Oleh : Muhammad Ali Fernandez, SHI., MH.
Istilah bela diri atau pembelaan terpaksa santer dan nyaring terdengar seiring mencuatnya kasus meninggalnya Brigardir J, di rumah dinas IrjenPol. Ferdy Sambo. Bharada E yang diduga melakukan penembakan terhadap Brigadir J, diduga melakukan itu karena adanya serangan tembakan terhadap dirinya terlebih dahulu. Meskipun, ini harus dibuktikan melalui serangkaian penyelidikan dan penyidikan oleh Tim Khusus Bareskrim Polri, tetapi linimasa pemberitaan masyarakat terlanjur ramai dengan hiruk pikuk isu ini.
Salah satu pertanyaan publik adalah, Apakah perbuatan Bharada E melakukan pembelaan diri dibenarkan secara hukum? Bagaimana sesungguhnya hukum pidana mengatur hal tersebut.
1. Perbuatan Pidana (Actus Reus)
Dalam ajaran dualistis, seseorang dapat dikategorikan melakukan perbuatan pidana (actus reus) jika telah terpenuhinya tiga hal yaitu:
a. Adanya perbuatan yang memenuhi unsur delik.
b. Perbuatan tersebut terkandung unsur sifat melawan hukum materil.
c. Tidak adanya alasan pembenar.
Perbuatan seseorang masuk kualifikasi unsur pidana jika setelah di cocoki dengan unsur delik, semuanya sesuai dan terpenuhi. Baik itu delik materil, delik yang hanya mensyarakat terciptanya akibat perbuatan atau delik formil yaitu delik yang mengharuskan terpenuhi semua elemen dalam Pasal tindak pidana tersebut. Kadang kala untuk terpenuhinya suatu perbuatan mengharusnya subyek tertentu, misal pejabat negara dalam tindak pidana korupsi.
Adanya sifat melawan hukum materil bermakna perbuatan tersebut dipandang oleh masyarakat sebagai itu perbuatan yang benar-benar tidak patut dan tidak boleh dilakukan. Masyarakat menilai suatu perbuatan itu tercela dan tidak boleh dilakukan karena menggangu rasa keadilan masyarakat.
Sementara itu alasan pembenar, dapat dimaknai sebagai alasan yang menghapus sifat melawan hukum perbuatan sehingga perbuatan terdakwa menjadi perbautan yang patut dan dapat dibenarkan. Hal itu antara lain pembelaan terpaksa (49 ayat 1 KUHP), menjalankan perintah Undang-undang, Pasal 50 KUHP dan menjalankan perintah jabatan (Pasal 51 ayat (1) KUHP).