Dari tahun ke tahun pajak merupakan sektor yang menjadi perhatian bagi pemerintah Indonesia. Mengapa pajak mendapat perhatian khusus dari pemerintah? Hal ini selama beberapa tahun terakhir penerimaan negara didominasi oleh penerimaan pajak. Seperti halnya rumah tangga, negara juga mengatur penerimaan dan pengeluaran yang disusun dalam Anggaran Penerimaan dan Belanja Negara (APBN).
Berdasarkan data dari Kementerian Keuangan, pada tahun 2019 realisasi penerimaan Pendapatan negara adalah sebesar 2.165,1 Triliun, sedangkan realisasi belanja negara adalah sebesar 2.461,1 Triliun. Dari total penerimaan tersebut, penerimaan perpajakan sekitar 1.786,4 Triliun, sedangkan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP ) adalah sekitar 378,3 Triliun dan hibah sebesar 0,4 Triliun. Sejumlah data tersebut menunjukkan bahwa penerimaan negara yang berasal dari pajak adalah sekitar 82,5% dari keseluruhan penerimaan negara. PNBP sendiri didominasi oleh Sumber Daya alam yang terdiri dari SDA Migas dan SDA Non Migas yaitu sekitar 50,4% dari keseluruhan PNBP.
Dari kondisi ini maka tidak salah jika pemerintah melakukan upaya dan langkah langkah untuk meningkatkan penerimaan pajak karena PNBP tidak dapat diandalkan. PNBP tidak dapat diandalkan karena keterbatasan ketersediaan Sumber Daya Alam itu sendiri. Seluruh penerimaan negara yang berasal dari pajan maupun bukan pajak inilah yang digunakan pemerintah untuk membiayai belanja negara dalam berbagai pos, diantaranya anggaran pendidikan dan kesehatan dalam rangka pembangunan sumber daya manusia serta penguatan infrastruktur.
Belanja negara yang cukup besar dengan tujuan utama pembangunan nasional tersebut sudah sepatutnya ditopang dengan optimalisasi penerimaan negara. Meskipun penerimaan pajak sudah cukup besar, namun sebenarnya penerimaan tersebut belum optimal. Selama beberapa tahun terakhir rasio pajak Indonesia terhadap PDB masih berkisar 11-12%. Rasio pajak adalah ukuran untuk menilai kemampuan pemerintah memungut pajak. Rasio tersebut sebenarnya masih rendah jika dibandingkan dengan negara yang pertumbuhan ekonominya hampir sama dengan Indonesia. Secara garis besar rasio pajak tersebut menggambarkan bahwa penerimaan pajak di Indonesia masih memiliki potensi yang masih bisa dimaksimalkan.
Konsekuensi penerimaan pajak yang rendah adalah besarnya utang negara yang semakin besar serta pembangunan nasional menjadi lambat karena pembiayaan negara dalam berbagai sektor menjadi terhambat. Pembiayaan yang terhambat menyebabkan kesejahteraan masyarakat akan menurun karena fasilitas kesehatan maupun pendidikan akan menurun selanjutnya pembangunan nasional tidak tercapai. Oleh karena itu, sudah semestinya persoalan pajak mendapatkan perhatian dari berbagai pihak. Â
Rendahnya penerimaan pajak diakibatkan rendahnya kepatuhan masyarakat dalam membayar pajak. Kepatuhan masyarakat dalam membayar pajak disebabkan oleh rendahnya kesadaran pembayaran pajak. Menurut Menteri Keuangan dalam KMK No.544/KMK.04/2000 Kepatuhan perpajakan adalah tindakan WP dalam pemenuhan kewajiban perpajakannya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan peraturan pelaksanaan perpajakan yang berlaku dalam suatu negara.
Kepatuhan pajak dapat dibagi menjadi dua. Pertama, kepatuhan secara administratif atau secara formal yang mencakup kepatuhan wajib pajak terhadap persyaratan prosedural dan administrasi pajak, termasuk mengenai syarat pelaporan serta waktu untuk menyampaikan dan membayar pajak. Kedua, kepatuhan secara teknis atau material yang mengacu pada perhitungan jumlah beban pajak secara benar. Kepatuhan pajak secara material juga dapat didefinisikan sebagai suatu keadaan dimana wajib pajak memenuhi ketentuan material perpajakan, yaitu sesuai isi dan jiwa undang-undang perpajakan. Kepatuhan dapat diidentifikasi berdasarkan pada kepatuhan wajib pajak dalam mendaftarkan diri, kepatuhan wajib pajak untuk melaporkan surat pemberitahuan (SPT) secara benar, lengkap dan jelas, serta kepatuhan dalam pembayaran piutang perpajakan.
Secara ringkas terdapat beberapa alasan masyarakat memiliki kesadaran yang rendah dalam membayar pajak. Alasan pertama adalah kepercayaan masyarakat yang rendah terhadap pemerintah karena beberapa kasus pencurian uang pajak. Beberapa tahun lalu kasus Gayus Tambunan yang melakukan korupsi pajak senilai miliaran rupiah sempat menjadi perbincangan publik. Selanjutnya ditemukannya rekening gendut Dhana Widyatmika, staf kementerian keuangan bernilai puluhan miliar dan jauh dari batas kewajaran. Selain itu Transparency International Indonesia (TII) merilis data indeks persepsi korupsi atau corruption perception index (CPI) Indonesia dengan skor 40 dan posisi 85 dari 185 negara pada 2019. Penilaian CPI didasarkan pada skor 0 untuk sangat korup dan skor 100 sangat bersih. Dari angka tersebut sebenarnya Indonesia telah mengalami peningkatan skor dibandingkan tahun sebelumnya atau secara garis besar korupsi di Indonesia mengalami penurunan (Mashabi, 2020).
Dalam mewujudkan kesadaran membayar pajak, warganegara perlu mendapatkan kepastian bahwa mereka dilindungi dari praktik korupsi dan birokrasi yang tidak efisien. Sebuah studi di 30 negara maju dan berkembang menunjukkan bahwa terjadi korelasi positif antara kepatuhan pajak dengan rendahnya tingkat korupsi dan efisiensi birokrasi. Selama ini pemerintah telah mengupayakan langkah langkah konkret dalam menumbuhkan kesadaran pajak. Upaya yang dilakukan pemerintah untuk meningkatkan kesadaran pajak masyarakat, antara lain dengan memberikan transparansi penggunaan uang pajak yang dapat dilihat pada www.kemenkeu.go.id/alokasipajakmu.
Selain memberikan transparansi, Direktorat Jenderal Pajak juga melaksanakan Program inklusi kesadaran pajak. Program inklusi kesadaran pajak merupakan salah satu upaya Direktorat Jenderal Pajak untuk menambah dan meningkatkan kesadaran pajak kepada masyarakat khususnya calon pembayar/wajib pajak melalui penyisipan materi perpajakan di sekolah-sekolah mulai dari jenjang pendidikan paling rendah yaitu Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) sampai tingkat Perguruan Tinggi. Selain itu Direktorat Jenderal Pajak juga melakukan berbagai kampanye media sosial pemerintah dengan tagar #UangKita, penyuluhan rutin mengenai aturan perpajakan kepada masyarakat, serta mempermudah sistem pelaporan dan pembayaran pajak yang kini sudah bisa dilakukan secara online.
Segala upaya pemerintah ini tidak bisa berjalan tanpa adanya dukungan publik. Jangan sampai upaya yang dilakukan pemerintah menjadi sia-sia karena bertepuk sebelah tangan atau dengan kata lain diabaikan oleh berbagai pihak. Kepercayaan bukanlah sesuatu yang bisa terbentuk sehari dua hari. Pemerintah sudah berusaha memberikan transparansi penggunaan uang pajak dan menunjukkan kinerja yang baik kepada masyarakat, maka sudah sepatutnya kita sebagai masyarakat membuat keputusan untuk percaya kepada pemerintah dalam mengelola uang pajak sehingga kita juga memiliki kesadaran untuk membayar pajak yang kita wujudkan dalam bentuk kepatuhan formal dan material.