Mohon tunggu...
Andesna Nanda
Andesna Nanda Mohon Tunggu... Konsultan - You Are What You Read

Kolumnis di Kompas.com. Menyelesaikan S3 di Universitas Brawijaya

Selanjutnya

Tutup

Worklife Pilihan

Mengapa Kita Rentan Berubah Menjadi Karyawan Toksik?

24 Mei 2021   08:58 Diperbarui: 24 Mei 2021   09:24 721
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Telur dalam satu wadah. Sumber: Foto oleh Daniel Reche dari Pexels

Bayangkan kita sedang membuat kue untuk acara yang sangat spesial. Kita pasti memastikan semua bahan berkualitas tinggi - mulai dari tepung organik sampai dengan telur terbaik.

Ternyata salah satu telur kita pecah. Kita memperhatikan baunya yang kurang enak alias agak busuk, tetapi memutuskan untuk tetap menggunakannya.

Kira-kira apa yang akan terjadi? Ah, emang perbedaan apa yang bisa dibuat oleh satu telur? Pikir kita begitu.

Kemudian kita pun sudah mengikuti saran resep kue tersebut dengan presisi dan sesuai yang disarankan.

Dengan sabar, kita membiarkan kue masak dengan tepat dan kemudian mengemasnya dengan cetakan yang sempurna. Voila! Kue kita pun telah siap disajikan.

Jadi, bagaimana rasa kue kita? Akankah itu tetap enak dan lezat? Tentu tidak. Pasti berantakan rasanya. 

Karena satu telur yang agak buruk tadi akan merusak rasa kue yang dieksekusi dengan sempurna.

Nah, analogi yang sama seperti di contoh yang saya berikan, dalam dunia bisnis, satu telur yang buruk dapat berdampak pada kesejahteraan perusahaan secara keseluruhan.

Satu telur agak buruk inilah yang disebut dengan karyawan Toksik.

Siapa Itu Karyawan Toksik?

Saya ingin memulai dengan satu premis utama mengenai permasalahan utama dengan karyawan toksik ini, adalah mereka tidak tahu dan tidak mau tahu fakta bahwa mereka itu toksik. Seorang karyawan toksik jelas harus diwaspadai karena seringkali akan terlibat dalam perilaku yang berbahaya bagi organisasi. 

Termasuk di dalamnya membahayakan kerahasiaan data, properti atau bahkan karyawan lainnya. Beberapa bentuk perilaku berbahaya bersifat terbuka, misalnya karyawan toksik ini menyalahgunakan sumber daya perusahaan atau terlibat dalam perilaku yang akan menyebabkan perusahaan dalam posisi yang tidak menguntungkan, terutama di mata konsumen.

Itu semua merupakan karyawan toksik yang sifatnya terbuka. Dalam artian kita bisa dengan jelas melihatnya. Namun ada jenis perilaku lain, yang saya sebut sebagai "karyawan toksik yang tidak kentara", yang juga dapat merugikan perusahaan.

Siapakah dia? Dia adalah rekan satu tim yang selalu mengeluh tentang beban kerjanya atau karyawan yang pola kerjanya tidak terorganisir, sangat berantakan dalam pekerjaan dan tidak profesional. Ironisnya karyawan toksik semacam inilah yang terlalu sering merepotkan rekan-rekannya.

Dalam behavioral science, karyawan toksik semacam ini kita sebut dengan subtle misbehavior.

Pengaruh Negatif Subtle Misbehavior

Pertanyaannya pasti akan muncul: Dimana pengaruhnya? Dia cuma sering mengeluh. Dia cuma berantakan kerjanya. Tidak masalah, kami siap mendukung. Kita bisa tolerir. Begitu biasanya rata-rata kesimpulan yang sering saya lihat.

Biasanya respon seperti itu jika karyawan toksik tersebut posisinya lebih senior. Tapi terkadang ada juga yang sebaliknya.

Jadi apa pengaruhnya? Begini, Vincenzo, yang ingin saya katakan adalah, semakin sering seorang karyawan yang cemerlang terpapar radiasi negatif dari subtle misbehavior ini dapat menyebabkan karyawan cemerlang tersebut menjadi toksik juga. 

Karyawan yang tadinya potensial dan cemerlang, bisa menjadi subtle misbehavior yang berikutnya. Karena setiap hari terpapar oleh ocehan, keluhan dan hasil kerja yang berantakan dari subtle misbehavior ini.

Seperti cerita saya di awal, satu telur jelek bisa merusak kue yang sudah kita eksekusi dengan sempurna.

Jelas bukan? Subtle misbehavior ini tidak terlihat, dia bersembunyi antara sinar terang karyawan-karyawan lain yang potensial.

Namun subtle misbehavior ini adalah telur yang jelek, bom waktu. Sehingga sangat penting untuk para leader segera mengidentifikasi subtle misbehavior ini.

Kerjasama. Sumber: Foto oleh fauxels dari Pexels
Kerjasama. Sumber: Foto oleh fauxels dari Pexels
Apa Saja Tanda-Tanda Yang Bisa Kita Kenali Dari Subtle Misbehavior ini?

