Mohon tunggu...
Nanda Dwi Aryanto
Nanda Dwi Aryanto Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Fak Psikologi UIN Maliki Malang

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Akulturasi Ajaran Islam di Ranah Jawa

10 November 2014   13:46 Diperbarui: 17 Juni 2015   18:11 74
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Mitos kata yang sudah tidak asing bagi kita, terutama di pulau jawa mitos erat kaitannya dengan kejawen. Mitos yaitu kepercayaan pemikiran-pemikiran atau anutan-anutan sejak dari nenek moyang yang berbau alam keghoiban, atau bisa kita sebut sekarang ini dengan paham animisme dan dinamisme. Paham tersebut pernah kita lakukan oleh nenek moyang kita yaitu sebelum datangnya Hindu Budha ke Indonesia. Tetapi ketika Islam masuk ke Indonesia ajaran itu justru sebagai wadah atau jalan mudah agar ajaran Islam diterima oleh masyarakat Indonesia khususnya pulau Jawa. Dan tentunya sudah tidak asing lagi, siapa penyebar dakwah-dakwah Islam tersebut yang mengkulturasikan ajaran-ajaran animisme dinamisme dengan ajaran Islam, yaitu “Wali Sembilan” dalam bahasa Jawa “Wali Songo”.

Pada masa itu para wali sembilan menyebarkan agama Islam dengan menggabungkan ajaran Islam dengan paham-paham animisme dan dinamisme agar mudah diterima oleh masyarakat Jawa, tidak dipungkiri penggabungan antara ajaran-ajaran Hindu Budha dengan Islampun juga dilakukan oleh para Wali Songo agar ajaran Islam dikenal ajaran yang luwes bagi masyarakat Jawa. Salah satu kulturasi ajaran-ajaran Islam kedalam paham animisme dan dinamisme maupun Hindu Budha adalah bangunan-bangunan masjid yang beraksitektur seperti piramida, menyan-menyan yang dienggokkan sebagai wangi-wangian saat acara diba’an atau sholawatan, mendo’akan para arwah-arwah yang sudah meninggal yaitu dengan mitoni (peringatan 7 hari sesudah meninggalnya seseorang), nyatus (peringatan 100 hari meninggalnya seseorang) kesemua itu tidak lain dan tidak bukan untuk selalu mengingat Tuhan pencipta alam dan mendo’akan arwah-arwah orang yang sudah meninggal di alam ghaib sana, dan masih banyak lagi pengkulturasian ajaran-ajaran Islam di tanah Jawa.

Tetapi sayangnya ajaran-ajaran seperti itu diartikan sebagai bid’ah oleh beberapa orang, yaitu ajaran-ajaran yang tidak ada pada zaman Nabi Muhammad SAW. Sebenarnya masalah seperti itu kembali kepada individu masing-masing seseorang, kalau memang untuk suatu wadah agar selalu ingat kepada Sang Pencipta itu bukan suatu masalah, sebagai rasa simpati antar sesama, untuk meningkatkan rasa iman, dan lain sebagainya. Toh salah satu Khulafa Ar-Rosyidin pernah melakukannya, yaitu salah satunya adalah Sayyidina Umar bin Khatab yang menjadikan shalat tarawih dengan berjama’ah. Itu memang merupakan suatu bid’ah, tetapi bid’ah disitu tergolong bid’ah hasanah, bid’ah yang baik dilakukan.

Yang terpenting didalam ajaran-ajaran Islam diajarkan untuk menjalin hubungan yang erat antar sesama dan juga tidak saling menjatuhkan antar sesama, jangan hanya karena masalah bid’ah ini sesama ajaran saling menjatuhkan antara satu dengan yang lain. Apalagi kita didalam Negara Indonesia yang dimana menjunjung tinggi yang namanya persatuan dan kesatuan, maka tidaklah terlalu penting mempermasalahkan itu agar Negara kita ini yang begitu indah yaitu Negara Indonesia menjadi Negara yang aman sejahtera.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun