Mohon tunggu...
Andesna Nanda
Andesna Nanda Mohon Tunggu... Konsultan - You Are What You Read

Kolumnis di Kompas.com. Menyelesaikan S3 di Universitas Brawijaya

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Pemimpin yang Baik Versus Optimisme Palsu

29 Juli 2021   16:51 Diperbarui: 30 Juli 2021   09:35 916
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Butuh (toxic) positivity | Foto oleh Andrea Piacquadio dari Pexels 

"Tidak apa-apa, wajar kamu masih belajar."

"Berusaha lagi ya, masih ada waktu."

"Yes, kamu pasti bisa achieve target!"

"Sudah kita usaha lagi bulan depan."

Pernahkah kamu sebagai pemimpin mengucapkan kalimat-kalimat di atas ketika tim kamu tidak berhasil mencapai target atau gagal memenuhi tenggat waktu yang sudah disepakati?

Kalau kamu selalu mengucapkan kalimat-kalimat di atas ketika kondisi tim kamu gagal mencapai target maka ada kemungkinan kamu terjebak suatu kondisi yang dikenal sebagai false optimism atau optimisme palsu alias toxic positivity.

Tapi wajar bukan sebagai pemimpin memberikan semangat yang positif kepada anggota tim? Sangat wajar dan memang itu adalah salah satu tugas pemimpin.

Namun menjadi suatu permasalahan ketika kita sebagai pemimpin terlalu sering memaklumi suatu kegagalan dari daftar tugas yang sudah kita tetapkan bersama dengan anggota tim.

Apalagi dalam masa-masa yang pandemi seperti saat ini banyak pemimpin yang "dituntut" untuk memberikan rasa positif kepada anggota tim.

Saya tidak mengatakan bahwa hal ini salah atau benar. Sudut pandang saya lebih pada sisi apakah hal ini tepat atau tidak.

Di satu sisi memberikan semangat atau emosi positif dalam kondisi gagal mencapai target jelas diperlukan namun di sisi lain hal tersebut akan membuat anggota tim kita tidak mengetahui apa yang harus ditingkatkan.

Mengapa Seorang Pemimpin Jangan Sampai Menyebarkan Optimisme Palsu?

Sebenarnya berlebihan dalam memberikan emosi positif atau optimisme palsu bukanlah hal baru.

Di era digital dan sosial media saat ini dengan mudah kita menemukan contoh-contoh optimisme palsu bertebaran di setiap media sosial.

Media sosial tentunya memberikan bridging yang sangat besar terhadap tumbuh suburnya permasalahan mental ini.

Dengan mudahnya kita menemukan konten-konten dalam bentuk teks ataupun media lain yang membuat seolah-olah emosi negatif itu tidak lagi penting.

Optimisme palsu adalah racun yang sangat berbahaya tidak hanya bagi si pemimpin itu sendiri namun juga kepada anggota timnya. 

Fatamorgana ini memberikan keyakinan bahwa setiap orang termasuk diri kita sebagai pemimpin harus selalu memberikan aura dan spektrum positif.

Bahkan optimisme tetap harus ada di tengah-tengah kegagalan tragis pencapaian target. Optimisme tetap harus ada walaupun semua rencana gagal total.

Pemimpin yang seperti ini akan selalu memaksakan rasa optimisme yang dangkal dan berpikir semua baik-baik saja walaupun kenyataan di lapangan sangat berbeda.

Terkadang emosi negatif itu diperlukan | Foto oleh Andrea Piacquadio dari Pexels 
Terkadang emosi negatif itu diperlukan | Foto oleh Andrea Piacquadio dari Pexels 

Hal ini tentunya tidak tepat dilakukan oleh seorang pemimpin. Ketika situasi pencapaian target tidak tercapai harusnya selalu ada evaluasi dan bukan memaksakan selalu ceria, selalu positif, selalu sukses, dan seakan-akan semua terkendali.

Saya pribadi juga pernah memberikan optimisme palsu kepada anggota tim saya dengan dalih agar mentalnya tidak down.

Namun seiring waktu saya sadar sebenarnya cara itu tidak tepat. Anggota tim saya menjadi tidak tahu di mana titik perbaikan diri yang bisa dilakukan.

Nah, ini yang berbahaya ketika kita tidak sadar dengan kondisi sebenarnya maka kita tidak tahu apa yang harus diperbaiki. Ketika hal ini terjadi maka bisa jadi kita juga tidak sadar telah ketinggalan kereta perubahan.

Bagaimana Cara Agar Seorang Pemimpin Tidak Memberikan Optimisme Palsu?

Seperti yang saya katakan di atas bahwa toxic positivity atau optimisme palsu itu bukan hal baru. Setiap hari dan setiap saat otak kita memang sudah terdoktrin untuk berpikir optimis.

Saya pikir kebanyakan dari kita sudah terbiasa melihat, mendengar, dan membaca satu kalimat sakti yaitu "berpikir positif". Padahal dengan hanya berpikir positif tanpa tindakan maka tidak akan ada yang berubah.

Saya masih ingat tahun lalu seorang kolega saya yang kebetulan seorang pemimpin di tempat kerjanya mengatakan "virus corona itu hanya flu biasa. Semua akan baik-baik saja." 

Untungnya saya sudah (sedikit) berhasil membebaskan otak saya dari optimisme palsu. Jadi ketika saya mendengar perkataan kolega saya tersebut saya tidak terjebak dengan suatu hal yang disebut dengan positiveness absurdity.

Rasa optimis yang absurd dan tidak pada tempatnya. Saya lebih memilih untuk tetap kecewa daripada mengabaikan fakta yang jelas terjadi karena campuran rasa takut dan optimisme. 

Kebanyakan dari kita kemudian membungkusnya dibalik keindahan berpikir positif yang membuaikan dan akhirnya menyesatkan logika kita.

Memilih untuk tetap kecewa | Foto oleh Andrea Piacquadio dari Pexels 
Memilih untuk tetap kecewa | Foto oleh Andrea Piacquadio dari Pexels 

Berdasarkan pengamatan dan pengalaman saya terhadap para pemimpin luar biasa yang saya temui sepanjang perjalanan profesional saya, ada beberapa hal yang bisa dilakukan untuk menghindari memberikan optimisme palsu.

1. Berani melakukan analisis kelemahan diri sendiri dan anggota tim

Ini adalah langkah pertama dan fundamental untuk mengatasi toxic positivity atau optimisme palsu. Dikritik atasan atau bahkan rekan kerja seharusnya bukan penghambat kita.

Kritikan tersebut juga tidak harus selalu dibarengi dengan permintaan solusi kepada orang yang mengkritik.

"Ah, si bos bisanya kritik aja, mana ada solusi."

Dengan atasan kita memberi kritik saja itu sudah merupakan hal yang baik untuk kita. Dengan demikian kita jadi tahu blind side kita.

Demikian juga ketika kita sebagai pemimpin memberikan kritik kepada anggota kita tentunya harus dengan paradigma bahwa kritikan itu akan memberikan dorongan untuk lebih baik.

Yang sering terjadi adalah ketegangan antara pemimpin dan anggota tim karena kedua belah pihak tidak selalu bisa menerima emosi negatif tersebut.

Akhirnya kita sebagai pemimpin biasanya memaklumi kegagalan kinerja dengan dalih untuk menghindari ketegangan tersebut.

Padahal berdasarkan pengalaman saya hal tersebut dalam jangka panjang akan menjadi api dalam sekam untuk kinerja kedua belah pihak.

2. Jadilah pemimpin di tempat kerja, bukan hanya teman

Saya tahu ini mungkin berbeda dengan ajaran-ajaran buku-buku manajemen yang memenuhi rak-rak buku mulai dari kampus sampai toko-toko buku besar.

Maksud langkah kedua ini adalah jika di tempat kerja usahakan jadi pemimpin yang sebenarnya. Pemimpin yang mampu memberikan evaluasi dan koreksi yang diperlukan.

Saya banyak menemui dan pernah juga mengalami suatu kondisi di mana mempunyai atasan yang enak diajak kerja tapi tidak enak dijadikan teman atau sebaliknya.

Kondisi tersebut membuat saya berpikir bahwa dalam konteks kepemimpinan maka sebaiknya lakukan secara profesional dan melepaskan diri dari rasa ewuh pakewuh.

Artinya memberikan apresiasi yang tulus ketika target yang diberikan tercapai dan sebaliknya. Langkah kedua ini akan membantu kita terbebas dari "kewajiban" memberikan optimisme yang palsu.

3. Ambil keputusan berdasarkan fakta dan data

Langkah ketiga dan seringnya diabaikan oleh para pemimpin. Saya termasuk yang sering mengambil keputusan berdasarkan emosi alih-alih fakta dan data.

Walaupun saat ini sudah saya kurangi sekali proses pengambilan keputusan berdasarkan emosi. Namun tetap saja ketika suatu hubungan antara pemimpin dan anggota tim sudah erat sulit sekali mengambil keputusan data dan fakta.

Data dan fakta yang menyebutkan bahwa anggota tim kita tidak mencapai target yang telah disepakati. Data dan fakta yang menyebutkan anggota tim kita tidak memenuhi tenggat waktu.

Semua data dan dan fakta tersebut sering kita abaikan karena poin 2 di atas yaitu kita lebih memilih menjadi teman dari pada menjadi pemimpin yang seutuhnya.

Menjadi teman memang lebih mudah dan berisiko rendah terhadap terjadinya ketegangan di dalam tim. Namun pilihan ini juga merupakan pedang bermata dua.

Ketika kita sebagai pemimpin gagal melihat data dan fakta maka di titik itulah kita juga gagal mengembangkan kemampuan anggota tim.

ketika kita gagal mengembangkan anggota tim maka gagal juga tugas utama sebagai seorang pemimpin.

Kesimpulan

Dalam hidup memang perlu untuk memiliki pandangan positif. Tetapi hanya percaya kepada sudut pandang positif tidak akan pernah bisa membuat kita mencapai tujuan.

Pada kenyataannya hidup itu seperti lintasan bola, kadang lurus tapi kadang melengkung. Keberanian untuk jujur dalam melihat kondisi sebenarnya adalah keberanian yang sejati.

Keberanian untuk memutuskan berdasarkan fakta akan membuat kita bertanggung jawab penuh atas tindakan kita.

Terakhir, cobalah untuk tidak bersembunyi dalam kepompong optimisme yang palsu dan membuka mata dan hati kepada jati diri yang sebenar-benarnya.

Salam hangat

Sumber:

1. Patrick Lencioni/The Five Dysfunctions of a Team: A Leadership Fable

2. Vasundhara Sawhney/Harvard Business Review/It’s Okay to Not Be Okay

3. How Toxic Positivity Leads to More Suffering /Mahmoud Khedr /TEDxMenloCollege

4. Heidi Grant/Harvard Business Review/Be an Optimist Without Being a Fool

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun