Mohon tunggu...
M Ali Fernandez
M Ali Fernandez Mohon Tunggu... Pengacara - Advokat Konsultan Hukum

S1 Hukum Pidana UIN Jakarta (Skripsi Terkait Tindak Pidana Korupsi) S2 Hukum Pidana Program Pasca UMJ (Tesis Terkait Tindak Pidana Pencucian Uang) Konsultan Hukum/Lawyer (081383724254) Motto : Yakusa

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Munas XI KAHMI: Politik Gagasan

25 November 2022   10:52 Diperbarui: 25 November 2022   11:24 284
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Kita tahu sepanjang pemerintahan SBY periode pertama, setiap kebijakan yang digagas mendapatkan kritikan keras dari oposisi. Diperiode kedua, kebijakannya Presiden SBY -yang berpasangan dengan Boediono-, juga tak lepas dari kritikan keras oposisi. Meskipun Presiden SBY "menguasai" kursi mayoritas parlemen tetapi tidak dapat dengan mulus menjalankan kebijakan pemerintahan. Pada 10 tahun periode pertama, kita menemukan pola unik. Betapa Presiden yang nota bene dipilih langsung oleh rakyat, tetap harus "menjaga" DPR yang juga dipilih Rakyat.

 Pada 2014, periode pertama pemerintahan Presiden Joko Widodo-Wakil Presiden Muhammad Jusuf Kalla, sejarah seolah berulang. Kita menyaksikan sempat ada semacam "dualisme" pimpinan di DPR. Efeknya, pemerintahan berjalan kurang stabil. Selain itu, kita menyaksikan adanya dualisme kepemimpinan partai politik. Presiden Jokowi dan Wakil Presiden Muhammad Jusuf Kalla bukan hanya bekerja untuk menyelesaikan substansi persoalan negara seperti persoalan perekonomian, kesejahteraan rakyat, kesehatan, keamanan, dll melainkan juga sering repot "mengurusi" Parlemen. Kalau tidak salah, baru ditahun ketiga Pemerintahan Presiden Jokowi stabil ketika Golkar sudah bergabung ke Pemerintahan.

Periode kedua Pemerintahan Presiden Joko Widodo, tampaknya tidak mau kehilangan momentum dengan senantiasa membangun hubungan baik dengan parlemen. Pasca pemilihan, hampir seluruh partai, berada dalam barisan Presiden Joko Widodo-Wakil Presiden Kyai Ma'ruf Amin. Belakangan setelah menang, Presiden Joko Widodo, mengajak Jendral (Purn) Prabowo Subianto, yang nota bene adalah saingan dalam dua kali perhelatan pemilu, membantunya dipemerintahan sebagai Menteri Pertahanan. Luar Biasa.

 Berkaca pada sejarah diatas, kita menemukan titik dimana sistem Presidensial versi Indonesia memiliki celah. Presiden yang dipilih oleh rakyat, namun dicalonkan oleh partai politik seolah-olah mempunyai dua tuan. Satu Rakyat, satu lagi Parlemen. Presiden, sekalipun memegang mandat rakyat tidak bebas menjalankan kebijakannya. Ada lubang dalam sistem ketatanegaraan sehingga setiap pemilu, terjadi ketegangan antara eksekutif dan legislatif. Meskipun Presiden mendapatkan dukungan oleh rakyat namun pelaksanaannya harus tetap bernegoisasi dengan parlemen.

 Akibatnya, tahun-tahun pertama pemerintahan tidak berjalan maksimal. Fokus Presiden dan Wakil Presiden menjaga kestabilan politik bukan kesejahteraan rakyat. Di kali kelima, dilangsungkannya pemilihan Presiden dan Wakil Presiden secara langsung, seyogyanya tidak lagi menjadi persoalan. KAHMI Nasional, memiliki peran potensial untuk merumuskan satu postulat politik dan hukum guna menyelesaikan persoalan tersebut. Harus ada semacam komunikasi dan "kesepakatan" antara partai politik dan semua pemain didalamnya agar Presiden/Wakil Presiden terpilih dapat menjalankan roda pemerintahan dimasa awal. Hal tersebut harus dilakukan jauh-jauh hari, karena pasca pemilihan Presiden sudah menunggu perhelatan akbar yang tidak kalah menyita perhatian dan menguras energi, yaitu : Pemilihan Kepala Daerah Serentak.

          

Pemilihan Kepala Daerah Serentak

Pemilihan Kepala Daerah sama halnya dengan pemilihan Pasangan Presiden dan Wakil Presiden. Pasangan Gubenur dan Wakil Gubernur, Walikota dan Wakil Walikota, Bupati dan Wakil Bupati juga diusulkan oleh partai politik. Aturannya presentase dukungan berubah-ubah, tapi kisaran antara 15-20% jumlah kursi DPRD, sebagaimana berikut : 

  • Berdasarkan Pasal 59 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, disebutkan :  "Partai politik atau gabungan partai politik dapat mendaftarkan pasangan calon apabila memenuhi persyaratan perolehan sekurang-kurangnya 15% (lima belas persen) dari jumlah kursi DPRD atau 15% (lima belas persen) dari akumulasi perolehan suara sah dalam Pemilihan Umum anggota DPRD di daerah yang bersangkutan".
  • Pasal 40 (1), UU 10 Tahun 2016 (perubahan kedua), menyebutkan bahwa : "Partai Politik atau gabungan Partai Politik dapat mendaftarkan pasangan calon jika telah memenuhi persyaratan perolehan paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari jumlah kursi Dewan Perwakilan Rakyat Daerah atau 25% (dua puluh lima persen) dari akumulasi perolehan suara sah dalam pemilihan umum anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah di daerah yang bersangkutan". Ketentuan tersebut dituangkan ke dalam aturan teknis, Pasal 5 ayat (2), PKPU Nomor 3 Tahun 2017 Jo. PKPU Nomor 1 Tahun 2020 (perubahan ketiga) tentang Pencalonan Pemilihan Gubenur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati dan/atau Walikota dan Wakil Walikota, menyebutkan : "Persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), yaitu Partai Politik atau Gabungan Partai Politik yang memperoleh paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari jumlah kursi Dewan Perwakilan Rakyat Daerah atau 25% (dua puluh lima persen) dari akumulasi perolehan suara sah dalam Pemilu Terakhir".

Pemilihan Kepala Daerah yang membutuhkan mandat partai politik di tingkat pusat, telah menjadi rahasia umum menimbulkan ongkos ekstra. Biaya pemenangan dan kampanye yang besar, ditambah adanya praktik jual beli suara (vote buting/money politics) semakin membuat sistem pemilihan kepala daerah berharga mahal. Di sinilah oligarki politik masuk dan mengambil peran. Akhirnya, siapapun kandidat yang maju dan bertarung melalui jalur partai politik tidak leluasa menjalankan gagasan dan kebijakannya karena tersandera beban modal politik. Ada "beban hutang", dimana pemenang pilkada "wajib" membayar pihak yang telah membiayainya dengan proyek dan/atau jabatan tertentu setelah terpilih. Disinilah, asal muasal korupsi politik birokrasi terjadi. Modal yang telah keluar harus dibayar mahal, berkali-kali lipat. Dalam kasus tertentu, modal diawal didapatkan juga dari proyek-proyek daerah yang sedang berjalan.

Hal ini menyebabkan korupsi politik di daerah menjamur. Akibatnya pemerintahan tidak berjalan maksimal. Anggaran pembangunan dan kesejahteraan kerap jadi bahan bancakan dan pengembalian modal politik. Berdasarkan data KPK RI, sejak 2004 hingga Januari 2022, tidak kurang 22 Gubernur dan 148 Bupati dan Walikota terjerat persoalan korupsi. Ini belum masuk data dari Kepolisian dan Kejaksaan. Ini tentu juga menjadi pekerjaan rumah bagi KAHMI.   

Karena itu, sekali lagi, harus ada jalan keluar agar suksesi kepala daerah bisa lebih murah sehingga semakin banyak warga daerah yang berani memimpin dan memberikan kontribusi terhadap daerahnya masing-masing. KAHMI Nasional yang memiliki jaringan seluruh Indonesia dan tentu saja memiliki wakil di parlemen, memiliki peran yang besar dalam menyelesaikan persoalan ini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun