Mohon tunggu...
Firmanda RH
Firmanda RH Mohon Tunggu... Mahasiswa - Universitas Al-Azhar Indonesia

Do what you want.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Circle of Violence, Pola Umum dalam KDRT

22 Juli 2023   22:40 Diperbarui: 22 Juli 2023   22:59 58
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kekerasan Dalam Rumah Tangga atau kata yang disingkat dengan KDRT adalah hal yang sering terjadi. Dengan barbagai bentuk dan alasan.

Dalam kelas mata kuliah Psikologi Sosial di UAI menyebutkan beberapa bentuk KDRT, seperti bully oleh siblings (kakak-adik), kekerasan terhadap istri atau anak-anak yang dilakukan suami, ataupun kekerasan orang tua terhadap anak.

Pada kasus anak sebagai korban, didapat bahwa orang tua adalah ranking teratas terhadap pelaku kekerasan. Terdapat contoh yaitu tentang Arie Hanggara pada tahun 1984.

Sedangkan kekerasan oleh siblings tidak jarang atau tanpa disadari hal ini sering terjadi. Bahkan karena hal kecil sekalipun bisa terjadi kekerasan yang terkadang dianggap sepele, seperti "ah seperti itu saja."

Oleh karena itu KDRT bisa dikategorikan ke dalam bentuk agresi karena tindakan ini jelas bertujuan untuk menyakiti, lebih tepatnya agresi dalam rumah tangga.

Mata kuliah yang disampaikan oleh Ibu Masni Erika Firmiana ini juga menjelaskan bahwa faktor terbesar terjadinya KDRT adalah kemiskinan. Namun tidak menutup hal lain juga bisa menjadi faktornya.

Pada pasutri ada kemungkinan terdapat Circle of Violence yang merujuk pada pola kekerasan yang terjadi secara berulang dalam rumah tangga. Pola ini menjelaskan dinamika umum yang terjadi di mana perilaku kekerasan cenderung berulang dan terus-menerus.

Secara umum Circle of Violence terdiri dari tiga tahap:

  • Tegangan meningkat (tension building): tahap dimana bisa terjadi perdebatan yang disebabkan masalah yang tampaknya kecil, seperti cemburu, curiga, dll.
  • Pelepasan emosional (violation): pada tahap ini ketegangan mencapai puncak sehingga bisa terjadi kekerasan fisik, pelecehan verbal, atau ancaman.
  • Penyesalan dan rekonsiliasi (seduction): tahap dimana pelaku menyesal dan berjanji akan berubah. Korban kemungkinan memaafkan dan menerima janji tersebut.

Namun sayang, lingkaran itu tidak akan berhenti pada tahap ketiga saja, tapi bisa kembali ke tahap pertama. Begitu seterusnya hingga tanpa sadar korban mengalami kesehatan mental yang buruk.

Oleh karena itu, dalam salah mata kuliah di Universitas swasta Islam terbaik Jakarta ini menjelaskan bahwa penting untuk adanya komunikasi yang baik antar sesama anggota keluarga, selesaikan kesalahpahaman dengan kepala dingin, jaga kestabilan emosi, dan masih banyak lainnya.

Bagi individu yang menjadi korban kekerasan, jangan merasa inferior terhadap diri sendiri. Jika mengalami hal yang tidak wajar, segera cari dukungan atau melaporkan ke pihak berwenang.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun