Sudah Berjalannya Reklamasi Teluk Benoa, Lalu apa? Menunggu 30 Tahun?
Reklamasi Teluk Benoa sudah menjadi isu yang sangat panas pada awal tahun 2013, berbagai kejadian mewarnai lika-liku reklamasi ini. Mulai dari penolakan warga Bali, adanya aksi-aksi, adanya musyawarah, demo dan lainnya, namun kenyataannya reklamasi sudah pasti akan tetap dilaksanakan. Pada awalnya pembangunan jalan tol diatas atas laut menjadi salah satu indikasi adanya pemanfaatan secara berkesinambungan di wilayah Teluk Benoa Jimbaran Bali. Mengapa tidak? Berbagai penolakan dan kontroversi tentang pembangunan jalan tol telah terjadi namun apa daya tol akhirnya dibangun dan sekarang menjadi “kebanggaan” masyarakat Bali. Tapi tanpa disadari pelaksanaan reklamasi semakin mulus dan lancar untuk dilakukan.
Apabila dikaitkan dengan aturan yang berlaku, perubahan Perpres No. 45 tahun 2011 menjadi Perpres No.51 tahun 2014 menjadi awal mula lahirnya permasalahan ini. Sebab dalam Perpres No.51 tahun 2014 wilayah Teluk Benoa menjadi zona P atau penyangga dimana dulunya merupakan zona L3 atau konservasi. Dimana dalam zona ini (zona P) terdapat kegiatan yang diperbolehkan seperti kegiatan kelautan, perikanan, pariwisata, pengembangan ekonomi, permukiman bahkan reklamasi.
Berdasarkan pernyataan Gubernur Bali Made Mangku Pastika, dalam tulisanya yang berjudul “Reklamasi Teluk Benoa untuk Masa Depan Bali”. Bali yang secara geografis sangat sempit, terus mengalami pengurangan lahan pertanian karena alih fungsi akibat kemajuan pembangunan. Untuk itu, harus dipikirkannya berbagai upaya terobosan dalam menjaga perkembangan pembangunan pariwisata kita sejalan dengan kelestarian pertanian sebagai nafas kebudayaan Bali. Di sisi lain, beberapa pantai di Pulau Bali merupakan daerah yang rawan bencana, khususnya bencana tsunami. Menjadi kewajiban masyarakat dan pemerintah untuk melakukan langkah-langkah antisipasi dan mitigasi bencana tersebut. Sejalan dengan kemajuan pembangunan di wilayah Bali selatan, eksploitasi yang berlebihan terhadap alam dan lingkungannya, harus diimbangi dengan upaya pelestarian lingkungannya. Dipilihnya rencana reklamasi di kawasan Teluk Benua, mengingat kondisi di wilayah perairan tersebut yang salah satunya adalah keberadaan Pulau Pudut, sudah sangat terancam akibat perubahan iklim global.
Tujuan pemanfaatan kawasan Teluk Benoa antara lain untuk mengurangi dampak bencana alam dan dampak iklim global, serta menangani kerusakan pantai pesisir. Kebijakan rencana pengembangan Teluk Benoa adalah untuk meningkatkan daya saing dalam bidang destinasi wisata dengan menciptakan ikon pariwisata baru dengan menerapkan konsep green development, sebagai upaya mitigasi bencana, khususnya bahaya tsunami. Reklamasi ini akan menambah luas lahan dan luas hutan bagi Pulau Bali, yang tentu sangat prospektif bagi kemajuan dan kesejahteraan masyarakat Bali, apabila dikelola dengan tepat, arif dan bijak.
Berdasarkan kajian pakar Hidrologi dari Universitas Udayana, I Nyoman Sunarta, reklamasi Teluk Benoa tentu akan menimbulkan bencana ekologis. Alasannya jika reklamasi tetap dilaksanakan, maka akan terjadi perubahan arus air laut di sekitar perairan tersebut. Dampak paling nyata yang dapat dirasakan adalah semakin memperparah terjadinya abrasi di sejumlah pantai di sekitar Teluk Benoa.
Indonesia Maritime Institute (IMI) menegaskan, reklamasi di Teluk Benoa berpotensi merusak ekosistem terumbu karang yang selain sebagai penopang kehidupan jutaan biota laut, juga menjadi andalan wisata bahari di Pulau Bali, jika reklamasi dilakukan maka tentu sedimentasi yang ditimbulkan akan mematikan terumbu karang dan biota lainnya (dikutip dari kajian BEM Universitas Udayana).
Teluk Benoa memiliki luasan 838 hektar dimana rencana reklamasi seluas 700 hektar yang akan direncanakan pembangunan berbagai objek wisata oleh PT TWBI (PT. Tirta Wahana Bali Internasional). Namun terdapat pula informasi bahwa dari lahan seluas 838 Hektae dimana seluas 438 Hektar akan dibangun hutan mangrove, sementara sisanya: 300 Hektar akan dibangun fasilitas umum seperti art centre, gelanggang olahraga, tempat ibadah, sekolah dsb, lalu sekitar 100 Ha akan dibangun akomodasi pariwisata. Dan selama 30 Tahun lahan hasil reklamasi tersebut akan dikelola oleh PT TWBI. Lalu apa yang masyarakat dan pemerintah dapatkan selama dan setelah 30 tahun?
Hal ini dapat dikaitkan dengan bagaimana system kerjasama swasta dengan pemerintah, serta system pembiayaan yang digunakan seperti apa. Ada beberapa macam bentuk kerjasama pemerintah dan swasta diantaranya
- Kotrak servis adalah kontrak antara pemerintah dan pihak swasta untuk melaksanakan tugas tertentu, misalnya jasa perbaikan, pemeliharaan atau jasa lainnya, umumnya dalam jangka pendek (1-3 tahun), dengan pemberian kompensasi (fee)
- Kontrak manajemen adalah pemerintah menyerahkan seluruh pengelolaan (operation dan maintenance) suatu infrastruktur atau jasa pelayanan umum kepada pihak swast, dalam masa yang lebih panjang (umumnya 3-8 tahun) biasanya dengan kompensasi tetap (fixed fee)
- Kontrak sewa adalah kontrak dimana pihak swasta membayar uang sewa (fixed fee) untuk penggunaan suatu fasilitas umum, dan mengelola, mengoperasikan, serta memelihara, dengan menerima pembayaran dari pengguna fasilitas (user fees). Penyewa/ pihak swasta menangung reasiko komersial. Masa kontrak umumnya 5-15 tahun
- Kontrak Build-Transfer-Operate (BOT) adalah kontrak antara instnsi pemerintah dan badan usaha/swasta dimana bdan usaha bertanggung jawab atas desain akhir, pembiayaan, konstruksi, operasim dan pemeliharaan sebuah proyek investasi bidang infrastruktur selama beberapa tahun, biasanya dengan transfer asset pada akhir tahun masa kontrak. Umumnya masa kontrak berlaku 10 sampai 30 tahun. Beberapa variasi BOT antara lain ; BT (build and transfer); BLT (Bulid-Lease-transfer); BOO (Build-Own-Operate); BOT(Build-Operate_Transfer); CAO (Contract-Add-Operate); DOT(Develop-Operate-transfer); ROT( Rehab-Operate-Transfer); ROO (Rehab-Operate-Own)
- Kontrak Konsesi adalah struktur kontrak, Diana pemerintah menyerahkan tangggung jawab penuh kepda pihak swasta untuk mengeporasikan, memelihara, dan membangun suatu asset infrastruktur, dan memberi hak untuk mengembangkan, membangun, dan mengeporasikan fasilitas baru untuk mengakomodasi pertumbuhan usaha. Umumnya, masa konsensi berlaku 20-35 tahun.
Sedangkan apabila kita melihat dari system pembiayaannya, dapat berupa dari APBN atau APBD, retribusi, pajak, dan obligasi. Namun system pembiayaan akan lebih jelas diketahui apabila telah mengetahui dari system kerjasama yang dilakukan.
Jika diperhatikan dengan seksama, indikasi kerjasama yang dilakukan dapat berupa BOT ataupun Kontrak konsesi, karena masa pengelolaannya atara 10-35 tahun. Dimana masa pengelolaan PT. TWBI adalah 30 tahun. Hal ini yang perlu diperhatikan oleh masyarakat bali, pengawalan lebih diperketat pada system kerjasama dan pembiayaan pembangunan, sebab dilihat dari kajian mengenai efek lingkungan kita tidak tahu selama atau setelah reklamasi akan terjadi degradasi lingkungan besar besaran atau tidak.
Namun perlu diperhatikan, setelah 30 tahun apakah akan diperpanjang lagi? Apakah akan dikembalikan ke pemerintah? Atau akan terbengkalai? Tentukan pilihan dan sikap mulai sekarang, reklamasi sudah pasti akan terjadi, mau tidak mau kita masyarakat Bali pasti “bangga” akan hal tersebut, tapi ingat pengawalan harus selalu dilakukan, karena setelah 30 tahun kedepan anak cucu kita akan menjadi apa? Selama proses ini berjalan menunggu bukanlah hal yang baik, lakukan kajian mengenai system kerjasama, dan kontrol pembagunannya.
Nanda Khrisna Pratama
Mahasiswa Perencanaan Wilayah Kota ITS
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H