Mohon tunggu...
Andesna Nanda
Andesna Nanda Mohon Tunggu... Konsultan - You Are What You Read

Kolumnis di Kompas.com. Menyelesaikan S3 di Universitas Brawijaya

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Artikel Utama

Tidak Semua Orang Mampu Menjadi Inovator!

2 Oktober 2022   14:40 Diperbarui: 3 Oktober 2022   06:08 587
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi inovator. Sumber: pexels.com/Start Up Stock Photos

Inovasi, satu kata yang seksi dan sering diucapkan dalam berbagai macam konteks. Kuncinya adalah bagaimana kata ini mempunyai "dampak" terhadap masa depan.

Beberapa hari yang lalu sebelum tulisan ini dibuat, saya membaca berita bahwa Elon Musk dengan Tesla-nya berhasil menciptakan Optimus, sebuah Humanoid Robot. Saya tercengang karena ternyata ide-ide yang sebelumnya hanya bisa kita temukan di film Hollywood ternyata sudah di depan mata.

Banyak orang mampu mengucapkan, menuliskan, bahkan melontarkan kata ini dalam banyak objek dan kemudian memberikan label terhadap diri sendiri sebagai “innovator.”

Namun, dalam perjalanan karier profesional saya banyak menemui bahwa kata inovasi ini sering dimaknai terlalu sempit atau bahkan tidak tepat.

Ketika seseorang mampu mengeluarkan ide yang tidak biasa kemudian sepertinya terlihat berbeda, maka mendadak label inovasi dan atau innovator ini meluncur begitu saja.

Padahal, dalam perspektif yang lebih luas, inovasi dan innovator ini harusnya dilihat dalam spektrum yang lebih tajam.

Untuk memulainya, kita coba lihat dari definisi inovasi itu sendiri yaitu membarui produk atau jasa dengan menerapkan proses baru, memperkenalkan teknik baru, atau membangun ide-ide sukses untuk menciptakan nilai baru.

Persona yang mampu melakukan inovasi kerap disebut dengan inovator, atau orang yang mampu melakukan eksekusi terhadap ide-ide pembaruan tersebut dengan presisi dengan visi atau strategi entitas bisnis.

Photo by Matt Ridley on Unsplash   
Photo by Matt Ridley on Unsplash   

Kata kunci yang sering diabaikan adalah penerapan dan suksesnya ide-ide besar tersebut. Jadi, bukan hanya pengucapan di bibir namun eksekusinya tidak jalan atau seandainya berjalan bukan perubahan positif yang diperoleh alih-alih dampak negatif yang muncul.

Inovasi adalah tentang mengubah cara kita melakukan sesuatu saat ini. Seperti yang telah kita lihat, perubahan menimbulkan tantangan kognitif dan emosional.

Hal ini memaksa kita untuk berinovasi, tentunya jika inovasi ini tidak tepat maka dapat menciptakan emosi negatif, yang tidak efektif dan dapat menghentikan produktivitas itu sendiri.

Pertanyaan besarnya adalah apakah semua orang mampu menjadi inovator? Jawabannya adalah mampu. Namun, tidak semua mempunyai komitmen dan kapasitas yang cukup untuk menuju ke sana.

Dasar logikanya adalah komitmen jelas dibutuhkan untuk melakukan eksekusi ide-ide besar, tanpa komitmen maka ide-ide besar inovasi tersebut hanya akan menjadi ide-ide di atas presentasi powerpoint yang cantik namun tidak bisa dijalankan.

Kemudian kapasitas, yang sering terjadi adalah inovasi dijalankan hanya sebatas produk atau jasa baru, padahal jelas tidak sesempit itu.

Inovasi dapat dilakukan misalnya, dalam spektrum mengemas ulang lanskap industri dan atau proses bisnis, membuat ceruk pasar yang belum tersentuh, dan bahkan dalam titik tertentu adalah bagaimana menemukan keunggulan kompetitif baru.

Salah satu cara untuk mencapai kapasitas tersebut adalah pola pikir yang tepat mengenai esensi dari inovasi itu sendiri.

Photo by Alex Knight on Unsplash   
Photo by Alex Knight on Unsplash   

Hal ini dikarenakan inovasi membutuhkan lebih banyak kreativitas dan lebih banyak kemauan untuk mengambil risiko, oleh karena itu diperlukan pola pikir yang berbeda.

Pola pikir yang berbeda jelas menuntut sudut pandang terhadap suatu fenomena atau permasalahan yang berbeda pula.

Ada banyak cara untuk menjadi seorang inovator. Selain menghasilkan ide, kita dapat juga melihat dari sudut pengembangan dan implementasinya.

Atau kita bisa terlibat dalam mencari peluang atau masalah yang membutuhkan inovasi. Jadi, inovasi itu tidak hanya mencakup melakukan sesuatu yang baru, atau bekerja untuk membuat sesuatu yang lebih baik, dan dapat diterapkan pada strategi, kemampuan, produk, layanan, atau proses.

Namun demikian, terlepas dari cara kita, hasilnya adalah harus sesuatu yang memberikan kontribusi semacam nilai ekonomi atau sosial terhadap pekerjaan atau lingkungan sosial kita. Ada 3 cara yang dapat dilakukan untuk mempertajam kapasitas inovasi kita.

Mampu connecting the dots

Kemampuan ini bisa diasah dengan kerangka berpikir mulai dari bagaimana kita melihat data, kemudian mampu mengolahnya menjadi informasi, dan bagaimana kita bisa melihat “wisdom” dari titik-titik ini menjadi serangkaian titik-titik yang mempunyai dampak.

Yang sering terjadi adalah kapasitas kita terhenti di tahap data saja, tanpa kita mampu melihat pengetahuan dan bahkan wisdom yang tergambar di fenomena tersebut.

Kemampuan connecting the dots adalah salah satu kemampuan paling penting saat ini yang harus terus dilatih.

Keterbukaan terhadap kebaruan

Adalah memiliki kemampuan untuk melihat ide-ide yang pada awalnya tampak aneh atau berisiko. Saya sering dihadapkan dengan orang-orang yang terpaku dengan kejayaan masa lalu atau bahkan kegagalan masa lalu, tanpa mau belajar terbuka terhadap hal-hal baru.

Ini wajar, mengingat warisan budaya feodalisme yang kita terima selama lebih dari 350 tahun. Namun, kita harus bisa menyadari jaman sudah bergerak sangat cepat di luar imajinasi kita.

Ini tentang bagaimana tetap terbuka terhadap kemungkinan, bisa jadi satu ide yang terlihat konyol saat ini bisa menjadi disrupsi di masa depan.

Photo by Skye Studios on Unsplash   
Photo by Skye Studios on Unsplash   

Toleransi terhadap kompleksitas

Kemampuan untuk tetap terbuka dan waras, tanpa terjebak bias-bias logika yang muncul dari sejumlah besar informasi. Dengan toleransi ini maka kita dapat melihat masalah yang saling terkait dan kompleks.

Seringnya, kita malah terjebak dalam bias logika dan tingkat toleransi terhadap kompleksitas menjadi turun seiring dengan naiknya ego merasa benar sendiri.

Padahal, dalam inovasi tidak ada salah atau benar, yang ada hanyalah ketepatan proposisi, kecepatan eksekusi, dan seberapa jauh dampaknya di masa depan.

Terakhir, sebagai penutup, tidak semua orang memang terlahir menjadi inovator, tapi semua orang bisa menjadi inovator yang sukses membawa disrupsi dan perubahan yang positif.

Dengan catatan, dapat meningkatkan upaya mereka dengan mengembangkan keterampilan tertentu dan tetap membuka peluang untuk inovasi.

Salam Hangat

Referensi

Forbes

BBC

Mckinsey

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun