Pasal 222 : "Pasangan Calon diusulkan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik Peserta Pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20 % (dua puluh persen) dari jumlah kursi DPR atau memperoLeh 25% (dua puluh lima persen) dari suara sah secara nasional pada Pemilu anggota DPR sebelumnya".
Ketentuan tersebut berkali-kali di uji di Mahkamah Konstitusi, berkali-kali juga ditolak. Yang menguji Pasal 222 mendalilkan bahwa ketentuan ambang batas calon presiden terlalu tinggi sehingga membatasi hak seseorang untuk mencalonkan diri sebagai Presiden, membatasi hak memilih calon Presiden karena akan sedikit yang mencalonkan diri, menyebabkan polarisasi dimasyarakat dst. Mahkamah Konstitusi, dalam sebagian besar dalilnya menyatakan penentuan angka 20 persen jumlah kursi merupakan kebijakan terbuka (open legal policy), dan tidak ada pertentangan dengan hak konstitusional warga negara.
Terlepas dari itu, yang dilakukan oleh Golkar, PPP dan PAN dalam membentuk koalisi Indonesia bersatu, adalah langkah berani dalam tradisi demokrasi Indonesia. Golkar sebagai partai yang memiliki akar rumput yang kuat berani menunjukkan kepada publik bahwa layak menjadi pemimpin kembali pada periode pemerintahan 2024-2029. Hal ini bukan tanpa resiko, karena bisa jadi publik antipati terhadap partai politik yang "kampanye" jauh-jauh hari padahal ketua umumnya menjadi menteri dalam kabinet. Kesan yang muncul dipublik, apa ya pekerjaannya sebagai menteri bisa ditunaikan dengan baik.
Meskipun, menjadi realitas politik bahwa memang persiapan kampanye pilpres dan pileg serta konsolidasi didaerah harus dilakukan jauh-jauh hari. Bahkan pada beberapa partai, 1 tahun setelah pilpres 2019 selesai ada yang bersiap-siap menyongsong pilpres 2024. Sebagaimana kita tahu, eksperimen pemilu serentak yakni pemilihan presiden 2024, diselenggarakan pada bulan Februari 2024, bersamaan dengan pemilihan anggota legislatif (DPR, DPD dan DRDP Provinsi, Kabupaten, Kota). Tambahan lagi Pemilihan Kepala Daerah, dilakukan pada tahun yang sama yaitu November 2024. Konstalasi pemilihan kepala daerah bisa jadi terkait erat dan bergantung pada hasil pemilihan presiden dan legislatif.
Langkah, Golkar, PAN, PPP adalah langkah bagus, bersamaan dengan koalisi di level nasional, mereka bisa jadi juga melakukan koalisi di level Provinsi dan Kabupaten/Kota.
Â
Lepas Dari "Mantra" Elektabilitas
Sejak pemilihan presiden 2014, mantra "elektabilitas" menjadi sesuatu yang dahsyat. Kita menyaksikan bersama bagaimana PDI Perjuangan mengusung Presiden Joko Widodo. Hasil Survei terhadap Presiden Joko Widodo (pada waktu itu sebagai Gubernur) tinggi dan terus-menerus naik menjelang tahapan pilpres digelar, sehingga tidak ada pilihan lain yang lebih bagus dari PDI Perjuangan selain mengusung kadernya bersama H.M. Jusuf Kalla sebagai pasangan Presiden dan Wakil Presiden. Hasil survei elektabilitas tidak berbeda jauh dengan hasil pemilihan riil presiden dan wakil presiden pada 2014. Pun, demikian pada pemilihan presiden 2019, elektabilitas Joko Widodo yang sangat populer sebagai Presiden tidak berbeda jauh dengan hasil akhir dari KPU RI. Presiden Joko Widodo mengulang kesuksesan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, menjadi Presiden Republik Indonesia yang dipilih oleh rakyat dua kali berturut-turut.
Pasca pilpres 2024, hiruk pikuk politik Indonesia diwarnai dengan tampilnya setidaknya 3 Gubernur ditanah Jawa yang cukup terkenal (popularitas tinggi). Mereka digadang-gadang bisa menyaingi Jendral (Purn) Prabowo Subianto, dalam pemilihan presiden 2024, yang kemungkinan besar diusung oleh Partai Gerindra.
Anies Baswedan (Gubernur DKI Jakarta), Ridwan Kamil (Gubernur Jawa Barat), Ganjar Pranowo (Gubernur Jawa Tengah,. Untuk dua yang pertama, selain terkenal, juga tingkat keterpilihan cukup tinggi (elektabilitas). Bahkan berdasarkan hasil survei lembaga kredibel, tingkat elektabilitas Anies Baswedan dan Ganjar Pranowo berkejaran dengan tingkat elektabilitas Prabowo Subianto, yang notabene merupakan calon presiden tahun 2014 dan 2019.
Berkaca pada keterpilihan Presiden Jowo Widodo sebagai calon presiden oleh Ibu Megawati Soekarno Putri (PDI Perjuangan) yang didasarkan pada tingkat elektabilitas yang kuat yang belakangan hasilnya tidak jauh berbeda dari hasil pemilihan riil. Muncul semacam kesan bahwa hanya calon yang memiliki tingkat elektabilitas yang sama dengan Prabowo Subianto, yang bisa "mengalahkahkan" Prabowo Subianto. Calon lain tidak bisa.