Pernahkah kamu saat sedang antri di mini market atau supermarket besar kemudian melihat pajangan permen dan coklat yang lucu dan menarik di dekat kasir. Lantas muncul rasa tertarik untuk membeli dan secara sadar atau tidak sadar memasukkan permen dan coklat itu ke keranjang belanja?
Padahal sebelumnya sewaktu proses belanjanya, kamu sama sekali tidak tertarik dan cenderung menghindari.Â
Saya pernah. Padahal saya memang tidak ada niat membeli coklat ataupun permen sewaktu proses berbelanja. Tapi, begitu saya sampai di depan kasir, saya melihat banyak pilihan coklat dan entah kenapa saya memasukkan coklat itu ke keranjang belanja.
Mengapa kita akhirnya membeli? Mengapa kita cenderung mampu menghindari godaan permen, donat, es krim, dan godaan lain yang kita temui sebelumnya saat berbelanja selama satu jam, tapi kemudian akhirnya gagal menahan godaan tersebut?
Atau bayangkan kita login ke Netflix kemudian kita disuguhi berbagai macam pilihan. Bingung mau menonton antara drama korea Vicenzo atau serial Attack on Titans. Ujungnya malah kita tidak jadi menonton apapun.
Saya berikan contoh lain, dari figur yang terkenal di publik misalnya, Pakaian founder Facebook, Mark Zuckerberg.Â
Mark mengklaim alasan ia mengenakan pakaian berwarna yang sama setiap hari adalah untuk membatasi jumlah keputusan yang harus ia buat.Â
Mark memahami bahwa lebih baik ia menyimpan energinya untuk keputusan-keputusan penting lainnya daripada ia menghabiskan waktu hanya untuk memutuskan pakaian apa yang akan dipakai.Â
Kejadian di depan kasir mini market itu terjadi karena semakin lama kita berbelanja, semakin lama will power kita akan menghilang. Kita akan menjadi lelah untuk memilih.Â
Hal yang sama terjadi dengan keputusan Mark untuk memakai pakaian yang sama saja setiap hari. Ini yang dinamakan dengan decision fatigue.