Mohon tunggu...
Andesna Nanda
Andesna Nanda Mohon Tunggu... Konsultan - You Are What You Read

Kolumnis di Kompas.com. Menyelesaikan S3 di Universitas Brawijaya

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

Menyoal Strategi Bisnis yang Eksklusif

5 September 2021   16:58 Diperbarui: 28 Maret 2022   21:24 1150
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Eksklusifitas dalam bisnis | Foto oleh fauxels dari Pexels 

Pernah mendengar platform media sosial ClubHouse? tahun lalu di awal-awal pandemi platform ini sangat kekinian, saya termasuk yang pernah merasakan hype platform ini.

Kala itu banyak sekali orang yang membicarakannya di Twitter, Instagram, dan platform lainnya soal Clubhouse ini.

Banyak yang mengatakan inilah aplikasi sosial yang sangat cocok dengan era normal baru. Saya termasuk yang kala itu memercayainya.

Hype aplikasi ini waktu itu menurut saya adalah karena Clubhouse hanya bisa dijalankan melalui sistem operasi IOS di Apple.

Kemudian untuk masuk ke dalam aplikasi, kamu memerlukan undangan dari seseorang yang sudah lebih dulu bergabung untuk mengizinkan kamu login.

Jadi, rasanya menjadi eksklusif seperti misalnya kita menghadiri pesta ulang tahun atau pernikahan.

Strategi yang eksklusif ini yang membuat platform ini begitu happening dengan keberhasilan membawa ratusan ribu dan bahkan jutaan pengguna.

Platform ini berhasil memanfaatkan sifat dasar manusia yaitu sangat suka dieksklusifkan. Siapa sih yang tidak suka dieksklusifkan dan diperlakukan istimewa?

Kita semua sangat suka eksklusifitas, bukan?

Kita selalu suka diistimewakan dalam aspek apa pun tanpa terkecuali.

Nah, Clubhouse berhasil melihat sisi psikologis ini dengan tepat dan setidaknya berhasil menyodok masuk ke peta persaingan media sosial yang kala itu (sampai sekarang) juga masih dikuasai oleh aplikasi-aplikasi besutan Mark Zuckerberg.

Setahun kemudian, mereka booming dan berhasil mencapai ratusan juta dolar modal ventura yang ditanamkan di aplikasi tersebut.

Dan, di sekitar pertengahan Februari 2021, Clubhouse telah mencapai salah satu tonggak terbesar dengan mencapai 10 juta pengguna, sangat mengesankan untuk aplikasi sosial yang berusia kurang dari satu tahun.

Kemudian di pertengahan 2021 ini, Clubhouse memperluas ketersediaan platform mereka ke pengguna dan sistem operasi selain Apple.

Namun, di sinilah menurut saya letak kesalahan fatal Clubhouse yang membuat sensasi eksklusifitas yang awalnya menjadi kunci utama menjadi hilang.

Alasan Eksklusifitas Itu Penting

Sewaktu saya belajar strategi bisnis, ada satu premis dasar mengenai kesuksesan suatu strategi yaitu “orang menyukai apa yang membuat mereka berbeda.”

Premis ini kemudian menjadi dasar terpenting dalam turunan strategi bisnis ke strategi pemasaran.

Perusahaan-perusahaan menjadi berusaha mati-matian untuk mengembangkan merek dan produk mereka berbeda dengan kompetitornya.

Caranya bisa melalui skema harga, promosi produk, menunjuk brand ambassador, sampai dengan seperti yang dilakukan oleh Clubhouse, hanya memilih sistem operasi atau merek tertentu.

Saya memahami mungkin banyak juga praktisi bisnis yang memiliki pandangan yang berbeda mengenai eksklusifitas ini.

Bagi saya, meskipun mungkin tampak bertentangan dengan gagasan pertumbuhan, membuat produk "eksklusif" seringkali dapat menjadi pendorong penjualan yang efektif.

Clubhouse adalah bukti nyata hal tersebut.

Hal ini karena eksklusifitas bukan hanya tentang membangun "rasa" yang membedakan dengan merek lain, namun ini tentang bagaimana perusahaan menciptakan ceruk konsumen baru.

Mengasah dan memberikan citra merek yang berbeda adalah bagian penting dalam membangun citra perusahaan.

Dengan selektif tentang segmen mana saja yang dapat mengakses produk dan layanan perusahaan, maka perusahaan dapat melakukan kontrol atas cita rasa ini.

Pada akhirnya cita rasa ini yang akan membawa perusahaan menjadi unggul tanpa harus bersusah payah mencari samudra biru yang baru dan mahal dan belum tentu juga bertahan lama.

Hal Yang Harus Dilakukan Perusahaan

Untuk tetap bertahan dan memiliki daya tarik yang abadi maka perusahaan harus membangun citra eksklusif yang tepat sasaran.

Ada beberapa langkah yang bisa dilakukan untuk menciptakan citra tersebut sebagai berikut:

1. Menentukan Harga atau Sistem Operasi yang Tepat

Kita harus mau mengakui bahwa kita sering mengasosiasikan eksklusifitas dengan merek mewah.

Dengan membuat produk yang relatif sulit untuk diperoleh karena harga yang premium atau sistem operasi yang eksklusif seperti Clubhouse, produk tersebut akan menjadi sesuatu yang ingin dimiliki.

Saya ambil contoh dalam hal ini adalah Rolex, saya melihat katalog barang-barangnya saja sudah agak insecure.

Rolex adalah contoh sempurna langkah pertama ini, di mana nama besar Rolex ditopang oleh kekuatan merek dan daya tarik yang abadi.

Nah, kekuatan merek dan daya tarik abadi tersebut, dalam contoh Rolex, dibentuk oleh “cita rasa” harga yang premium dan tepat secara segmentasi konsumen.

Sama halnya dengan Clubhouse, cita rasa "eksklusif" berhasil disematkan dan dirasakan oleh para penggunanya karena hanya konsumen yang mempunyai smartphone merek Apple yang bisa merasakan.

Ditambah dengan sensasi hanya bisa login melalui undangan makin menambah cita rasa tersebut.

Namun demikian, langkah pertama ini harus dianalisis terlebih dahulu mengenai di segmen mana perusahaan bergerak.

Karena tanpa segmentasi yang tepat, langkah pertama ini hanya akan menjadi mercusuar perusahaan yang tidak akan menghasilkan apa pun.

2. Menciptakan Storytelling yang Berbeda

Storytelling yang kita gunakan saat mengundang konsumen untuk menjelajahi produk atau merek adalah hal mendasar.

Strategi kedua ini adalah untuk membangkitkan minat dan menginspirasi konsumen untuk mengambil tindakan yang berujung kepada pembelian.

Storytelling Clubhouse adalah memberikan "penawaran eksklusif" hanya kepada pengguna Apple untuk menimbulkan "kepanikan" karena tidak ingin tertinggal oleh tren kekinian.

Clubhouse berhasil membuat konsumen merasa bahwa mereka telah diundang ke dalam kelompok elit, dan bahwa mereka berada di antara teman-teman sosial mereka, ego mereka dimanjakan dengan rasa undangan pribadi yang eksklusif.

Cita rasa eksklusif | Foto oleh Armand Valendez dari Pexels 
Cita rasa eksklusif | Foto oleh Armand Valendez dari Pexels 

3. Menjaga Produk Tetap Berguna dan Relevan

Satu hal yang menurut saya membuat sensasi Clubhouse ini hilang adalah sewaktu pandemi kita banyak menghabiskan waktu di rumah.

Kemudian saat ini setelah kondisi mulai membaik, terutama di Indonesia, setelah kurva pandemi sedikit (kembali) melandai, kita mulai kembali beraktifitas secara normal.

Kita kembali bekerja, meeting, sekolah, dan aktifitas lainnya yang berangsur-angsur benar-benar akan memasuki era normal baru.

Nah, Clubhouse gagal melihat hal ini. Produk yang mereka luncurkan tidak bisa memberikan solusi yang dibutuhkan seperti platform media sosial lainnya yaitu masalah komunikasi.

Jumlah pengguna aktif harian di Clubhouse turun drastis setelah orang-orang mulai keluar dan kembali ke kehidupan normal mereka.

Hal ini mengajarkan bahwa kita harus bisa memperhitungkan apa saja elemen penting kesuksesan produk kita yang masih dan sudah tidak relevan lagi.

Apapun produk dan layanan perusahaan, jika tidak mampu dan tidak jeli melihat relevansi terhadap kondisi terkini maka produk dan layanan tersebut akan menjadi kuno serta ditinggalkan penggunanya.

Kesimpulan

Menggunakan strategi eksklusivitas akan dapat membantu perusahaan membangun basis konsumen yang setia dan tidak sabar menunggu kesempatan untuk merasakan produk baru yang tentu lebih (dan lebih) eksklusif lagi.

Ketika perusahaan selektif tentang produk dan layanan apa dan siapa saja konsumen yang bisa merasakan produk tersebut, maka hal itu akan mampu menciptakan rasa penasaran yang tinggi.

Semakin sedikit atau langka produk yang tersedia, malah membuat semakin menarik dan istimewa di mata konsumen.

Namun sekali lagi, semua itu harus kembali disesuaikan dengan segmentasi pasar tempat di mana perusahaan berkompetisi.

Terakhir, dengan kemampuan memberikan produk yang berbeda maka perusahaan akan mampu membantu konsumen merasa berbeda.

Ketika konsumen sudah merasa berbeda maka mereka akan bersedia membayar lebih. Dan ketika itu terjadi maka perusahaan sudah meletakkan diri ke titik di mana persaingan menjadi tidak relevan lagi.

Salam hangat saya

Andesna Nanda
Mahasiswa Program Doktor Universitas Brawijaya dan praktisi perencanaan strategis

Referensi

  1. Harvard Business Review/How Do You Grow a Premium Brand?
  2. Harvard Business Review/Your Whole Company Needs to Be Distinctive, Not Just Your Product
  3. Harvard Business Review/Want More Loyal Customers? Offer a Community, Not Rewards.
  4. Wikipedia/https://en.wikipedia.org/wiki/Clubhouse_(app)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun