Beberapa minggu lalu, saya mengikuti pelatihan ekspor-impor yang salah satu agendanya adalah mengunjungi PT Terminal Petikemas Surabaya (TPS). Saat itu, salah satu staf TPS yang membantu agenda kunjungan menyatakan bahwa kesadaran masyarakat akan pentingnya pelabuhan dan perairan masih sangat minim. Minimnya kesadaran ini bertentangan dengan luasnya wilayah perairan Indonesia, yang idealnya membuat masyarakat menyadari betapa penting dan strategisnya laut Indonesia.Â
Berkaitan dengan hal tersebut, penulisan artikel inipun bertujuan untuk menggaris bawahi pentingnya kesadaran masyarakat atas sigfikansi laut Indonesia salah satunya dalam upaya penegakan kedaulatan Indonesia di Laut Cina Selatan (LCS). Selain itu, penulis juga menyoroti pentingnya peningkatan kualitas hidup nelayan lokal sebagai salah satu garda terdepan dalam ketahanan pangan Indonesia.
Indonesia bukanlah negara pihak dalam sengketa LCS. Artinya, Indonesia tidak memiliki klaim atas wilayah Spratly dan Paracel sebagai wilayah yang disengketakan. Meski begitu, sengketa antara Tiongkok dengan beberapa negara ASEAN seperti Malaysia, Brunei, Vietnam, dan Filipina di wilayah ini menempatkan kepentingan Indonesia dalam risiko, salah satunya adalah keamanan Kepulauan Natuna, khususnya Laut Natuna Utara (Supriyanto, 2016). Â
Sebagaimana diatur dalam United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS), Laut Natuna Utara merupakan bagian dari Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia. Meski begitu, wilayah ini masuk Garis Bentuk U dalam peta 9 garis putus-putus yang diklaim oleh Tiongkok (Siregar, 2023). Pada tahun 2010, pemerintah Indonesia menegaskan bahwa klaim tersebut tidak memiliki dasar hukum internasional dan bertentangan dengan UNCLOS.
Kepulauan Natuna sendiri menyimpan sumber daya alam lepas pantai yang cukup besar, dengan lebih dari 90 juta standar barel cadangan minyak bumi dan lebih dari 200 triliun kaki kubik cadangan gas alam. Selain itu, Kepulauan Natuna juga memiliki potensi perikanan yang menjanjikan dengan potensi tangkap sebesar lebih dari 1 juta ton (Dinas Komunikasi dan Informatika Kabupaten Natuna & Rengga, 2022).Â
Dalam perkembangannya, Indonesia di bawah kepemimpinan Jokowi memang telah melakukan langkah-langkah untuk meningkatkan kapasitas militer dan penegakan hukum di wilayah tersebut. Bahkan pada tahun 2020, Jokowi melakukan kunjungan setelah terjadi konfrontasi yang melibatkan jet tempur, kapal perang, dan puluhan kapal dari Indonesia dan Tiongkok setelah kapal penjaga pantai dan nelayan Tiongkok memasuki kawasan ZEE Indonesia pada akhir 2019 (CNA, 2023).
Meski begitu seiring berkembangnya waktu, respons Indonesia terhadap gangguan-gangguan dari Tiongkok yang masih terus terjadi dianggap kurang. Beberapa akademisi menganggap hal ini disebabkan adanya kompleksitas upaya penyeimbangan antara kekhawatiran domestik, ambisi geopolitik yang baru tumbuh, sikap kebijakan luar negeri non aliansi yang telah lama dipegang, hingga ambisi pembangunan dalam negeri yang terjadi di masa pemerintahan Jokowi. Hal tersebut pun berdampak pada bagaimana nelayan-nelayan di kawasan Kepulauan Natuna terus mengalami penurunan penangkapan (CNA, 2023).
Dilansir dari Channel News Asia (CNA), para nelayan di kawasan tersebut kerap kali diminta untuk meninggalkan wilayah perairan yang sudah biasa mereka tempati untuk menangkap ikan tidak hanya oleh kapal Tiongkok, tetapi juga Vietnam dan Filipina. Bahkan beberapa nelayan di Kepulauan Natuna kerap kali berjumpa dengan kapal penjaga pantai hingga kapal perang yang kebanyakan berasal dari Tiongkok (CAN, 2023).Â
Pada saat yang sama, kondisi nelayan lokal di sejumlah wilayah pesisir Indonesia juga tidak lebih baik. Nelayan lokal dengan kapal kecil (berukuran di bawah 10 gross ton) umumnya belum memiliki tempat dalam tata kelola kelautan dan perikanan Indonesia, meskipun nelayan-nelayan tersebut memiliki peran penting dalam perlindungan laut (Jakarta Post, 2023).
Pembangunan di pesisir seringkali memarginalkan nelayan dan komunitas pesisir meski mereka merupakan salah satu garda terdepan untuk menjaga ketahanan Indonesia. Sejak tahun 1980an, terdapat banyak upaya konversi lahan mangrove menjadi lahan kelapa sawit (BRIN, 2023). Selain itu, berkembang juga paradigma pembangunan yang mengutamakan komunitas perkotaan dan agrikultur, sehingga kurang memperhatikan kehidupan masyarakat di daerah pesisir. Hal ini pun menyebabkan adanya pergeseran nilai dan budaya dari "budaya maritim" ke "budaya daratan" (Nashir & Riyadi, 2023).
Berkaitan dengan hal tersebut, penulis menilai bahwa peningkatan fokus pemerintah terhadap kesejahteraan masyarakat pesisir merupakan suatu hal yang harus terus dilakukan. Pemberdayaan dan dukungan berupa perlindungan, utamanya untuk nelayan di wilayah Laut Natuna Utara dapat berperan dalam memaksimalkan potensi perikanan di kawasan tersebut. Lebih lanjut, pemberdayaan dan perlindungan nelayan juga diperlukan karena para nelayan lokal tersebutlah yang memiliki pengetahuan mendalam terkait bagaimana perilaku ikan, habitat ikan, musim ikan, operasi alat tangkap ikan, hingga penjagaan ekosistem wilayah pesisir.