Contohnya dapat dilihat di bawah ini:
Jadi Amazon memberikan "hadiah" terlebih dahulu ke konsumen agar mereka tahu bagian-bagian apa saja yang ada di buku yang akan mereka beli dan bagaimana isinya. Cara ini akan memancing otak dan psikologis konsumen untuk tahu lebih banyak dan akhirnya membeli.
Kenapa Bisa? Jawabannya adalah karena Amazon dengan "sukarela" memberi saya hadiah gratis dengan mengizinkan saya membaca sebagian dari bukunya, saya jadi merasa berhutang budi. Dengan kata lain, secara tidak sadar saya lebih cenderung membeli item ini karena saya ingin membalas "budi".
Menarik bukan? Nah contoh lain yang lebih simpel misalnya dalam lingkungan kerja, seorang salesman memberikan free gift kepada konsumen potensial, berharap itu akan membuat mereka membalas budi dengan membeli sesuatu. Contoh lainnya, seorang pemimpin menawarkan perhatian dan bimbingan kepada anggotanya dengan harapan menerima imbalan kesetiaan dan kepatuhan.
Contoh lain misalnya Grammarly, aplikasi untuk mengecek grammar secara daring. Bentuk lain reciprocity yang saya ambil contohnya untuk grammarly adalah model freemium, di mana konsumen dapat menggunakan versi aplikasi yang gratis, tetapi terbatas, dan dapat membayar untuk versi "lengkap". Grammarly, menggunakan model ini dengan sempurna.
Perhatikan gambar di bawah ini:
Jadi, reciprocity ini bisa dibilang sebuah cara manipulasi? Bagi saya pribadi, ini adalah sebuah paradoks. Di era sekarang sepertinya orang-orang sangat mementingkan prinsip authencity, keaslian dan kemurnian. Namun demikian, business is business. You have to get something, don't you?
Reciprocity Sebagai Sebuah Paradoks
Seperti yang saya katakan diatas bahwa reciprocity itu memang sebuah paradoks.Â
Tapi begini deh, sekarang mari kita jujur; Jauh di lubuk hati, kita semua tahu bahwa bisnis, tidak peduli betapa caranya sangat altruistik, tetap saja bisnis. Saya juga paham kenapa dalam proses lobi-lobi bisnis, memberi sebelum menerima merupakan hal yang sangat wajar.