Fenomena Bias Atribusi
Kamu pernah merasa kesal karena surel kamu tidak mendapat respon yang diharapkan? Tapi saat kamu yang tidak membalas surel orang lain maka kamu merasa baik-baik saja?
Jika pernah, maka berhati-hatilah mungkin kamu terjebak dalam satu bias yang dalam ilmu Behavioral Economics disebut dengan Bias Atribusi.
Beberapa belas tahun yang lalu ketika saya masih di fase awal kehidupan dan mulai menapaki jenjang karir, saya banyak bertemu bias kognitif ini namun belum menyadari berbahayanya bias yang satu ini.
Sebelum kita masuk ke inti dari seperti apa bias atribusi ini, saya akan memberikan beberapa ilustrasi lagi agar lebih mudah memahami bias yang satu ini.
Misalnya, jika saya sebagai pemimpin tim tidak membalas pesan atau surel itu karena saya sibuk atau sedang mengerjakan hal lain.
Namun jika orang lain atau anggota tim saya yang melakukan hal tersebut maka saya menganggap bahwa mereka tidak menghargai saya.
Contoh lain, jika saya sebagai pemimpin datang terlambat ke kantor itu berarti artinya saya terjebak kemacetan atau ada hal lain yang di luar kontrol saya.
Namun jika orang lain atau anggota tim saya yang terlambat maka saya menganggap mereka tidak menghargai waktu dan tidak disiplin.
Nah, inilah ilustrasi dari Bias Atribusi, apakah kamu sebagai pemimpin sudah sadar mengenai ini? atau bahkan kamu terjebak dalam lingkaran bias ini tanpa berkesudahan?
Bias Atribusi ini sangat mudah kita temui, rasakan, dan bahkan kita sebagai pelakunya dalam kehidupan sehari-hari.
Dengan kata lain, dengan mudahnya kita menyalahkan orang lain tanpa mau melihat situasi yang menyebabkan orang tersebut melakukan hal itu. Tapi seandainya hal yang tidak mengenakkan tersebut terjadi kepada diri kita maka kita dengan entengnya menyalahkan situasi.
Bias Atribusi ini sangat berbahaya terutama bagi kamu yang berada di posisi pemimpin karena kamu akan menjadi buta terhadap kondisi tim kamu.
Dengan buta dengan kondisi dan permasalahan yang dihadapi tim kamu, maka kepemimpinan kamu akan tidak ada artinya lagi di mata mereka.
Kamu hanya akan dianggap sebagai bos, atasan, yang hanya mereka patuhi ketika ada pekerjaaan namun kamu tidak akan memperoleh respek dari mereka.
Bagaimana Cara Menghindarinya?
Saya harus mengakui bahwa sebenarnya Bias Atribusi ini memang sangat sulit dihindari oleh kita sebagaimana bias-bias kognitif lainnya.
Otak kita memang cenderung suka jalan pintas dan repotnya lagi kita sebagai pengendali otak kita sendiri juga malas untuk mengajak otak berlatih untuk menghindari bias-bias ini.
Secara naluriah kita pasti lebih nyaman menyalahkan kondisi dan orang lain tanpa mau mempertimbangkan faktor lain.
Namun demikian kita tetap harus berusaha mengurangi dan menghindarinya. Beberapa cara dapat dilakukan untuk meminimalisasi dampak dari Bias Atribusi ini terhadap kesehatan mental anggota tim dan juga diri sendiri.
1. Dalam setiap kondisi coba tempatkan diri kita di posisi orang lain
Tidak mudah memang selalu menempatkan diri di posisi orang lain, saya pribadi juga mengakui hal ini sulit karena tingkat ego yang berbeda dari setiap orang.
Ketika besaran ego kita melebihi gunung Everest maka saya yakin kita akan sangat sulit melakukan langkah pertama ini.
Langkah pertama ini menuntut compassion, pemahaman atas siapa diri kita sebenarnya.
Dengan berhasil menempatkan diri kita di posisi orang lain, maka setiap tingkah laku kita akan selalu bisa kita kontrol untuk tidak menyakiti orang lain.
Satu hal yang selalu saya ingat dari para mentor saya adalah ketika cermin sudah retak maka tetap akan retak seberapa pun besar usaha kita untuk memperbaikinya.
2. Secara jelas mengomunikasikan tujuan dan ekspektasi kita
Bias Atribusi ini sangat mudah muncul ketika dalam lingkungan yang tidak sehat secara komunikasi. Bias Atribusi ini akan tumbuh dengan cepat dalam lingkungan kerja, sosial, dan pribadi yang mengalami kebuntuan komunikasi.
Sehingga dengan membangun komunikasi dua arah yang baik maka Bias Atribusi ini akan dapat diminimalisasi.
Keterbukaan komunikasi juga akan membangun suasana egaliter dan cair sehingga kita akan saling mengenal dan membangun personal bounding yang kuat.
3. Meningkatkan Emotional Intelligence
Berbeda dengan Intellectual Intelligence yang secara genetis, Emotional Intelligence saat ini telah menjadi salah satu alat ukur kesiapan mental kita dalam menghadapi berbagai permasalahan.
Emotional Intelligence juga menjadi alternatif dari Intellectual Intelligence dalam menjadi alat analisis perilaku manusia.
Seseorang dikatakan mempunyai Emotional Intelligence yang tinggi ketika seseorang mampu memiliki kontrol penuh terhadap emosi diri dan dalam mengekspresikan emosi tersebut secara positif.
Dengan demikian, jika saya kaitkan dengan Bias Atribusi ini, maka dapat dihipotesiskan bahwa seseorang dengan Emotional Intelligence yang tinggi akan mampu melakukan kontrol atas semua ucapan dan perbuatan yang mungkin menyakiti orang lain.
Konklusi dari hal-hal tersebut di atas adalah Bias Atribusi ini nyata adanya dan sangat berbahaya tidak hanya bagi keseimbangan tim namun juga kesehatan mental kita dalam jangka panjang.
Dengan mewaspadai Bias Atribusi ini maka kita dapat melakukan hal-hal yang dapat menyeimbangkan emosi kita serta mencoba melihat dunia dari sisi yang berbeda.
Kapasitas melihat dunia dari sisi orang lain selain membantu menghindari bias ini juga akan membawa kita kepada kemampuan interpersonal yang sejati.
Salam saya
Referensi:
Libby, R., & Rennekamp, K. (2012). Selfserving attribution bias, overconfidence, and the issuance of management forecasts. Journal of Accounting Research
Harvard Business Review (2017), THE FUNDAMENTAL ATTRIBUTION ERROR: WHAT IT IS & HOW TO AVOID IT
Haggag, K., Pope, D. G., Bryant-Lees, K. B., & Bos, M. W. (2019). Attribution bias in consumer choice. The Review of Economic Studies
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H