Memiliki cita rasa pedas dengan aroma yang khas, lada menjadi bumbu penyedap pada berbagai jenis masakan khas nusantara, sensasi pedas yang diberikan oleh lada tak jarang menggelitik dan memberikan rasa hangat pada tenggorakan dan perut. Rempah dengan julukan king of spicy ini menjadi salah satu rempah yang dapat dengan mudah kita temui di dapur-dapur rumah tangga, selain sebagai penyedap pada masakan, lada juga kerap dijadikan bumbu tabur pada beberapa makanan seperti bubur ayam dan iga bakar.
Kecil-kecil Cabai Rawit
Selain sebagai penyedap rasa lada juga memiliki khasiat bagi kesehatan, salah satunya adalah negara Cina yang menggunakan lada sebagai obat epilepsi pada anak (Shaffer, 2013, hlm. 212), Â sehingga tidak mengagetkan apabila bukan hanya pada masa kini, rempah dengan nama latin piper nigrum ini juga sudah terkenal dan menjadi primadona sejak zaman dahulu. Di balik sensasi pedas hangat dengan aromanya yang khas, lada memiliki kisah yang cukup panjang, turut menjadi bagian dari sejarah jalur rempah di nusantara.
Sahang Banjar
Dalam catatan sejarah, Banjarmasin menjadi salah satu wilayah yang menghasilkan lada di Indonesia. Lada yang dihasilkan di Banjarmasin adalah jenis lada hitam dengan cita rasa yang tidak kalah menarik dengan lada putih (Mansyur, et al., 2019, hlm. 4). Asal dari bulir hitam pemilik rasa pedas nan unik ini mungkin jarang terlintas dalam kepala kita. Lantas, dari mana lada hitam berasal?
Lada hitam sendiri merupakan tanaman asli India, lada hitam berhasil menarik pedagang-pedagang dari berbagai negara berdatangan ke India untuk mendapatkan lada (Shaffer, Op.Cit, hlm. 13 & 16).
Pada abad ke-18 perkebunan lada di Kalimantan Selatan terletak di daerah Martapura (Riam kiwa dan kanan), Tanah Laut, Amandit, Pemangkih, Kelua dan Amuntai. Lada-lada Banjar tersebut kemudian diperjual belikan kepada para pedagang dari luar negeri di Banjarmasin. (Mansyur, ibid., hlm. 6).
Primadona Pedagang AsingÂ
Lada atau sahang menjadi komoditas dagang yang paling masyhur, sehingga menjadi komoditas ekspor utama di Pelabuhan Banjarmasin kala itu, lada menjadi incaran pedagang-pedagang dari luar negeri. Permintaan lada yang tinggi mengharuskan Kesultanan Banjar menyiapkan pasokan lada yang banyak, hingga pada abad ke-17 Banjarmasin menjadi penghasil lada terbesar di nusantara bagian tengah (Mansyur, Op.Cit., hlm. 4-5).
Pada abad ke-17 para pedagang Cina kesulitan mendapatkan lada karena adanya monopoli perdagangan yang dilakukan oleh VOC (Vereenigde Oost Indische), hingga para pedagang dari Cina sampai di Banjarmasin yang belum tersentuh monopoli dagang oleh VOC kala itu. Permintaan pasar terhadap lada mulai meningkat, sehingga menyebabkan peningkatan produksi lada. Pada akhirnya, pedagang-pedagang dari Belanda, Inggris, Portugis, dan Denmark mulai berdatangan ke Banjarmasin untuk membeli lada (Mansyur, Op.Cit., hlm. 6).
Surutnya Perdagangan Lada
Pertengahan abad ke-19 menjadi waktu berakhirnya eksistensi perdagangan lada di Banjarmasin. Kedudukan Banjarmasin sebagai penghasil lada terbesar di nusantara telah berakhir. Penurunan produksi dan kualitas lada Banjar terjadi karena adanya masalah dalam Kesultanan, teknik penanaman yang kurang tepat, bibit yang kurang baik, cuaca dan iklim yang tidak mendukung, dan curah hujan tinggi yang menghambat pertumbuhan lada. Lada Banjar atau sahang Banjar mulai tersaingi oleh keberadaan komoditas lain yang diperjual belikan di Banjarmasin seperti karet dan batubara (Mansyur, Op.Cit., hlm. 8).
Referensi
Ideham, Suriansyah  et al. 2003. Sejarah Banjar. Banjarmasin: Badan Penelitian dan Pengembangan Daerah Provinsi Kalimantan Selatan.
Mansyur et al. 2019. Sahang Banjar: Banjarmasin dalam Lajur Perdagangan Rempah Lada Dunia Abad ke-18. Banjarmasin: Arti Bumi Intaran.
Shaffer, Marjorie. 2013. Pepper: A History of the World’s Most Influential Spice. New York: St. Martin’s Press.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H