Mohon tunggu...
nanda sihombing
nanda sihombing Mohon Tunggu... polri -

J'aime la vie! I feel that to live is a wonderful thing.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Kekerasan oleh Anak (Bukan) Kekerasan kepada Anak

16 Mei 2016   13:35 Diperbarui: 16 Mei 2016   13:49 78
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Akhir-akhir ini media banyak memberitakan kasus kekerasan yang terjadi di sekitar kita. Setelah beberapa waktu lalu kita melihat media menyoroti kasus “angeline” dari Bali serta beberapa kasus lain yang merupakan kasus kekerasan kepada anak. Namun, di antaranya juga ada kasus-kasus di mana anaklah yang menjadi pelaku kekerasan tersebut. Belum lama yang cukup disoroti publik adalah kasus “Yuyun” yang mengalami pemerkosaan kemudian dibunuh oleh 14 orang pemuda (beberapa di antaranya di bawah umur) dari Bengkulu.

Secara umum, kasus kekerasan oleh anak sudah banyak terjadi namun tidak menjadi perhatian intens bagi publik. Padahal beberapa kasus yang cukup menonjol adalah pada saat acara televisi yang menyuguhkan duet gulat , media banyak memberitakan mengenai perbuatan bullying terutama oleh anak-anak Sekolah Dasar yang memang sangat mengemari acara tersebut, bahkan akibat praktek tehnik gulat tersebut dilakukan antar teman atau mungkin adik kakak di dalam lingkungan keluarga sampai ada yang sampai berujung pada kematian.

Kekerasan oleh anak ini memrupakan fenomena yang harus segera ditanggulangi. Menurut saya, peran media sangatlah besar di dalam terjadinya berbagai kasus kekerasan ini. Betapa media mampu membentuk pribadi ataupun mental psikologis seorang anak mungkin memerlukan kajian penelitian yang mendalam. Namun, secara kasat mata anak-anak secara langsung mapupun tidak langsung serta disadari atau tidak disadari menyerap dengan sangat luar biasa segala tayangan dari media (baik media elektronik dan media sosial) yang telah dilihat dan didengar setiap hari secara berulang dalam kurun waktu tertentu.

Berdasarkan Teori Belajar (Social Learning Theory) oleh Ronald Akkers yang dikaitkan dengan delinkuensi anak, bahwa perilaku seseorang dipengaruhi oleh pengalaman belajar, pengalaman kemasyarakatan disertai nilai-nilai dan penghargaan dalam kehidupan di masyarakat. Menurut teori ini, anak-anak akan memperagakan perilakunya atas dasar :

  • Reaksi yang diterimanya dari pihak lain (positif atau negatif)
  • Perilaku orang dewasa yang mempunyai hubungan dekat dengan mereka (utamanya orangtua)
  • Perilaku yang mereka lihat di TV maupun di bioskop.

Berdasarkan teori tersebut jelas bahwa media memiliki pengaruh dalam proses pembelajaran anak. Apa yang seorang anak lihat yang menurut mereka menarik akan segera disimpan dalam memori anak. Kemudian anak tersebut akan mencari cara untuk mempraktekkannya. Padahal anak tersebut mungkin tidak tahu apakah itu benar atau salah. Apalagi jika orangtua lalai dalam mengontrol kehidupan anak atau malah menjadi contoh yang tidak benar bagi anak.

Berbagai tayangan media saat ini semakin beragam. Saringan terhadap akses tayangan tersebut juga semakin longgar. Saat ini peran media sosial juga sangat massive. Pada era kemajuan teknologi informasi dan kemudahan akses internet telah membuat anak-anak dapat melahap apa saja yang ada tanpa ada yang membimbing dan mengontrol secara melekat dan nyata. Tayangan yang berbau kekerasan dengan mudahnya ditonton dan diakses melalui internet. Situs porno begitu mudahnya diakses. Tayangan berbau kriminalitas setiap hari secara berulang di TV. Hal ini seakan-akan mengajari anak atau bahkan orang dewasa sekalipun kepada perilaku yang sama. Betapa kasus pemerkosaan dapat menjadi sarana pembelajaran yang diserap oleh anak sehingga kemudian muncul kasus anak usia sekolah memerkosa atau bahkan membunuh korbannya dan apabila diperhatikan dari perkembangan kasus yang notebene juga selalu ditayangkan bahwa alasan perbuatan tersebut dikarenakan sering menonton video porno dan melihat kasus pembunuhan di TV.

Anak adalah usia di mana kondisi mental psikologisnya belum stabil. Masih sangat dikuasai oleh emosi kejiwaan. Apabila terus dibiarkan maka apa yang akan terjadi dengan generasi ini di masa depan. Mungkin sangat sulit untuk dapat mengantisipasi pengaruh media pada anak, namun setidaknya ada kontrol dalam keluarga. Salah satunya mungkin dengan pembatasan jam menonton TV terutama hanya diperbolehkan pada tayangan yang sifatnya mendidik dan meningkatkan pengetahuanyang baik bagi anak. Coba kita renungkan sejenak, pada saat TV belum seperti saat ini di mana tayangan masih terbatas akses internet belum umum. Bagaimana kondisi anak saat itu, sangat berbeda jauh bukan dengan kondisi anak saat ini?

Kemajuan teknologi dan kebebasan yang luar biasa untuk mengakses informasi melalui internet memang tidak dapat ditahan. Namun setidaknya kita berupaya dari mulai lingkungan terkecil di sekitar kita yaitu keluarga inti kita.

Referensi :

http://ejournal.uwks.ac.id/myfiles/201209442514478516/5.pdf

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun