Bulan suci Ramadan tentunya bulan yang sangat ditunggu-tunggu umat Islam di seluruh dunia, ada keistimewaan tersendiri di bulan Ramadan yang tak bisa kita temui di bulan lainnya. Namun berbeda dengan saya, entah sejak kapan bulan Ramadan justru menjadi kekhawatiran yang tak ada habisnya, terlebih saat menjelang hari Raya Idul Fitri.
Namun setelah cukup lama saya mengobservasi lebih dalam pada masalah internal ini, ternyata jawabannya ketakutan tersebut berasal dari berbagai pertanyaan orang tua dan seluruh keluarga besar. Pertanyaan singkat serta sindiran-sindiran halus mengenai, kapan menikah? Sudah menjadi karyawan apa sekarang? Mana kok cowoknya belum di bawa? Kapan nih Ibu kamu mantu?Â
Masih banyak lagi jenis pertanyaan dengan kalimat yang lebih variatif dengan makna yang sama, hal ini akan saya uraikan satu persatu.
Sejak saya lulus kuliah dan memilih untuk melanjutkan studi sarjana saya pindah ke Jakarta, tentunya hal ini tidak mudah. Anak yang dari kecil tinggal di kampung tiba-tiba harus beradaptasi di kota dengan berbagai teknologi yang sebelumnya tak pernah saya jumpai di kampung. Ada banyak hal yang membuat saya terkejut, mengapa orang di kota bahkan tak pernah bertegur sapa satu sama lain.
Ada satu lagi yang membuat saya menangis, karena saya kecopetan. Ponsel saya hilang saat pergi ke sebuah tempat yang cukup ramai di Jakarta. Belum lagi perkara panggilan aku-kamu yang berganti ke lo-gue karena kalau tidak disangka tengah menjalin hubungan asmara dengan lawan jenis yang tengah diajak bicara aku-kamu. Namun pada hal ini saya tak dapat mengikuti, karena katanya cara bicara saya yang akan jadi kagok serta aneh saat menggunakan lo-gue.
Setelah banyak drama yang membuat saya tetap memaksakan diri agar bisa dengan baik beradaptasi di Jakarta ini, akhirnya saya sampai juga pada kelulusan Sarjana. Dihadiri kedua orang tua saya, tentunya ada kebanggaan tersendiri dapat lulus di kota, apalagi di kampung tempat saya tinggal masih sangat jarang orang yang memiliki gelar ini.
Saya pikir kehidupan akan membaik, lulus -- dapat kerja -- kaya raya -- bertemu pujaan hati -- menikah -- dan hidup Bahagia, saya kira begitu.
Namun namanya juga kehidupan, ada banyak hal yang tidak saya ketahui mengenai masa depan apa yang akan saya temui dan harus dijalani.
Dua tahun berlalu setelah lulus kuliah saya belum juga mendapatkan pekerjaan, masih menganggur. Terkadang kerja serabutan yang gajinya palingan cukup untuk beli esteh di warung. Bahkan es teh sekakarang yang bermerek lebih mahal.
Setiap hari bermodal cv serta portofolio yang saya yakini akan menarik ini selalu saja gagal, berakhir dighosting HRD, Â begitu ketat persaingan di Ibu Kota ini yang sebentar lagi bukan lagi Ibu Kota. Hal ini yang membuat saya jadi takut pulang kampung, dan tak punya muka untuk bertemu orang tua.
Karena seharusnya saya sebagai anak pertama bisa membantu perekonomian keluarga, justru sampai saat ini belum memperlihatkan tanda-tanda menaikkan derajat mereka. Perkataan yang saya ingat waktu hari Raya Idul Fitri adalah, sekarang udah jadi karyawan apa? Dan saya hanya tersenyum karena tak dapat memberikan jawaban, karena faktanya saya belum menjadi karyawan perusahaan manapun.
Setelah perkara pekerjaan, sekarang perkara menikah. Di umur yang telah menginjak 25 tahun, ternyata saya belum dapat memberikan menantu bagi kedua orang tua saya. Sebenarnya mereka tak pernah protes, namun tetap saja saat teman terdekat saya ada yang menikah, mereka memperlihatkan betapa mereka menginginkan hal itu pula.
Kisah asmara saya tak pernah berakhir mulus, terkadang didekati seseorang karena dia hanya penasaran saja. Terkadang juga dekat eh, cuman dimanfatkan saja, adakalanya pula saya menyukai seseorang namun mereka tak menyukai saya. Atau pernah juga sebaliknya, mereka suka saya, tapi saya tidak suka.
Namun terlepas dari suka atau tidak suka, kerap sekali saya bertemu dengan orang yang prinsip-prinsipnya bertentangan dengan saya, dan saya memilih untuk tak melanjutkan hubungan kami.
Meski menurut survey pernikahan sepuluh tahun terakhir di Indonesia menurun drastis, tampaknya hal ini tak akan berpengaruh pada pola pikir keluarga besar saya di kampung yang masih sangat tradisional. Bahkan setiap tahun di bulan Syawal ada pernikahan di tiga sampai lima rumah di kampung saya.
Semakin dekat rumah tentangga yang memiliki hajat dengan rumah saya, maka semakin kencang pula pertanyaan kapan menikah atau ledekan-ledekan untuk orang tua saya, kapan nih mantu? begitulah seterusnya tentunya pertanyaan ini akan dilontarkan tepat dihadapan saya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H