Pengalaman saya juga mengajarkan bahwa kita tidak perlu menunggu orang lain untuk menyadarkan kita akan hal-hal tersebut di atas.
Ada beberapa cara proaktif yang bisa kita lakukan untuk memahami dan mengubah paradigma kita dalam melihat ketidaksempurnaan diri kita.
Secara garis besarnya untuk mengubah paradigma ketidaksempurnaan menjadi kekuatan super kita harus mau melihat sudut pandang lain yaitu sudut pandang kompetensi.
Setiap orang memang betul diberikan bakat yang unik, tapi bakat hanya tinggal bakat ketika hal ini tidak bisa dikembangkan dan menjadi suatu kompetensi yang akhirnya kompetensi ini akan membawa kita ke titik tertinggi potensi sebagai manusia.
Jujur pada diri sendiri tentang diri sendiri
Secara logika, saya yakin kita tidak suka memikirkan kelemahan kita. Faktanya, kita mungkin begitu ahli menyembunyikan ketidaksempurnaan kita sehingga malah mendorong rasa tidak aman kita jauh ke dalam celah-celah alam bawah sadar kita.
Kita secara sadar pasti lebih memilih menolak orang yang akan memberikan kritik daripada orang yang memuji kita, benar begitu bukan?
Jadi, mari kita jawab pertanyaan besarnya apakah kita siap atau tidak untuk jujur dengan diri sendiri mengenai ketidaksempurnaan kita.
Apakah kita memilih untuk terus-menerus bersembunyi dalam bayangan ketidaksempurnaan dan berusaha terlihat sempurna di mata orang lain atau kita memilih untuk melihat sisi terang di seberang sana yang mempunyai fondasi kompetensi yang harus kita renungkan.
Proses perenungan yang tentunya tidak sebentar dan butuh waktu. Oleh karena itu, saya percaya dengan konsep bahwa kompetensi itu adalah bakat yang dilatih dan dikembangkan serta ditempa oleh permasalahan agar mampu membawa kita ke arah yang tepat.
Banyak orang justru tidak mau jujur dengan diri sendirinya bahwa memang kita tidak bisa menjadi juara di semua bidang. Alih-alih demikian, lebih baik kita mencari talenta terbaik kita dan kemudian kita proses talenta tersebut menjadi kompetensi handal di masa depan.
Mau berdamai dengan diri sendiri
Nah, ini yang saya rasa paling sulit kita lakukan. Sadar atau tidak sebenarnya perjalanan hidup kita dalam 24 jam adalah hasil berbagai “perang” dalam pengambilan keputusan yang terjadi di otak kita.