Mohon tunggu...
Nandika Wibowo
Nandika Wibowo Mohon Tunggu... -

Pencari keikhlasan...mohon saran dan kritiknya untuk artikel saya,nuhun. Monggo mampir di nandikawibowo.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Ndemokritis

20 Juli 2014   17:49 Diperbarui: 18 Juni 2015   05:47 38
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Sudah pukul lima sore ditunjukkan jam dinding Bale Desa itu. Desa Ndemokritis, sebuah desa di pesisir utara pulau Jawa itu biasanya tampak tenang dengan semilir angin pantai. Tapi hari itu ada yang beda, Bale Desa penuh sesak dan sumpek. Tak seperti biasanya, bale itu ramai dengan warga dan kursi yang mereka duduki. Bale desa yang terletak tepat di pusat itu kini dikerumuni warga. Suara-suara orang yang semakin sore semakin ramai dengan cekcok, gunjingan, bahkan kata-kata umpatan seakan mudah sekali loncat dari ruang di bibir-bibir itu. Pak Sarwo dan Asep, duo pengaman alias hansip senior-junior ini juga mulai waspada dan mulai teriak-teriak tak jelas untuk menenangkan warga. Pak Karwo sudah mulai berdiri dengan wajah memerah seakan mau meledak kepalanya, dia tuding sahabat karibnya sendiri yang duduk di seberangnya itu. Tak mau kalah, Bu Surti pun ikut berkacak pinggang dengan mata melotot ke arah Bu Puji. Bale desa semakin riuh, Asep semakin panik. Pak Sarwo pun menghampiri Pak RT yang duduk di depan.

“ Pak, ini gimana?. Orang-orang sudah mulai main emosi semua”, tanya Sarwo.

Pak RT masih diam, memikirkan sesuatu.

“Komandan, kumaha ieu mah?. Saya sudah nggak sanggup lagi”, teriak Asep dengan logat Sunda kepada seniornya.

“Baik Bapak Ibu sekalian, mohon tenang dulu. Karena rapat ini berjalan alot maka akan ditunda dan dimulai lagi pukul 8 malam nanti. Silahkan pulang dulu. Terima kasih”, perintah Pak RT setengah berteriak.

***

Kejadiannya siang itu, tepat pukul 12.00 rapat pemilihan RT dimulai, dibuka dengan basa-basi untuk formalitas dan dimulailah pemungutan suara oleh warga, tiap warga diberi secarik kertas untuk kemudian menuliskan RT pilihan mereka, Pak Budi atau Pak Rohib, semua hadirin wajib memilih termasuk Pak RT dan hansip juga. Saat itu tampak Pak RT sedikit ragu, ia keluarkan pulpennya dan ia dekati kotak untuk pengumpulan kertas itu. Setelah selesai, dimulailah penghitungan suara tepat pukul 14.15 saat itu. Pak RT yang menjadi penengah mulai membacakan satu per satu kertas suara. Tepat tiga puluh menit, semua kertas sudah di bacakan Pak RT dan dicatat di papan oleh Pak Sarwo dengan garis-garis membentuk pagar itu. Mengejutkan memang, jumlah suara Pak Budi dan Pak Rohib ternyata sama kuat, 49-49. Hal inilah yang kemudian menjadi cekcok semua warga yang datang. Ego dan emosi masing-masing pendukung calon RT itu mulai terlihat, tidak mau kalah pokoknya. Mau dipungut ulang suara, hasilnya pasti sama. Mau dimusyawarahkan juga nampak percuma, semuanya mau menang. Ribut-ribut inilah yang membuat suasana Bale Desa Ndemokritis tak tampak seperti biasa.

***

Jam di Bale Desa itu sudah menunjukkan pukul 20.00, adzan Isya sudah mengudara sejam yang lalu. Pak RT, Pak Sarwo, dan Asep sudah stand by dari tadi. Semenit kemudian mulai berduyun-duyunlah warga datang, kali ini bahkan lebih banyak. Mereka yang tadi siang datang kini membawa anggota keluarga lain, anak-anak muda mereka pun ikut di belakang. Duo hansip yang sedari tadi menghisap rokok filter itu mulai melongo dan keringat dingin mulai keluar. Pak RT mencoba tetap tenang. Warga mulai masuk ke Bale Desa dan duduk, ada pula yang berdiri karena tidak kebagian kursi. Maklum, jumlahnya tidak sama seperti yang tadi siang. Dua calon RT baru, Pak Budi dan Pak Rohib duduk di dua kursi paling depan, Pak Budi di kiri sedang Pak Rohib duduk di kanan. Istri mereka berdua duduk di belakang suaminya masing-masing, Bu Tini di belakang Pak Budi, sedang Bu Siti di belakang Pak Rohib. Sebelum Pak RT memulai rapat, warga sudah mulai ribut sendiri, tak mau calon RT nya kalah.

Rapat tak kunjung usai, musyawarah tak nampak hasilnya. Masing-masing warga pendukung dua calon RT itu selalu tegang dan terlibat cekcok. Ketika Pak RT mengajukan Pak Budi jadi penerusnya, Pak Junet yang tetangga depan Pak Rohib langsung menolak, semua alasan dan pemikiran negatif tentang Pak Budi ia lontarkan. Mulai dari Pak Budi yang korupsi uang iuran warga hingga Pak Budi yang punya simpanan. Mendengar lontaran Pak Junet, Bu Tini sewot dan mulai nyerocos betapa baik dan setianya suaminya itu yang bakal membuat dia jadi Bu RT. Saat Pak RT mengajukan Pak Rohib, giliran Pak Karwo yang menimpali dengan segudang buruknya Pak Rohib. Kejadian ini terus berlangsung tak henti, Pak RT seakan tak punya daya dan ajian lagi untuk memimpin warganya.

Warga yang menunggu di luar sudah habis kesabarannya pula, mulai mereka berdiri memasuki Bale Desa ingin ikut bersuara, menambah sesak dan semakin mendorong masuk kedua belah pihak warga yang terus berdebat. Senggolan dan gesekan antar tubuh mulai tak terhindari, perlahan-lahan satu tangan menuding, menampar, dan menonjok. Teriakan dan umpatan mulai terdengar diikuti suara pukulan dan tinjuan. Buk..buuk. Ibu-ibu tak mau kalah, teriakan mereka semakin membisingkan Bale Desa, adegan saling tampar dan jambak mulai terlihat. Pak Sarwo dan Asep seperti sudah kehabisan akal, melerai satu gerombolan, beralih ke gerombolan lain. Pak RT tak mampu lagi mengeluarkan wibawanya. Pak Budi dan Pak Rohib, dua orang calon RT yang sedari tadi jadi rebutan warga masih duduk tenang di dua kursi depan itu. Tak nampak semburat tegang di wajah mereka, mereka pun seakan tak mampu mengendalikan lagi massa nya masing-masing.

Baku hantam masih terus berlangsung ketika kaca jendela Bale Desa mulai pecah satu persatu. Kipas angin mulai jatuh, hanya sesekali suara burung gagak hitam di atas bale menjadi penghibur sekaligus pertanda kacaunya desa malam itu. Teras bale desa yang rapi dengan bunga-bunga mulai tampak berjatuhan dan retak potnya. Semenit kemudian tampak jilatan api merah dari dalam Bale Desa, arsip dan spanduk mulai terbakar puntung rokok yang jatuh. Sementara Pak RT masih terdiam tampak melamun seakan tak percaya apa yang dilihatnya. Sedikit-sedikit ia tertunduk kemudian melihat lagi apa yang ada dihadapannya. Pak Sarwo dan Asep sudah tak kuat lagi, beberapa bagian wajah mereka juga tampak lebam akibat salah sasaran massa. Duo hansip itu mulai berlari masuk ke Bale Desa mencari Pak RT, sementara api terus membesar. Pak Budi dan Pak Rohib sudah tak terlihat lagi di kursi. Mungkin mereka sudah pulang atau mungkin juga ikut dalam pertempuran yang bak pertempuran Bharatayuda antara Pandawa dan Kurawa di Kurusetra, bedanya ini terjadi di Bale Desa dan tak tahu mana yang Pandawa mana yang Kurawa. Pak RT masih duduk di kursinya sambil sesekali melihat ke saku seragamnya dan memegangnya. Tampak keraguan di wajahnya, sebelum akhirnya Pak Sarwo menarik tubuh Pak RT untuk menghindari lalapan api. Duo hansip itu kemudian membawa lari Pak RT ke rumahnya. Sambil berlari, Pak RT masih memegang sakunya itu sambil berkata,

“Wo, salahku ini apa ya?”

“Sudah Pak, jangan dipikir sekarang. Segera hubungi Polisi saja dulu untuk mengamankan warga”, teriak Pak Sarwo sambil menarik tangan Pak RT.

Dan malam di desa itupun masih ditemani suara burung gagak hitam di atap Bale Desa dengan latar belakang semburat merah jilatan api.

***

Pagi itu, Pak RT sudah memanaskan motornya di teras depan rumah. Sudah satu bulan rutinitas ini dilakoni. Niatnya hanya mengantar Bu RT pergi belanja sayuran. Bukannya tidak ada tukang sayur yang lewat di depan rumah Pak RT, sudah dua bulan juga Mang Ujang yang biasa lewat pukul enam pagi tidak pernah kelihatan, begitupun Mas Joko yang biasa lewat pukul enam lebih tiga puluh juga tak pernah terdengar roda gerobak sayurnya. Mang Ujang hanya berkeliling sampai rumah Bu Tini, istri Pak Budi. Sedang Mas Joko hanya mau sampai rumah Bu Siti, istri Pak Rohib itu . Tak ada lagi tukang sayur lewat depan rumah Pak RT. Atas perkara ini juga Bu RT di buat pusing, sehari saja belanja di Mang Ujang, Bu Siti dan kolega-koleganya yang juga tinggal di sebelah kiri Pak RT akan mulai nge-gosip, melancarkan protes ke Bu RT, demo, bahkan tak segan-segan anak-anak mereka mengobrak-abrik rumah Pak RT, sementara suami mereka akan melapor ke polisi dalihnya Pak RT dianggap sebagai dalang kerusuhan. Begitu sebaliknya, kalau sehari saja Bu RT belanja di Mas Joko, giliran Bu Tini dan kolega-koleganya yang akan beraksi. Kejadian satu bulan lalu itu ternyata masih memanaskan suasana desa itu. Korbannya Pak RT yang juga belum mendapat penggantinya itu.

Sore itu, Pak RT menghampiri pos hansip Ndemokratis yang kebetulan ada di seberang rumahnya juga. Pak Sarwo dan Asep tampak sedang beristirahat dengan ditemani kopi dan rokok. Pak RT menghampiri mereka dengan membawa segelas kopi juga. Bekas lebam di wajah Pak Sarwo dan Asep masih terlihat bekasnya. Ingatan Pak RT kembali ke kejadian sebulan lau. Pak RT kemudian duduk di samping Pak Sarwo.

“Masih sakit Pak?”, tanya Pak RT.

Duo hansip itu menjawab serentak “Sedikit Pak”.

“Wo, salahku ini apa ya?”, pertanyaan sama yang dilontarkan Pak RT sebulan lalu.

Gelagat Pak RT ternyata juga masih sama, memegangi saku kiri seragamnya dengan ragu.

“Ada apa tho Pak?. Sudah, sementara tenang dulu”, ujar Sarwo sambil melirik saku Pak RT.

Dengan ragu-ragu Pak RT, mengeluarkan benda yang ada di sakunya itu. Secarik kertas kecil, yang sudah sebulan ada di sakunya itu. Sarwo yang sedang menyeruput kopi jadi tersedak melihat kertas itu. Itulah kertas yang seharusnya Pak RT tuliskan nama Budi atau Rohib disitu. Tapi saat itu, ia urungkan niat menulis nama mereka. Ia hanya berpura-pura menulis dan memasukkan kertas ke dalam kotak. Saat itu terbayang, jika ia menulis salah satu nama, dibenaknya terbayang bagaimana ricuh dan ributnya desanya nanti, betapa tak terimanya pendukung dari nama yang kalah. Ternyata di luar bayangannya, ia tidak menulis nama pun, kericuhan itu terjadi, dan sudah terjadi sebulan lalu. Mungkinkah berbeda situasinya jika ia tuliskan nama di kertas itu?. Mungkinkah Bale Desa itu bakal tidak menjadi puing-puing gosong?. Masih dipegangnya secarik kertas itu sambil menyeruput kopi yang sudah mulai dingin. Sedingin hidupnya sekarang, namun berbanding terbalik dengan demokrasi di desanya sekarang yang masih saja panas.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun