Perkembangan teknologi di masa kini kita memasuki era digital sangat pesat mulai dari berbelanja, belajar, atau bahkan di bidang financial technology, akan berperan penting dalam mengakselerasikan perbankan di masa yang akan datang. Meningkatnya inovasi dalam memajukan sektor perbankan/keuangan yang bergerak dalam fintech, hadirnya pinjaman atau kredit online diyakini dapat memfasilitasi peminjaman.
Layanan pinjaman online cepat dan mudah karena mengkristalkan mata rantai kebutuhan perbankan dengan menghilangkan keberadaan fisik bank dan langsung menuju produk dan layanan perbankan melalui aplikasi. Namun ada beberapa kendala seperti suku bunga tinggi dan penalti bagi pelanggan, penyalahgunaan informasi pelanggan, dan proses penagihan yang seringkali bermusuhan.
Dengan teknologi yang relatif baru, orang sering kesulitan membedakan antara pinjaman yang legal dan ilegal. Nasabah rawan ditipu dengan berbagai perhitungan bunga dan denda yang dikenakan pemberi pinjaman akibat ketidaktahuan nasabah terhadap perbankan. Minimnya pengetahuan perbankan juga dapat membuat masyarakat sulit membedakan antara pinjaman yang sah dan terdaftar secara hukum.
Pinjaman ilegal masih merajalela, yang dapat mempersulit layanan ini dan reputasi Anda di masa mendatang. Salah satu tujuan dibentuknya Otoritas Regulator Keuangan (OJK) adalah untuk melindungi kepentingan konsumen dan masyarakat dalam bertransaksi industri keuangan. Perlindungan konsumen yang dipercayakan kepada OJK diatur secara tegas dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan yang dibentuk sebagai berikut:
OJK didirikan dengan tujuan agar seluruh kegiatan di bidang keuangan:
kemampuan untuk melindungi kepentingan konsumen dan masyarakat. Perlindungan konsumen di industri jasa keuangan bertujuan untuk menciptakan sistem perlindungan konsumen yang andal, meningkatkan pengaruh dan kesadaran konsumen terhadap jasa keuangan. tentang pentingnya perlindungan konsumen untuk meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap industri jasa keuangan.
Layanan pinjam meminjam berbasis IT dan Peraturan Bank Indonesia No. 19/12/PBI/2017 Tahun 2017 tentang penerapan Fintech sebagai dasar hukum penyelenggaraan kegiatan perjanjian pinjaman online. Kedua aturan ini dibuat untuk mengikuti pesatnya perkembangan teknologi keuangan. Dalam transaksi pinjaman elektronik, semua perjanjian antara debitur dan kreditur tergabung dalam perjanjian elektronik. Disiplin terkait dengan kontrak elektronik tertuang dalam Pasal 1 Ayat 17 Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), yang menyatakan bahwa:
“Kontrak elektronik adalah kontrak yang dilakukan melalui sistem elektronik”. Kekuatan hukum kontrak elektronik berasal dari Pasal 18 (1) UU ITE yang menyatakan bahwa “transaksi elektronik yang dimuat dalam kontrak elektronik harus mengikat para pihak”. Dari sini dapat disimpulkan bahwa transaksi tersebut menjadi suatu akad dan karenanya akad elektronik dikatakan mengikat para pihak, dapat disamakan dengan akad atau akad pada umumnya.
Dalam hal pinjaman online, dimana perjanjian itu dicatat dalam dokumen atau perjanjian elektronik, jelas bahwa kualifikasi dokumen itu adalah dokumen pribadi, yaitu bukan akta otentik atau akta notaris. Walaupun kontrak elektronik merupakan dokumen pribadi namun dapat dijadikan sebagai alat bukti, namun nilai pembuktian dokumen tersembunyi tidak selengkap dokumen asli. Setidaknya ada dua kekurangan atau kelemahan dalam tulisan tangan tersebut. Pertama, tidak adanya saksi tulisan tangan akan sulit dibuktikan.
Kedua, jika salah satu pihak menolak atau mempermasalahkan tanda tangan tersebut, kebenaran surat tersebut harus dibuktikan di pengadilan. Kami membutuhkan aturan untuk melindungi konsumen dari layanan pinjaman online ilegal. Berdasarkan PJOK No. 77/POJK.01/2016 tentang layanan pinjam meminjam dan kredit teknologi informasi dan POJK No. 13/POJK.02/2018 tentang inovasi keuangan digital di sektor jasa keuangan.
OJK hanya dapat memberikan sanksi kepada perusahaan jasa kredit online yang resmi terdaftar di OJK (badan hukum). Namun, OJK tidak bisa memberikan sanksi kepada perusahaan jasa pinjaman online ilegal selain menutup perusahaan tersebut. Di sisi lain, banyak orang yang mengalami kerugian akibat investasi atau pinjaman yang dilakukan melalui penyedia jasa pinjaman online ilegal. Dalam hal ini, diperlukan regulasi atau kebijakan khusus untuk melindungi konsumen pengguna jasa pinjaman online ilegal.
Pinjaman online (Pinjol) merupakan layanan pinjam meminjam berbasis teknologi informasi yang dilakukan secara online tanpa perlu tatap muka.
Cara ini memberikan kemudahan dan kecepatan dalam proses pengajuan kredit. Pinjaman online yang mudah dan cepat dibandingkan dengan lembaga keuangan lainnya, meningkat di masa Pandemi Covid-19. Berbagai permasalahan muncul karena kurangnya ketersediaan peraturan dan kebijakan yang menekankan kewajiban dan sanksi bagi pelaku usaha P2P Lending dan literasi konsumen yang rendah.
Dalam upaya mewujudkan perlindungan konsumen jasa pinjaman online, berbagai pihak seperti Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Satgas Waspada Investasi (SWI), Kementerian Komunikasi dan Informatika serta Bareskrim perlu berkoordinasi. Perlu pembuatan aturan yang lebih rinci, pengawasan P2P Lending legal dan ilegal lebih ketat, sosialisasi dan penindakan P2P Lending ilegal, penyebarluasan informasi tentang P2P Lending legal secara efektif dan masif; dan aturan yang tegas kepada pelaku usaha P2P Lending ilegal agar dalam melakukan penagihan wajib menerapkan etika bisnis dan prinsip humanisme.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H