Berdasarkan pengalaman saya selama ini, ada beberapa gejala yang bisa kita lihat dari subtle misbehavior ini:

1. Gemar Rumor dan drama: Subtle misbehavior adalah teman terbaik kita saat makan siang, karena memang secara naluriah otak kita senang dengan hal-hal yang berbau rumor dan drama. "Si anu kemarin begini", "Si ono kemaren kayaknya begono". Berita buruknya adalah terlalu lama kita terpapar subtle misbehavior yang bergejala seperti ini, maka otak kita akan berbelok ke bias kognitif.

2. Senang Mengeluh: Tiada hari tanpa keluhan. Ada saja yang dikeluhkan. Kita mungkin awalnya berpikir mengeluh itu wajar, namanya juga manusia tidak pernah puas. Tapi sebenarnya, tanpa kita sadari dengan mendengarkan keluhan setiap hari maka suatu saat kita akan terbawa ikut mengeluh.

3. Tidak Profesional: Sering melewatkan deadline. Ini adalah gejala yang sering saya lihat dan sering diabaikan oleh rekan kerjanya. Saking sudah seringnya. Nah, padahal dengan melewatkan deadline, hasil kerja seluruh tim akan terlihat buruk di mata atasan ataupun klien.

4. Merasa Paling Tahu: Nah, ini gejala yang paling terlihat. Ironisnya, gejala ini malah sering dianggap sebagai potensi. Terlalu percaya diri dalam pengetahuan atau kemampuannya, orang ini biasanya meremehkan pendapat dan ide yang bertentangan dengan dirinya sendiri dan menolak untuk bekerjasama demi ego pribadinya. Hal ini akan menimbulkan perpecahan di dalam tim dan akhirnya tim akan bubar karena semua orang merasa sudah muak.

5. Merasa Bisa Mengerjakan Semua Pekerjaan. He thought he is the Superman. Orang ini berusaha mengerjakan semuanya dan menolak untuk mendelegasikan tugas. Ujungnya mereka akan mengeluh, mempertanyakan alasan mereka terus-menerus kewalahan dengan beban kerja mereka. "Lah, kan kamu sendiri yang mau, gimana sih".

Lima gejala diatas merupakan gejala Subtle Misbehavior yang sering saya jumpai. Bukan hanya di tempat kerja, namun juga di circle sosial kita sehari-hari. Terkadang yang bersangkutan bisa jadi adalah rekan peer kita, atasan kita, anggota tim kita atau bahkan rekan driving kita.

Kita harus menerima kenyataan bahwa subtle misbehavior ini ada dan bisa jadi itu adalah diri kita sendiri. 

Dengan mengetahui 5 gejala tersebut, kita bisa menjadi lebih aware terhadap subtle misbehavior ini dan tidak terjebak menjadi subtle misbehavior yang berikutnya.

Ilustrasi Konflik. Sumber: Foto oleh Tamara Gak di Unsplash
Ilustrasi Konflik. Sumber: Foto oleh Tamara Gak di Unsplash
Bagaimana Cara Terhindar Dari Subtle Misbehavior?

Saya pernah dalam situasi yang tidak mengenakkan terkait dengan karyawan toksik dengan subtle misbehavior ini. Ada beberapa langkah yang bisa saya rekomendasikan jika kita terjebak dalam situasi ini.

1. Percaya dengan intuisi kita: Kalau kita merasa sudah tidak enak, kita merasa situasinya sudah tidak benar, maka cobalah suarakan hal tersebut ke atasan atau ke bagian yang memang menangani permasalahan yang terkait dengan karyawan. Tidak perlu menunggu bukti atau malah kita sendiri yang berubah menjadi toksik untuk bersuara.

2. Ceritakan situasinya ke orang yang kita percaya: Tujuannya adalah untuk memberi perspektif baru terhadap hal yang kita rasakan. Terkadang otak kita sulit berpikir jernih. Maka itu perlu ada outsider perspective disini. Namun hati-hati, jangan sampai malah kita yang menimbulkan rumor dan drama. Kuncinya adalah kejernihan hati.

3. Buatlah ekspektasi yang wajar: Tujuannya adalah agar kita tidak kecewa karena kita sudah terlanjur berharap pada si A, Si B, Si C, untuk membantu kita dalam pekerjaan. Bersikap profesional menjadi jalan terbaik.

Sulit memang. Tapi kita harus berusaha mencoba agar otak dan hati kita tetap waras. Kita harus berjuang agar kecemerlangan dan potensi kita tidak terjatuh dalam toksik.

Kesimpulan

Masalah karyawan toksik sebenarnya bukanlah karena personal, tetapi lebih karena mereka menyebarkan perilaku mereka kepada orang lain. 

Ini yang berbahaya. Kita butuh lingkungan kerja yang sehat dan positif. Tidak boleh ada ruang bagi orang-orang yang menyebarkan pengaruh negatif di dalamnya. 

Ingat, satu telur yang buruk bisa mempengaruhi keseluruhan kue yang kita buat. 

Terakhir, kita bisa bekerja di lingkungan kerja yang sehat dan positif adalah merupakan rezeki. Namun dengan kita menolak untuk berubah menjadi karyawan toksik adalah satu bentuk perjuangan untuk masa depan.

Salam Hangat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun