama: kesempatan dan keinginan. Korupsi sering terjadi akibat kelemahan dalam sistem pengawasan yang menciptakan peluang bagi seseorang untuk melakukan kecurangan. Selain itu, niat atau keinginan untuk korupsi sering kali didorong oleh kebutuhan finansial atau keserakahan individu.
e. Teori Berdasarkan Motivasi Pelaku
Menurut teori ini, korupsi dapat dikelompokkan berdasarkan motivasi yang mendorong pelaku. Korupsi dilakukan karena:
1. Kebutuhan, yaitu saat pelaku melakukan korupsi untuk memenuhi kebutuhan hidup.
2. Kesempatan, yaitu saat pelaku memanfaatkan celah dalam sistem untuk melakukan korupsi.
3. Keinginan memperkaya diri, yaitu saat pelaku melakukan korupsi untuk menambah kekayaan pribadi.
4. Ingin menjatuhkan pemerintah, yaitu saat pelaku melakukan korupsi dengan tujuan politik.
5. Ingin menguasai negara, yaitu saat pelaku melakukan korupsi untuk memperoleh kekuasaan dan kendali atas negara.
ANALISIS KASUS SYAFRUDDIN ARSYAD TUMENGGUNG BEDASARKAN TEORI KORUPSI JACK BOLOGNE
1. Unsur GREED (Keserakahan)
Terdakwa menunjukkan keserakahan dalam hal harta kekayaan dan jabatan. Sebelum menjabat sebagai Ketua BPPN, terdakwa menjabat sebagai Sekretaris KKSK dari 2002 hingga 2004. Dalam persidangan, terungkap bahwa pada saat menjadi Sekretaris KKSK, terdakwa mengetahui bahwa hanya BPPN yang memiliki kewenangan untuk menghapus piutang sesuai dengan tata cara, syarat, dan ketentuan yang ditetapkan oleh BPPN dan harus mendapat persetujuan Menteri. Terdakwa menyadari bahwa sebagai Sekretaris KKSK, ia tidak memiliki otoritas sebesar itu. Oleh karena itu, terdakwa menggantikan I Putu Ary Suta dan menjabat sebagai Ketua BPPN dari 2002 hingga 2004. Sebelumnya, terdakwa juga menjabat sebagai Deputi Menteri Koordinator Bidang Ekonomi, Keuangan, dan Industri untuk Investasi dan Pengembangan Dunia Usaha. Dengan jabatan tersebut, terdakwa memiliki kekuatan yang signifikan, terutama dalam mengambil keputusan. Majalah TEMPO mencatat bahwa gaji pokok Ketua BPPN adalah Rp 75 juta, namun setelah dipotong pajak, total gaji yang diterima mencapai sekitar Rp 130 juta. Selain itu, terdakwa menerima tunjangan kendaraan Rp 25 juta, tunjangan kredit perumahan Rp 30 juta, serta tunjangan lainnya seperti handphone, sopir, dan bahan bakar. Pada Maret 2003, terdakwa juga menerima tunjangan cuti sebesar Rp 130 juta. Meskipun dengan gaji yang besar, terdakwa tetap merasa tidak puas dan memiliki keserakahan, sehingga dengan kewenangannya sebagai Ketua BPPN, ia terlibat dalam tindak pidana korupsi bersama pihak lain.
2. Unsur Opportunity (Kesempatan)
Terdakwa, sebagai Ketua BPPN, memiliki wewenang untuk menghapus tagihan piutang, yang merupakan bagian dari kesempatan yang ada. Terdakwa menghapus piutang BDNI kepada petambak yang dijamin oleh PT DCD dan PT WN, serta mengeluarkan Surat Pemenuhan Kewajiban Pemegang Saham kepada Sjamsul Nursalim. Sebelum menjabat sebagai Ketua BPPN, saat terdakwa masih menjabat sebagai Sekretaris KKSK, ia mengetahui bahwa penghapusan piutang dan penerbitan Surat Pemenuhan Kewajiban Pemegang Saham (SKL) tidak dapat dilakukan karena Sjamsul Nursalim belum memenuhi kewajibannya. Kewajiban tersebut terkait dengan kesalahan dalam menyampaikan piutang BDNI kepada petambak yang diserahkan kepada BPPN, yang mengharuskan pembayaran sisa utang sebesar Rp 4,58 triliun. Dengan diterbitkannya SKL ini, hak tagih negara terhadap Sjamsul Nursalim hilang, yang mengakibatkan kerugian negara sebesar Rp 4,58 triliun.
