Mohon tunggu...
Nandika Azzahra
Nandika Azzahra Mohon Tunggu... Mahasiswa - Universitas Airlangga

Mahasiswa Ilmu Hukum Universitas Airlangga

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Hak Prerogatif, Privilege Presiden untuk Berkuasa Mutlak?

5 Juni 2022   20:39 Diperbarui: 5 Juni 2022   21:37 859
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Pemilihan menteri merupakan hal yang di nanti-nantikan pasca dilantiknya presiden terpilih. Tak jarang hal tersebut menjadi kontroversi mengenai siapa dan menjabat sebagai apa menteri yang terpilih. Lalu bagaimana menteri tersebut dapat diangkat? Sebelum menjawab pertanyaan tersebut perlu diketahui bahwa pada hakikatnya sistem pemerintahan Indonesia adalah presidensial. Sehingga dalam hal ini presiden sebagai lembaga eksekutif dipilih langsung oleh rakyat melalui pemilu. Selain itu, presiden dalam sistem ini menjabat sebagai kepala negara sekaligus kepala pemerintahan. Berbeda halnya dengan sistem parlementer dimana presiden hanya menjabat sebagai kepala negara sehingga statusnya hanyalah sebagai simbol yang hadir di acara seremonial.

Mengenai pengangkatan menteri jika kita merujuk pada UUD NRI 1945 Pasal 17 Ayat (2) dinyatakan bahwa, “Menteri-menteri itu diangkat dan diberhentikan oleh Presiden”. Dengan demikian, presiden dalam hal ini memiliki kekuasaan mutlak yang tidak dicampuri oleh Lembaga lain untuk mengangkat dan memberhentikan Menteri. Kekuasaan inilah yang disebut hak prerogatif. Pada hakikatnya terminologi hak prerogatif belum dapat kita jumpai di peraturan perundang-undangan di Indonesia. Namun, hal tersebut tercantum secara tersirat di beberapa aturan, seperti halnya pada Pasal 17 UUD NRI 1945. Menurut KBBI, hak prerogatif adalah hak istimewa yang dipunyai oleh kepala negara mengenai hukum dan undang-undang di luar kekuasaan badan-badan perwakilan. Perlu diingat bahwa presiden dalam sistem pemerintahan presidensial, khususnya di Indonesia, memiliki banyak tanggung jawab karena merangkap sebagai kepala negara sekaligus kepala pemerintahan. Dengan demikian, diperlukannya hak prerogatif ini sebagai ‘privilege’ untuk membantu mempermudah presiden dalam menjalankan tugasnya.

Walaupun dalam praktiknya, hak prerogatif dalam ketatanegaraan modern sebenarnya tidak bisa dilakukan secara mutlak dan mandiri sepenuhnya, kecuali dalam hal pengambilan kebijakan tertentu dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan. Karena jika presiden sepenuhnya memiliki kekuasaan mutlak tanpa dicampuri oleh lembaga lain, dikhawatirkan ‘privilege’ ini akan menimbulkan kekuasaan yang otoriter. Sebagaimana adagium terkenal dari Sejarawan Inggris, Lord Acton, “Power tends to corrupt, and absolute power corrupts absolutely” yang dapat diartikan bahwa kekuasaan itu cenderung disalahgunakan, dan kekuasaan yang absolut pasti disalahgunakan. Di Indonesia sendiri terdapat prinsip check and balances antara Lembaga negara, sehingga dapat dilakukan pengawasan untuk meminimalisir penyalahgunaan wewenang.

Contoh penerapan hak prerogatif presiden yang tidak sepenuhnya mutlak dan mandiri adalah hak untuk memberikan  grasi, amnesti, abolisi, dan rehabilitasi. Jika kita Kembali merujuk pada UUD NRI 1945 Pasal 14 Ayat (1), “Presiden memberi grasi dan rehabilitasi dengan memperhatikan pertimbangan MA” dan dilanjutkan dengan Ayat (2), “Presiden memberi amnesti dan abolisi dengan memperhatikan pertimbangan DPR”. Selain itu dalam menyatakan perang, melakukan perjanjian internasional, dan mengangkat duta presiden juga harus memperhatikan pertimbangan DPR sebagaimana disebutkan dalam Undang-undang yang sama. Oleh karena itu, dalam kewenangan ini hak prerogatif presiden dilandaskan oleh pertimbangan lembaga negara yang lain, sehingga pelaksanaannya tidak mutlak dan mandiri.

Namun secara yuridis di Indonesia masih dapat kita jumpai hak prerogatif presiden yang dapat diterapkan secara mutlak. Seperti kekuasaan untuk mengajukan rancangan UU kepada DPR, menetapkan peraturan pemerintah untuk menjalankan UU, menyatakan keadaan bahaya, memberi gelar, tanda jasa, dan tanda kehormatan lainnya, serta mengangkat dan memberhentikan Menteri. Pada pelaksanaan kekuasaan tersebut presiden memiliki hak yang tidak perlu dicampuri oleh Lembaga negara lain, tetapi presiden boleh untuk mempertimbangkan hal-hal tersebut dengan Dewan Pertimbangan Presiden Republik Indonesia (Wantimpres) atau lembaga lain yang dirasa perlu.

Dengan demikian, penggunaan hak prerogatif ini harus sesuai dengan aturan-aturan yang telah ditetapkan karena tujuannya untuk mempermudah presiden dalam menjalankan tugasnya. Adanya prinsip check and balances juga dapat dijadikan sebagai sarana kontrol agar jangan sampai dengan adanya privilege ini malah membuat presiden sebagai pemegang kekuasaan tertinggi memiliki kepentingan tertentu dan kemudian berkuasa secara otoriter dengan menyalahgunakan wewenangnya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun