Mohon tunggu...
Ayu Diah Nandini
Ayu Diah Nandini Mohon Tunggu... Konsultan - A human being.

I believe the power of mind

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Yuk Mengenal Posmodernisme

18 Januari 2014   13:37 Diperbarui: 24 Juni 2015   02:42 500
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

“I mistrust all systematizers and avoid them. The will to system is a lack of integrity.” (Nietzsche)

Filsafat senantiasa bertanya dan berdebat, termasuk menyoal posmodernisme dan teori apa yang sekiranya mewakili ranah tersebut. Adalah Jean-Francois Lyotard, tokoh penting untuk dipahami dalam posmodernisme. Ia lahir tahun 1924 di Versailles. Pelopor posmodernisme ini menggebrak dunia dengan karyanya “La condition postmoderne/The Postmodern Condition” (1979) sebagai laporan tentang pengetahuan, ilmu, dan teknologi dari pemerintahan Quebec. Karyanya itu tidak dapat dipungkiri merupakan ekspresi teoritis terkuat atas posmodernisme. Dalam buku tersebut, Lyotard mengawali kritiknya terhadap metanarasi tunggal yang selama ini menjadi basis asumsi para filsuf. Grand narrative sudah tidak relevan untuk diperdebatkan, terlebih dengan perkembangan zaman sekarang. Filsafat posmodern menyediakan teknik argumentasi berbeda, seperti misalnya dalam putusan nilai-nilai (value judgement) yang bisa dilakukan tanpa urgensi otoritas di dalamnya.

Term teknis untuk gaya berfilsafat seperti ini adalah antifondasionalisme. Metanarasi sebelumnya yang sangat obsesif terhadap pertanyaan “apa itu kebenaran?” kemudian diruntuhkan dengan disposisi lanjutan. Validitas apa yang menjamin fondasi kebenaran tersebut, diserang habis. Semua dapat ditarik dalam sebuah poin, yakni sistem otoritas. Inilah yang menjadi payung pelindung narasi-narasi besar. Uniknya disini adalah peranan seorang filsuf modern, Friedrich Nietzsche. Dalam nuansa senada, Nietzsche merevaluasi nilai yang disuburkan oleh sistem otoritas (yang dikultuskan pada masanya). Ternyata, hal ini sukses menyulut semangat kepada posmodernis.

Sebagai antiotoritarian, Lyotard mengubah paradigma filsafat yang begitu mengakar sebelumnya. Konsep-konsep modern dibalik sedemikian rupa, sehingga menjadi narasi baru. Partikularitas tidak lagi inferior seperti di era modern, tetapi justru menjadi kajian menarik. Uniknya disini, pada awal perjalanannya Lyotard adalah seorang Marxist. Ia bergabung di Socialisme ou Barbarie, mendedikasikan dirinya pada teori Karl Marx. Namun seiring tumbangnya kelompok tersebut pada 1960an, Lyotard mendistansikan dirinya dari bayang-bayang filsafat Marx.

Upaya Lyotard membongkar metanarasi, adalah bentuk mengembalikan potensi kreativitas individual tanpa limitasi. Menurut Lyotard, yang harus dilakukan adalah bukan bertarung dengan grand narrative tersebut. Tetapi simpel saja, yaitu dengan berhenti menjadikannya sebagai basis pikir utama. Melalui cara inilah, otoritas metanarasi dapat layu dengan sendirinya.Namun, timbul problem baru kemudian. Jika kita meninggalkan otoritas, bagaimana cara mengkonstruksi value judgements yang dapat diterima orang lain sekaligus reasonable? Lyotard telah menjawab dalam tulisannya Just Gaming (1979) bahwasanya tanpa metanarasi sekalipun, kita bisa mengacu pada case on case (seperti pada pragmatisme). Tidak ada kriteria absolut yang dipukul rata, tetapi lihatlah bagaimana suatu kasus terjadi. Social disorder pun dapat diminimalisasi potensinya, jika warga dunia posmodern telah sadar akan tanggungjawabnya masing-masing.

