Mohon tunggu...
Nandar Achmad
Nandar Achmad Mohon Tunggu... -

B A C A L A H. . .

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Filsafat Pasir

10 Februari 2014   11:40 Diperbarui: 24 Juni 2015   01:59 250
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Filsafat Pasir sebagai kecenderungan Manusia
Manusia yang dikatakan sebagai mahluk social ternyata memang tak pernah ada celanya, namun realita yang terjadi dimasyarakat sangat berbeda sekali dengan teori tersebut. Kataanya social, tapi masyarakat malah mementingkan rasa ego yang berlebihan. Menganggap diri paling wah, dan mampu hidup tanpa orang lain. Merka merasa tidaknyaman akan kehadiran orang lain dilingkuangnnya dan menganggap bahwa mereka adalah pengganggu. Dengan rasa ketidak nyamanan ini mengakibatkan timbulnya rasa ego dan rasa iri hati terhadap orang yang ada disekitarnya. Contoh nyata yang dapat dipetik adalah, dalam kehidupan dilingkungan di sekitar kita, ketika ada diantara mereka yang merasa sudah memiliki ekonomi yang cukup maka pihak yang lain akan menjadi iri, kemudian dengan berbagai cara mereka berusaha unuk menjatuhkan orang kaya tersebut dengan berbagggai fitnah yang tak berdasar, misalnya dengan mengatakan bahwa orang kaya tersebut memiliki tuyul dan lain sebagainya, dengan tujuan agar orang yang kaya tersebut dibenci atau dikucilkan dalam lingkungan masyarakatnya. Pola pikir yang sempit seperti itu akan menimbulkan suatu perpecahan yang akan merugikan dirinya sendiri. Mereka tak pernah menyadari akan makna sebuah persatuan dan kebersamaan. Sifat yang seperti ini merupakan sebuah awal dari keruntuhan sebuah idiologi manusia sebagai makhluk social. Manusia itu cenderung seperti pasir, manakala pasir itu terlepas dari kawanannya, maka pasir itu tak akan dianggap, bahkan tidak akan ada yang mengenali bahwa dia adalah pasir. Dia disebut sebagai pasir jika dia hidup bersama dengan kawanannya dan hidup secara berdampingan. Begitupula dengan manusia yang dikatakan sebagai makhluk social, artinya manusia takan dapat hidup tanpa manusia yang lainnya. Manakala manusia itu hidup sendiri, maka tidak akan ada yang mengenalinya, bahkan dia tidak akan dianggap sebagai manusia. Karena pada dasarnya manusia adalah mahluk social, bukan makhluk individu yang dapat hidup tanpa orang lain. Namun yang terjadi dewasa ini, manusia cenderung mulai meninggalkan filsafat pasir ini sebagai dasar manusia sebagai makhluk social dengn merasa mampu hidup sendiri atau merasa nyaman jika yang hidup hanya kelompoknya dia sendiri.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun