Mohon tunggu...
Andesna Nanda
Andesna Nanda Mohon Tunggu... Konsultan - You Are What You Read

Kolumnis di Kompas.com. Menyelesaikan S3 di Universitas Brawijaya

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

Menyigi Peran Pengalaman Pelanggan di Masa Pandemi

1 Agustus 2021   18:54 Diperbarui: 2 Agustus 2021   01:27 456
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kedekatan hubungan bisnis | Foto oleh fauxels dari Pexels 

Semua industri, baik jasa atau barang pada umumnya menggantungkan harapan hidup kepada kedekatan hubungan dengan pelanggan. 

Ketika hubungan yang dekat dan hangat ini terbangun maka bonding dalam jangka panjang akan dapat diharapkan tercipta secara alamiah.

Kedekatan hubungan ini biasanya dapat dibangun dari siklus produk-produk baru atau produk yang sudah ada serta dilengkapi dengan pelayanan yang mumpuni dari perusahaan barang dan jasa itu sendiri. 

Gabungan dari dua hal tersebut sudah terbukti dapat menghasilkan arus pendapatan bisnis dalam jangka panjang. 

Pola-pola seperti ini kemudian terbangun bertahun-tahun baik di Indonesia atau negara-negara lain. 

Perusahaan-perusahaan tersebut berlomba-lomba menciptakan siklus pengalaman pelanggan dari berbagai touch points yang ada.

Pada Maret 2020 siklus ini sedikit mengalami disrupsi dengan adanya pandemi Covid-19 yang masih berkepanjangan. Pandemi yang benar-benar mengubah wajah seluruh industri. 

Usaha-usaha melalui cara-cara lama dalam memberikan pengalaman pelanggan menjadi tidak relevan lagi. 

Era normal baru telah memaksa dengan sangat keras dari pelaku dunia usaha untuk memikirkan ulang era pengalaman pelanggan yang baru pula.

Mengapa Memikirkan Ulang Era Baru Pengalaman Pelanggan Ini Penting?

Sebenarnya selama ini rata-rata semua perusahaan telah menjalankan dan mengadopsi visi customer centricity dalam operasional sehari-hari. 

Bahkan dalam dekade terakhir, minat pada konsep pengalaman pelanggan telah meningkat. Terutama setelah beberapa merek seperti Google, Netflix, IKEA, dan juga Starbucks menjadi merek yang kuat tidak hanya melalui bantuan kampanye dan iklan yang kreatif, tetapi lebih pada keberhasilan menciptakan pengalaman pelanggan yang menarik.

Suatu pengalaman pelanggan dapat dianggap sebagai hasil dari interaksi antara perusahaan dan pelanggan pada proses kognitif, emosional, perilaku, sensorik atas penawaran perusahaan dalam keseluruhan perjalanan keputusan pembelian.

Touch points pelanggan | Foto oleh Tim Douglas dari Pexels 
Touch points pelanggan | Foto oleh Tim Douglas dari Pexels 

Hal ini menjadi penting karena pengalaman pelanggan yang kuat dapat merupakan salah satu stimulus munculnya suatu hal yang disebut dengan loyalitas terhadap sebuah produk atau jasa.

Pengalaman pelanggan bukan sekedar pemberi identitas fisik dalam bentuk kemasan produk atau jasa yang menarik atau gedung kantor pusat yang megah. Namun juga menjadi intangible value yang dapat mempengaruhi persepsi dan emosi terhadap produk-produk tersebut.

Lantas Apa Yang Harus Dilakukan?

Secara empiris pengalaman pelanggan dapat dibentuk dari penggabungan pengalaman yang dialami oleh pelanggan yang terjadi di proses atau perjalanan pembelian pelanggan. 

Hubungan secara langsung ini biasanya dikarenakan adanya inisiatif dari pelanggan dan biasanya terjadi pada pembelian produk barang dan layanan yang sifatnya bukan daring.

Lantas bagaimana dengan kondisi seperti saat ini yang mengharuskan semuanya serba daring? 

Jawabannya adalah selain daring, pengalaman pelanggan bisa diciptakan melalui cara-cara melibatkan pelanggan secara rasional, emosional, sensorik, fisik, dan bahkan spiritual.

Misalnya dengan penciptaan objek dan kesan yang dirasakan oleh pelanggan secara langsung atau tidak langsung dengan perusahaan. 

Secara umum kontak langsung umumnya terjadi dalam proses pembelian, penggunaan, dan layanan. Hal-hal ini biasanya diinisiasi oleh kebutuhan pelanggan. 

Di sisi lain kontak tidak langsung paling sering melibatkan pertemuan yang tidak direncanakan seperti presentasi produk, layanan, atau merek perusahaan dan berupa rekomendasi atau kritik dari mulut ke mulut, iklan, laporan berita, review, dan lain sebagainya

Dengan cara-cara tersebut maka dapat dibangun ikatan emosional dan memberikan persepsi baru kepada pelanggan. 

Hal ini penting karena pelanggan secara naluriah akan membandingkan pengalamannya dalam menggunakan suatu produk atau jasa, positif atau sebaliknya, dengan yang mereka rasakan sebelumnya. 

Namun demikian ada sisi yang juga di luar kontrol perusahaan seperti misalnya persepsi pasar, kondisi persaingan sesama perusahaan, dan juga yang tidak kalah penting adalah situasi pribadi dan spiritual pelanggan.

Pengalaman pelanggan itu penting | Foto oleh Roberto Nickson dari Pexels 
Pengalaman pelanggan itu penting | Foto oleh Roberto Nickson dari Pexels 

Sebenarnya dengan berbagai kemudahan teknologi yang ada sekarang perusahaan-perusahan bisa mencoba untuk membayangkan seperti apa dan bagaimana perjalanan proses kognitif pelanggan dalam memutuskan suatu pembelian produk barang dan jasa.

Jika proses "membayangkan" ini tepat maka perusahaan akan bisa menemukan cara untuk meningkatkan pengalaman pelanggan. 

Secara otomatis membuat pelanggan (baik yang lama atau pelanggan baru) lebih mudah untuk berbisnis dengan perusahaan.

Metode ini bisa berjalan dengan baik memang lebih tepat untuk produk-produk Business to Consumer (B2C) alih-alih Business to Business (B2B). Namun bukan berarti tidak bisa bisa diterapkan kepada pelanggan B2B. 

Pengalaman pelanggan untuk pelanggan B2B memang mungkin sangat berbeda dibandingkan dengan penciptaan pengalaman pelanggan B2C.

Untuk pengalaman B2B yang lebih baik, dapat menggabungkan antara teknologi dan juga proses-proses yang dapat membuat transaksi lebih sederhana dan lebih menyenangkan. 

Di sisi lain, cara pertama dan fundamental untuk meningkatkan pengalaman pelanggan dalam konteks pelanggan B2C adalah dengan terlebih dahulu memahami secara seksama apa kebutuhan dan keinginan pelanggan.

Kebutuhan pelanggan adalah sesuatu yang sifatnya mendasar. Biasanya kebutuhan mendasar pelanggan fokus kepada "sandang, pangan, papan", itulah esensi kebutuhan. 

Perusahaan harus mampu memahami esensi ini jika ingin bertahan dan berkembang di era pasca Covid-19.

Lantas apa itu keinginan? Keinginan pelanggan biasanya sangat berhubungan dengan wish list yang mereka impikan. 

Bagi beberapa segmen bisa jadi merupakan kebutuhan dasar namun di segmen lain bisa saja menjadi baru sebatas keinginan.

Dengan premis tersebut maka perusahaan harus mampu memetakan dengan tepat perbedaan antara kebutuhan dan keinginan pelanggan. 

Ketika perusahaan mampu memetakan ini dengan tepat maka dapat ditindaklanjuti dengan program, produk, dan pelayanan yang sesuai dengan segmentasi berdasarkan kebutuhan dan keinginan pelanggan tersebut.

Berdasarkan pengalaman saya menciptakan strategi pengembangan bisnis yang berbasis pelanggan, beberapa langkah bisa dilakukan untuk menciptakan pengalaman pelanggan yang unik, menarik, dan inspiratif sebagai berikut:

1. Memetakan dengan tepat pengambil keputusan bagi pelanggan kunci yang menjadi sumber revenue utama bagi perusahaan

Hal ini penting agar perusahaan mengetahui siapa saja pengambil keputusan bagi para pelanggan kunci perusahaan. 

Dengan mengetahui ini, maka perusahaan akan dengan tepat memberikan program dan komunikasi kepada para pengambil keputusan tersebut. 

Hal ini dapat diperoleh dengan melakukan survei, focus group discussion, google analytics, atau komunikasi dan interaksi yang teratur dengan para pelanggan.

2. Memahami bagaimana keinginan dan kemampuan berinteraksi pelanggan

Hal ini penting untuk diketahui agar perusahaan memiliki basis pengetahuan tentang bagaimana sebenarnya pelanggan tersebut ingin berkomunikasi. 

Bagi beberapa pelanggan mungkin cukup dengan melalui surel dan telepon. Namun sebagian yang lain mungkin perlu sentuhan teknologi di kelompok yang lain bahkan perlu memberikan kustomisasi pelayanan. 

Ini semua sangat penting dipahami oleh perusahaan agar tidak salah dalam menentukan cara menciptakan pengalaman pelanggan.

3. Melakukan identifikasi pain points pelanggan

Selama ini ada paradigma bahwa memberikan customer centricity adalah bagaimana memberikan pelayanan yang maksimal dengan biaya yang besar. 

Visi pengalaman pelanggan melihat dengan sudut pandang yang berbeda dimana justru kita harus juga melihat pain points pelanggan dengan cermat agar kita bisa membenahi paint points tersebut.

Padahal sebenarnya melakukan peningkatan pengalaman pelanggan tidak harus rumit—dan dalam beberapa kasus, perubahan yang paling berharga mungkin adalah perubahan yang mungkin tidak disadari pelanggan bahwa mereka menginginkannya. 

Ini bisa sesederhana misalnya mengatur tata letak portal pelanggan sehingga informasi tentang layanan atau produk lebih mudah ditemukan.

Peningkatan pengalaman pelanggan secara sederhana lainnya dapat mencakup misalnya pembuatan aplikasi seluler, atau bekerja sama dengan saluran e-commerce yang akan mempermudah pelanggan melakukan transaksi dengan perusahaan.

Semua langkah-langkah dapat dilakukan oleh perusahaan tanpa perlu biaya besar. Ketika langkah-langkah tersebut dijalankan dengan tepat walaupun pasti ada investasi yang dibutuhkan, namun perusahaan dapat mengharapkan return of investment yang sesuai.

Kesimpulan

Penciptaan pengalaman pelanggan yang lebih baik adalah suatu game changer bagi perusahaan untuk menghadapi era post Covid-19. 

Pelanggan akan lebih selektif dalam memilih dan memilah kebutuhan dan keinginan mereka dikarenakan krisis kesehatan yang sedang kita alami saat ini sedang menuju (semoga tidak terjadi) ke arah krisis ekonomi.

Perusahaan perlu untuk memikirkan ulang strategi dan cara-cara pelayanan pelanggan dengan tidak hanya lagi menunggu bola dan datangnya keluhan, tapi juga harus melakukan strategi menjemput bola dalam bentuk penciptaan pengalaman pelanggan yang lebih baik dibandingkan perusahaan kompetitor.

Penciptaan pengalaman pelanggan dapat dimulai dengan melakukan perbaikan-perbaikan di semua titik perjalanan kognitif pelanggan. 

Kemudian melakukan pengumpulan data-data mengenai kebutuhan dan keinginan, serta menentukan produk dan segmentasi secara tepat dan terukur.

Dengan menciptakan pengalaman pelanggan yang lebih baik maka perusahaan akan mempunyai kesempatan bersaing lebih kompetitif dan di saat bersamaan membangun loyalitas tanpa batas kepada merek dan produk perusahaan.

Salam Hangat

Andesna Nanda
Kandidat Doktor Bidang Perilaku Konsumen, Universitas Brawijaya
Praktisi Perencanaan Strategis dan Analisa Bisnis

Sumber:

  1. Harvard Business Review/Understanding Customer Experience by Andre Schwager and Chris Meyer
  2. Harvard Business Review/4 Strategies to Simplify the Customer Journey by Richard L. Gruner
  3. Harvard Business Review/The Truth About Customer Experience by Alex Rawson, Ewan Duncan, and Conor Jones
  4. Gentile, C., Spiller, N., & Noci, G. (2007). How to sustain the customer experience: An overview of experience components that co-create value with the customer. European management journal

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun