Selama beberapa tahun terakhir, kita selalu ditekankan mengenai perlunya pendekatan kepemimpinan yang kualitatif dan cerdas secara emosional. Hal tersebut memang baik dan sesuai dengan pemikiran-pemikiran budaya timur seperti di Indonesia.Â
Namun demikian, kita tetap tidak bisa begitu saja meninggalkan pendekatan otak kiri, yaitu berpikir kritis. Butuh cara-cara untuk meningkatkan kemampuan berpikir kritis, terutama bagi pemimpin.
Ketika saya masih di kuliah dulu, salah satu dosen saya pernah berkata, "Tidak ada yang mengharapkan kamu untuk mengetahui semua informasi dan semua hal di dunia ini."
"Yang sebenarnya diharapkan dari kamu adalah mampu berpikir, menjalin relasi dan mengevaluasi secara kritis informasi yang kamu miliki."
Perkataan yang sampai sekarang masih terngiang di otak saya. Analogi yang sama dengan mengulangi seluruh buku tidak akan memberi kita sesuatu yang baru. Kecuali, kita mau berpikir lebih kritis mengenai isi buku tersebut.
Apa yang dosen saya katakan tersebut adalah bagian integral tentang berpikir kritis. Begitulah cara dunia nyata bekerja, semua informasi sudah tersedia. Tugas kita adalah menyaring, mengolah dan memanfaatkan informasi tersebut.
Ironisnya, hal tersebut sering berjalan terbalik. Kita bukannya menyaring, mengolah dan memanfaatkan informasi tersebut, kita malahan terjebak di dalamnya tanpa tahu informasi tersebut benar atau tidak.
Lantas apa hubungan antara kepemimpinan dan berpikir kritis?Â
Jawabannya adalah seiring dengan meningkatnya kompleksitas dunia, karena banyaknya informasi, kemajuan teknologi, dan pergeseran perspektif, suka atau tidak suka kita membutuhkan pemimpin yang pemikir kritis tapi tetap fleksibel.
Mari kita urai satu persatu benang merah tersebut.Â
Apa Itu Berpikir Kritis?