3. Unsur Need (Kebutuhan)
Seperti yang kita ketahui, pengeluaran terkait gaya hidup dan berbagai faktor kebutuhan lainnya terkait dengan tingkat pendapatan seseorang.
4. Expose (Pengungkapan)
Terdakwa menjabat sebagai Ketua BPPN sejak tahun 2002 hingga kasus ini dibawa ke pengadilan pada tahun 2018. Selama 16 tahun, Jaksa Agung dan KPK belum menemukan bukti yang cukup untuk membawa kasus ke pengadilan. Kurangnya pengungkapan dan penindakan tegas menyebabkan kasus ini baru sampai ke pengadilan. Dalam hal ini, KKSK sangat penting untuk melakukan pengecekan ulang terhadap SKL yang dikeluarkan oleh Ketua BPPN melalui tim independen, meskipun masih terdapat kekurangan. Perlu dicatat bahwa dalam kasus ini, terdakwa tidak melakukan tindak pidana sendirian, tetapi bersama dengan orang lain, yaitu Ketua KKSK Dorojatun Kuntjoro-Jakti. Penulis menganalisis bahwa semua pihak bekerja sama untuk menghindari hal-hal yang dapat dicurigai oleh penegak hukum lainnya. Bahkan, meskipun beberapa kali terlibat dalam kasus hukum, selalu tidak ada cukup bukti hingga SP3 dikeluarkan.
ANALISIS KASUS SYAFRUDDIN ARSYAD TUMENGGUNG BEDASARKAN TEORI ROBERT KLITGAARD (CDMA Theory)
Dalam teori Robert Klitgaard terlihat dari kewenangan terdakwa sebagai Ketua BPPN yang memiliki hak untuk mengeluarkan Surat Keterangan Lunas (SKL) terhadap Sjamsul Nursalim, yaitu:
1. Monopoly (Monopoli)
Terdakwa adalah Ketua BPPN dan Dorojatun Kuntjoro-Jakti adalah Ketua KKSK. Selama masa jabatan mereka, terdakwa memberikan rekomendasi atau saran kepada KKSK untuk mendapatkan keputusan No. Kep.01/K/KKSK/05/2002, yang berkaitan dengan pengembalian aset piutang petambak udang PT DCD dan PT WM akibat adanya MSAA dari Sjamsul Nursalim. Terdakwa mengeluarkan instruksi melalui memo pada 12 Mei 2002, meskipun mengetahui bahwa Sjamsul Nursalim tidak mau bekerja sama dan selalu menolak mengimplementasikan SK KKSK tanggal 27 April 2000.
Mereka juga mengetahui bahwa, sesuai janji Sjamsul Nursalim dalam MSAA, piutang petambak udang akan digunakan untuk membayar atau mengurangi kewajibannya. Namun, Dorojatun Kuntjoro-Jakti terus menyampaikan dan memberikan tembusan kepada terdakwa. Sebagai Ketua BPPN, terdakwa dan Dorojatun Kuntjoro-Jakti yang melakukan tindak pidana korupsi bersama-sama, sehingga ada unsur monopoli dalam pelanggaran pidana ini.
Pada 29 Oktober 2003, terdakwa dan Itjih S. Nursalim mengadakan pertemuan di kantor BPPN bersama anggota BPPN dan auditor ERNST & YOUNG. Dalam pertemuan tersebut, mereka membahas materi yang telah dibahas pada rapat tanggal 21 Oktober 2003, dan sampai pada kesimpulan yang sama bahwa Sjamsul Nursalim tidak melakukan misrepresentasi terhadap utang petambak PT DCD dan PT WM.
Terdakwa dan Dorojatun kemudian menghadiri Rapat Kabinet Terbatas pada 11 Februari 2004 dan menyarankan untuk menghapus utang petambak sebesar Rp 2,8 T. Terdakwa tidak menyatakan bahwa Sjamsul Nursalim melakukan misrepresentasi, dan usulan tersebut tidak mendapat persetujuan dari Presiden. Terdakwa kemudian mengirimkan Ringkasan Eksekutif BPPN kepada Dorojatun Kuntjoro-Jakti, yang menyetujui dan sependapat dengan usulan Terdakwa Syafruddin Arsyad Temenggung, dan mengeluarkan Keputusan Nomor KEP.
Dalam Keputusan Nomor 02/K.KKSK/02/2004 tanggal 13 Februari 2004, diketahui bahwa rapat tersebut tidak pernah mengambil keputusan atau menyetujui penghapusan porsi utang petambak. Selain itu, dalam keputusan yang disetujui oleh Dorojatun Kuntjoro-Jakti selaku Ketua KKSK, dua SK KKSK sebelumnya yang memutuskan penagihan terhadap Sjamsul Nursalim dinyatakan tidak berlaku, dan hak tagih negara atau BPPN kepada Sjamsul Nursalim hilang.
2. Accountability (Kurangnya Akuntabilitas)
Dana BLBI telah ada sejak era Presiden Soeharto, tepatnya pada tahun 1998, tetapi baru pada era Presiden Habibie menunjukkan kurangnya akuntabilitas. Penulis menganggap audit BPK sebagai tindakan yang terlambat dalam menangani kasus dana BLBI, khususnya dalam menyebarkan dana dan mengidentifikasi para obligor yang menerima dana tersebut. Selain itu, penampilan terdakwa menunjukkan ketidaktanggungjawaban yang jelas karena mengeluarkan SKL dengan mengabaikan hambatan yang ada, bahwa Sjamsul Nursalim tetap harus membayar kepada negara sebesar Rp 4,58 triliun.
ANALISIS KASUS SYAFRUDDIN ARSYAD TUMENGGUNG BEDASARKAN TEORI WILLINGNESS AND OPPORTUNITY TO CORRUPT
Menurut teori ini, korupsi terjadi ketika terdapat kesempatan/peluang (akibat kelemahan sistem, kekurangan pengawasan, dan sebagainya) dan niat/keinginan (akibat kebutuhan dan keserakahan). Sebagaimana ditunjukkan oleh analisis sebelumnya, terdapat peluang dari segi wewenang yang dimiliki oleh terdakwa sebagai Ketua BPPN. Terdakwa akhirnya dapat menghapus piutang BDNI yang dijamin oleh PT DCD dan PT WN, serta mengeluarkan Surat Pemenuhan Kewajiban Pemegang Saham kepada Sjamsul Nursalim.
Terdakwa mengetahui bahwa pada saat menjabat sebagai Sekretaris KKSK sebelum menjadi Ketua BPPN, terdakwa tidak dapat melakukan penghapusan piutang dan penerbitan Surat Pemenuhan Kewajiban Pemegang Saham serta Surat Keterangan Lunas (SKL), karena Sjamsul Nursalim belum memenuhi tanggung jawabnya atas kesalahan representasi (misrepresentasi) piutang BDNI yang diberikan oleh petambak kepada BPPN dengan syarat membayar sisa utang sebesar Rp 4,58 T. Dengan menerbitkan SKL ini, hak tagih negara kepada Sjamsul Nursalim hilang, sehingga negara dirugikan senilai Rp 4,58 T.
Selain itu, pertemuan di Kantor BPPN antara terdakwa dan Itjih S. Nursalim menunjukkan niat dan keinginan untuk memastikan bahwa Sjamsul Nursalim tidak melakukan misrepresentasi. Selanjutnya, terdakwa dan Dorojatun mengusulkan untuk menghapus utang petambak sebesar Rp 2,8 T, tetapi usulan tersebut tidak disetujui oleh Presiden pada saat RATAS. Meskipun demikian, terdakwa tetap mengirimkan Ringkasan Eksekutif BPPN kepada Dorojatun, Ketua KKSK, untuk memberikan penghapusan utang petambak yang tidak disetujui oleh RATAS. Dorojatun kemudian setuju dan membuat keputusan yang mencabut dua SK KKSK sebelumnya yang memerintahkan tindakan terhadap Sjamsul Nursalim, sehingga menyebabkan hilangnya hak tagih negara atau BPPN kepada Sjamsul Nursalim.
ANALISIS PUTUSAN BEBAS KASASI TERDAKWA SYAFRUDDIN ARSYAD TUMENGGUNG DAN JUDICIAL CORRUPTION
Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP adalah dasar putusan bebas yang sangat penting dalam proses persidangan terdakwa kasus tindak pidana korupsi. Menurut penulis, putusan bebas tersebut tidak tepat karena, jika melihat urutan peristiwa, semua unsur-unsur dakwaan telah terpenuhi. Selain itu, berdasarkan fakta-fakta hukum yang terbukti, unsur-unsur tindak pidana korupsi dalam kasus ini sudah sangat jelas.
Tindakan terdakwa sebagai Ketua BPPN yang mengeluarkan Surat Pemenuhan Kewajiban Pemegang Saham (SKL) telah menyebabkan hak tagih negara terhadap Sjamsul Nursalim hilang dan merugikan negara. Sebelum menjabat sebagai Ketua BPPN, terdakwa adalah Sekretaris KKSK yang terlibat dalam restrukturisasi piutang BDNI pada tahun 2001, yang berarti terdakwa sudah mengetahui adanya masalah dengan piutang tersebut. Setelah menjabat sebagai Ketua BPPN, terdakwa mengeluarkan SKL untuk piutang BDNI kepada petambak udang senilai Rp 4,8 triliun, yang menguntungkan Sjamsul Nursalim karena negara tidak perlu membayar utang tersebut.
Tindak pidana korupsi muncul berdasarkan teori yang telah dijelaskan sebelumnya. Oleh karena itu, sangat mungkin bahwa keputusan tersebut tidak direncanakan dengan baik. Tindakan terdakwa dan posisinya seharusnya tidak membebaskannya dari tanggung jawab. Berdasarkan sejumlah fakta yang ada, kebebasan terdakwa dalam proses kasasi ini juga diduga melibatkan elemen korupsi hukum. Diduga ada pertemuan antara hakim di hadapan Majelis Hakim Kasasi dengan Penasihat Hukum terdakwa yang tidak hadir dalam persidangan, yang mengindikasikan bahwa posisi hakim tidak independen. Bahkan, pertemuan ini melanggar kode etik hakim yang menyatakan bahwa hakim tidak seharusnya bertemu dengan pihak manapun, baik dalam maupun luar pekerjaan. Hal ini dapat menimbulkan spekulasi dan stigma negatif mengenai kemungkinan adanya korupsi hukum.
Kesimpulan
Pada tahun 2017 Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan Syafruddin Arsyad Temenggung sebagai tersangka dalam kasus korupsi terkait penerbitan Surat Keterangan Lunas (SKL) kepada obligor BLBI, Sjamsul Nursalim. KPK menduga bahwa penerbitan SKL ini menyebabkan kerugian negara sekitar Rp4,58 triliun. Lalu pada tahun 2018, Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) memutuskan bahwa Syafruddin Arsyad Temenggung bersalah dan menjatuhkan vonis hukuman 13 tahun penjara. Putusan ini didasarkan pada bukti bahwa Syafruddin menyalahgunakan kewenangannya sebagai Ketua Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) dalam penerbitan SKL.
Selanjutnya pada tahun 2019, Syafruddin Arsyad Temenggung mengajukan banding, dan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta mengurangi hukumannya menjadi 15 tahun penjara. Kasasi di Mahkamah Agung (MA), Syafruddin mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung. Dalam putusan kasasi, Mahkamah Agung memutus bebas Syafruddin Arsyad Temenggung pada Juli 2019. Putusan bebas ini mengejutkan publik dan memicu kontroversi karena MA menyatakan bahwa perbuatan Syafruddin bukan merupakan tindak pidana, tetapi merupakan kebijakan administrasi negara.
Putusan bebas dari Mahkamah Agung memicu banyak kritik, termasuk dari pihak KPK. KPK menilai putusan ini tidak sesuai dengan fakta hukum dan bukti yang ada. KPK juga sempat mempertimbangkan upaya hukum luar biasa berupa Peninjauan Kembali (PK), tetapi hasil akhirnya tetap mengukuhkan putusan kasasi.
Proses hukum terhadap Syafruddin Arsyad Temenggung telah selesai di tingkat Mahkamah Agung dengan putusan bebas. Meski KPK telah membawa kasus ini hingga pengadilan, akhirnya putusan kasasi Mahkamah Agung membebaskan Syafruddin dari dakwaan tindak pidana korupsi.
DAFTAR PUSTAKA
Kenneth, N. (2024). Maraknya Kasus Korupsi di Indonesia Tahun ke Tahun. Journal of Law Education and Business, 335-338.
Muliana. (2024). Judicial Corruption dan Analisis Tindak Pidana Korupsi Bantuan Dana Likuiditas Bank Indonesia Berdasarkan Teori Sebab-sebab Tindak Pidana Korupsi: Studi Kasus Syafruddin Arsyad Temenggung. Jurist-Diction, 360-371.
Suwitri, S. (n.d.). PEMBERANTASAN KORUPSI DI INDONESIA :SEBUAH UPAYA REFORMASI BIROKRASI. JURNAL ILMU ADMINISTRASI DAN KEBIJAKAN PUBLIK, 23-24.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H