Selain Lyotard, nama Jean Baudrillardjuga patut dipahami dalam posmodernisme. Baudrillard menyebut dunia posmodern sebagai world of simulacra, dimana realitas dan simulasi telah menjadi bias. Perihal seluruhnya terkonstruksi, sehingga tidak ada lagi ontologi. Contoh ekstremnya adalah boleh saja Baudrillard mengklaim Disneyland sebagai realitas masyarakat Amerika, dan perang dunia sebenarnya tidak pernah terjadi. Gagasan besar dibalik dengan begitu ringannya. Selama ini, kita terus memperdebatkan apa itu realitas. Oleh Baudrillard, term ‘realitas’ pun telah rancu posisinya. Pada intinya adalah kita kini hidup dalam hiperrealitas yang terkonstruksi/tersimulasi. Seluruhnya menjadi permainan pikiran yang sarat akan playfulness.

Bicara seputar playfulness, maka kita memasuki ranah yang lebih cair. Posmodernisme sendiri dapat dipahami dalam poin seni dan arsitektur.Pada awal kemunculannya bahkan posmodernisme lahir di bidang arsitektur, sebagai perlawanan arsitektur modern. Gaya seni modern yang berkutat pada fungsi/efisiensi secara rigid, kemudian dibalik pada era posmodern. Tidak ada kategorisasi baku dalam karya seni. Pakem-pakem modern didobrak sehingga memicu imajinasi seniman posmodern.

Contoh mudahnya dapat dilihat pada bentuk arsitektur Perpustakaan Pusat Universitas Indonesia. Bangunan ini sangat posmodern, terlebih disana banyak sudut-sudut kosong tanpa kegunaan. Ya, posmodernisme juga bicara tentang seni malfungsi. Tidak melulu tentang sisi fungsionalnya saja. Asumsi objektivikasi seni modern jelas diserang oleh posmodernis. Keindahan tidak lagi terletak pada art object, melainkan pada konstruksi inheren pada objek itu sendiri. Konsep seni bukan lagi teori besar yang hakiki, melainkan semua dibangun atas konstruksi. Lantas, sosial mengafirmasikannya. Tampak nyata bahwa ada pergeseran menuju dinamika terbuka, memungkinkan kreativitas digali mendalam. Lebih ekstensifnya lagi dapat kita maknai sebagai budaya khas kontemporer. Budaya ini merupakan oase alternatif.

Posmodernisme adalah selebrasi atas pluralitas masyarakat, menerima kekayaan kultur tanpa kungkungan otoritas. Bukan berarti berhentinya otoritas membuka jalan chaos seluas-luasnya. Ada kapabilitas tanggungjawab yang harus kita jalani di kehidupan kontemporer ini. Awareness masing-masing dibutuhkan. Pahami secara moderat, bahwa posmodernisme tidak lain merupakan counter movement atas kejenuhan filsafat sebelumnya. Kita tahu bahwa segala sesuatu jika dikentalkan ekstrem akan menjadi ideologi, dan jatuh pada repetisi kembali. Posmodernisme ala Lyotard menggugah kita untuk menciptakan narasi-narasi baru. Realitas yang dipahami interpretatif, akan terus mendorong potensi kita untuk kreatif.

Posmodernisme adalah alat kritik yang fleksibel, dapat ditempatkan pada banyak ranah. Paralogi khas kaum posmodernis meminimalisasi kebuntuan pada cara berpikir kita. Dalam hal budaya misalnya, posmodernisme kentara dengan openness-nya. Produk seni pun akan menjadi unik dan tidak membosankan. Semua mengandung semangat intelektualisme yang harus terus dipupuk, dengan tetap berdiskursus mengikuti relevansi zaman.

Referensi

Catatan perkuliahan Filsafat Kontemporer, FIB UI, semester genap 2012/2013

Drolet, Michael. 2004. The Postmodernism Reader (London: Routledge)

Sim, Stuart.2001. The Routledge Companion To Postmodernism (London: Routledge)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun