Menjadi jelas bukan kenapa di media sosial selalu ada "minta testimoni-nya dong kak". Karena secara psikologis, kita pasti meminta pendapat orang lain sebelum melakukan pembelian.
Penjelasan di atas menggambarkan betapa sulitnya kita menghindari social proof dalam aktivitas sehari-hari. Apalagi saat ini dengan media sosial yang sangat mendominasi hidup kita.
Otak menjadi penuh akan informasi. Kita menjadi mudah terpengaruh dan mempengaruhi orang lain. Keputusan-keputusan yang diambil menjadi rentan terjebak dalam bias kognitif.
Kita menjadi rentan melakukan pembelian impulsif yang bahkan kita sendiri tidak perlu produk tersebut.Â
Dalam sudut pandang negatif misalnya, jika kita tidak bisa menghindari dan meminimalisasi social proof ini maka kita bisa terjebak mencoba produk-produk yang merusak kesehatan. Misalnya, narkoba.
Tentu sangat disayangkan sekali bukan generasi penerus di masa kini sangat rentan dengan social proof ini. Mereka berlomba-lomba meniru dan melakukan hal-hal yang mereka sangka itu baik. Padahal malah membawa pengaruh buruk.
Lantas apa saja yang membuat kita terpengaruh social proof ini?Â
Berdasarkan pengalaman saya, setidaknya ada beberapa hal yang bisa membuat kita terpengaruh social proof sebagai berikut:
1. Melihat panutan kita
Secara spontan, kita lebih cenderung mencari masukan dari orang yang kita anggap expert. Apalagi jika kita dalam kondisi yang kita sendiri belum pernah melakukannya.Â
Ini adalah prinsip penting social proof, di mana mereka yang memiliki lebih banyak pengetahuan tentang suatu situasi dapat memimpin reaksi.