Pernahkah kamu sedang berbelanja di minimarket kesayangan kamu dan kemudian kamu melihat ada telur dengan label omega 3 dan kamu langsung memasukkan ke dalam keranjang belanja kamu?
Padahal kamu tidak tahu apa itu omega 3 dan apakah benar telur tersebut mengandung omega 3 atau tidak. Tambahan, kamu juga tidak tahu apa manfaat omega 3 itu, pernah?
Atau pernahkah kamu membeli suatu barang karena "desakan" lingkaran sosial kamu? Padahal kamu tidak butuh dan tidak tahu mengenai barang itu. Kamu hanya diberi tahu temanmu barang itu "cukup baik", pernah?
Contoh lain misalnya, kamu sedang belanja daring untuk menu sarapan sehat. Setelah scrolling up and down, kamu menemukan banyak sekali merek sereal.
Masalahnya, kamu tidak mungkin untuk meneliti setiap merek sereal dan membandingkan informasi nutrisi untuk menemukan yang paling sehat, bukan?
Membandingkan bahan-bahan antara dua sereal saja sudah cukup melelahkan, apalagi mencoba membandingkan puluhan. Kamu pasti tidak punya waktu.
Sebaliknya, otak kamu mungkin akan mengasosiasikan "sehat" dengan bahan seperti 100% gandum, kemudian kamu cari sereal yang bertuliskan, "100% Gandum Utuh'" dan memasukkan ke dalam keranjang kamu.
Tanpa kamu sadari otak kamu menemukan sesuatu yang memenuhi kriteria "sehat" dalam pikiran, memilihnya, dan melanjutkannya, tanpa mengetahui apakah itu benar-benar pilihan terbaik, pernah?
Saya pernah. Begini ceritanya, kebetulan saya sedang mencari laptop untuk sekolah online anak saya. Maka pergilah saya ke salah satu toko besar yang menjual laptop.
Di tempat tersebut saya menghabiskan dua jam hanya untuk meneliti model terbaik yang tersedia. Setelah membandingkan harga dan fitur, saya mempunyai tiga opsi yang saya anggap cocok untuk apa yang saya cari saat ini.
Kemudian datanglah mas-mas yang siap membantu saya memilih laptop yang terbaik dari 3 opsi tersebut. Nah, si mas ini memilihkan saya laptop yang lebih rendah harganya dari pilihan asli saya.