Mohon tunggu...
nandira anggraini
nandira anggraini Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

saya nandira anggraini lulusan SMAN 4 Jakarta dan melanjutkan pendidikan di Universitas Gunadarma

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Akses terhadap Air dan Sanitasi di Afrika

25 Januari 2024   22:15 Diperbarui: 25 Januari 2024   22:16 136
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Air bersih dan sanitasi bukan satu-satunya prasyarat untuk hidup sehat namun berkontribusi terhadap penghidupan dan martabat yang bermakna. Mereka juga membantu menciptakan komunitas tangguh yang hidup di lingkungan yang sehat. Itulah sebabnya Tujuan Pembangunan Berkelanjutan PBB (SDG) Nomor 6 mencita-citakan penyediaan air bersih dan sanitasi di seluruh dunia, termasuk di benua Afrika. Oleh karena itu, negara-negara Afrika bercita-cita untuk memenuhi kebutuhan hidup warganya seperti air bersih dan sanitasi.

Sanitasi yang buruk menyebabkan kebersihan berisiko tinggi yang dapat membuat populasi miskin berada dalam lingkaran setan kesehatan yang buruk, degradasi lingkungan, malnutrisi, penurunan produktivitas, dan hilangnya pendapatan. Meskipun beberapa negara Afrika telah mencapai tonggak kemajuan dalam mewujudkan akses terhadap air minum bersih dan sanitasi yang memadai, masih banyak pekerjaan yang harus dilakukan. Misalnya, jutaan warga Afrika di seluruh benua masih kekurangan layanan dasar WASH. Secara khusus, dilaporkan bahwa sekitar 115 orang di Afrika meninggal setiap jamnya akibat penyakit yang ditularkan melalui air yang terkait dengan sanitasi yang buruk, kebersihan yang buruk, dan air yang terkontaminasi. 

Masalah akses terhadap air bersih dan sanitasi di Afrika memang menjadi perhatian utama karena ketidakmerataan distribusi sumber daya ini di berbagai wilayah. Beberapa faktor yang menyebabkan ketidakmerataan tersebut :

Ketidaksetaraan Geografis: 

Beberapa wilayah di Afrika memiliki akses terbatas terhadap sumber air bersih karena kondisi geografis yang sulit, seperti daerah gurun atau pegunungan. Ini membuat distribusi air bersih menjadi sulit di wilayah-wilayah tersebut.

Ketidakstabilan Politik dan Konflik: 

Konflik bersenjata dan ketidakstabilan politik di beberapa negara Afrika dapat menghambat upaya penyediaan infrastruktur air bersih dan sanitasi. Konflik bersenjata juga dapat merusak infrastruktur yang sudah ada.

Ketidaksetaraan Ekonomi: 

Ketidaksetaraan ekonomi di beberapa negara Afrika mempengaruhi kemampuan masyarakat untuk mengakses fasilitas air bersih dan sanitasi. Orang-orang di daerah miskin sering kali menghadapi tantangan lebih besar dalam memperoleh akses ke fasilitas ini.

Kurangnya Investasi dan Infrastruktur: 

Beberapa negara mungkin mengalami kurangnya investasi dalam infrastruktur air dan sanitasi. Fasilitas air bersih dan sanitasi yang memadai memerlukan investasi dalam pembangunan dan pemeliharaan.

Perubahan Iklim: 

Perubahan iklim dapat berdampak pada siklus air dan menyebabkan kekeringan atau banjir. Hal ini dapat mempersulit akses terhadap air bersih di beberapa wilayah.

Kurangnya Kesadaran dan Pendidikan: 

Pendidikan dan kesadaran masyarakat tentang pentingnya kebersihan dan akses terhadap air bersih juga berperan penting. Kurangnya pengetahuan atau kesadaran dapat menghambat praktek-praktek sanitasi yang baik.

Selain itu, untuk mengatasi tantangan sanitasi, negara-negara Afrika dapat mempertimbangkan teknologi bio-digesti yang cocok untuk lingkungan yang kekurangan air. Misalnya, Asosiasi Air dan Sanitasi Zambia (WASAZA) telah meningkatkan upaya untuk mendukung sekolah mengembangkan dan membangun jamban biologis sanitasi yang menggunakan teknologi bio-pencernaan untuk mengolah limbah organik dan feses.

APET percaya bahwa peningkatan fasilitas jamban biologis berpotensi meningkatkan sanitasi di sekolah-sekolah di Afrika, bahkan di komunitas yang kekurangan air. Untungnya, jamban bio juga dapat menyediakan energi biogas untuk digunakan dalam memasak makanan bagi berbagai komunitas. Selain itu, limbah bio-jamban juga dapat dimanfaatkan sebagai pupuk kaya nutrisi untuk keperluan pertanian.

APET juga mendorong negara-negara untuk mempertimbangkan teknologi pemanenan air yang lebih baik yang dapat meningkatkan pasokan dan keamanan air. Oleh karena itu, teknologi dan praktik pengelolaan pengambilan air asli dapat diadopsi oleh negara-negara Afrika untuk mengatasi ketersediaan air di wilayah yang kekurangan air. Pertimbangan tersebut dapat mencakup sistem tangkapan air permukaan dan sistem pengelolaan pengambilan air tanah. Teknologi pengambilan dan pengangkutan air yang biasa digunakan di Maroko, Spanyol, Suriah, Iran, serta Asia Tengah dan Timur dapat membantu masyarakat Afrika yang kekurangan air untuk memperoleh air portabel untuk keperluan rumah tangga dan irigasi, bahkan di tengah curah hujan rata-rata dengan pola yang tidak menentu.  

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun